43. Obrolan saat Subuh

1011 Kata
Jeva melirik jam weker di atas nakas samping tempat tidur. Jam menunjukan pukul 4 subuh. Bukan kokok ayam yang saling bertaut yang sudah membangunkannya, namun karena insomnia yang ia derita. Malam ini ia tidak tidur sama sekali. Setelah pulang makan malam, ia hanya duduk merenung di balkon rumahnya. Berteman dengan malam dengan selimut langit dan bintang, sampai akhirnya ia lelah dan masuk ke dalam rumah. Begitu berbaring Jeva mencoba menutup kedua matanya, namun ia tidak pernah bisa untuk tidur. Perempuan itu hanya menatap langit langit kamarnya dengan pandangan menerawang. Ada ribuan bintang terlukis di langit kamarnya. Hasil kreasi dari Daska saat mereka masih pacaran dulu. Lukisan itu sudah mulai usang, sama seperti perasaannya kepada Daska saat ini. Dulu Daska bersikeras merenovasi rumah atap Jeva setelah mendengar kabar jika di lingkungan kekasihnya itu banyak terjadi perampokan. Daska adalah pria baik yang mengkhawatirkan kekasihnya, orang yang ia sayangi. Rumah ini adalah salah satu tempat yang menyimpan ratusan moment bersamanya. Setetes nila merusak s**u sebelaga. Ungkapan itu sangat cocok di tujukan untuk Daska. Kesalahan yang ia lakukan di malam itu merusak semuanya. Persahabatan. Percintaan. Kekeluargaan. Masa depan. Semuanya berubah setelah malam itu. Kini tiba waktunya bagi Jeva untuk memperbaikinya. Secara perlahan lahan mulai menerima kehadiran pria itu kembali. Tak berusaha menampik takdir yang kembali membelenggunya. Menyerahkan semuanya kepada Tuhan dan semestanya. Kali ini Jeva menyerah pada pelarian, ia akan membiarkan pelarian lari mendahuluinya. Ia ingin tetap tinggal untuk mengobati luka lamanya. Tring! Jeva melirik ponselnya yang berada di sebelah jam weker, ada notif dari provider yang ia pakai. Ia kemudian mengambil ponsel pintarnya, menekan icon buku telfon berniat untuk menelfon orang tuanya. Dengan tangan bergetar, perempuan itu menekan nomor telfon yang bertuliskan ‘Ayah’. Ia berniat untuk menghubungi keluarganya, mungkin saat ini keluarganya tengah bersiap untuk sholat subuh. Matahari menyapa Indonesia lebih lambat dari Korea. Tuuut! Tuut! Terdengar nada tunggu selama beberapa kali. Jantung Jeva berdentang keras sembari menunggu panggilannya tersambung. Tik. Tik. Tik. Tik. “Halo, Assalammu’alaikum.” Suara berat milik sang ayah menyapa lembut gendang telinga Jeva. Jeva menekan dadanya saat mendengar suara dari ayahnya. Perempuan itu berusaha menahan tangis, dadanya bergetar pelan. Suara yang sangat ia rindukan, kini kembali terdengar lewat indra pendengarannya. “Waalaikumsalam, Yah” sapa Jeva setelah terdiam cukup lama. Ia hanya bersuaha merekam suara itu berulang ulang di benaknya. “Astaga, Jeva!” seruan bahagia terdengar dari ujung telfon. “Bu! Ini telfon dari Jeva! Bu!” Jeva tersenyum karena ayahnya mengenali suaranya. Padahal ia menelfon dengan nomor baru. Ponsel lamanya kembali ia matikan. “Iya, Yah. Ini Jeva.” Suara Jeva bergetar, matanya sudah berkaca kaca. “Jeva, ini Ibu!” Suara ibu Jeva menyapa gendang telinga perempuan itu. Tangis Jeva langsung pecah setelah mendengar suara perempuan yang telah melahirkannya. Isakan pelan lolos dari bibirnya, tangan perempuan itu membungkam mulutnya. Bahunya bergetar menahan tangis supaya tidak pecah. “Gimana kabarnya, Nduk? Kamu baik baik saja ‘kan? Kapan kamu ke Malang? Atau biar ibu sama ayah saja yang ke sana.” Ibunya Jeva tak sabar untuk mengajukan berbagai pertanyaan kepada anak perempuannya. “Alhamdulillah, baik, Bu. Jeva baik baik saja,” sahut Jeva. “Jeva belum tahu, Bu. Jeva harus langsung bekerja, mungkin nanti aku akan mengajukan cuti. Biar aku saja yang ke Malang, ayah sama ibu tidak perlu ke sini. Perjalanannya jauh,” ujarnya kemudian. Jeva mendengar helaan nafas ibunya di ujung telfon. “Bu?” Jeva kembali bersuara kerena ibunya hanya diam saja. “Ibu hanya khawatir sama kamu, Nduk,” ujar ibunya dengan suara bergetar. Jeva meremas baju yang ia pakai, ia yakin jika saat ini ibunya tengah menangis. “Aku benar tidak apa apa, ibu tidak perlu khawatir. Aku sekarang mencoba untuk menyelesaikan semuanya, Bu, jadi aku harap ibu mendukung dan mendoakan aku.” Jeva ikut terisak pelan, walaupun sudah ditahan tetap saja lolos. “Pasti, Nduk. Ibu selalu mendoakan yang terbaik buat kamu. Kebahagianmu adalah kebahagiaan ibu juga.” Terdengar isakan samar yang berasal dari mulut ibunya Jeva. Perempuan paruh baya itu pasti saat ini sedang menangisi putrinya yang malang. “Kabar kalian bagaimana? Semua baik baik saja ‘kan?” Jeva mencoba mengubah topik obrolan. Semata mata supaya ia tidak menangis bersama ibunya. “Baik, alhamdulillah. Kita semua sehat, meskipun ayahmu sering mengeluhkan sakit punggungnya,” celoteh ibu Jeva berusaha tersenyum. “Jangan terlalu capai capai, Yah. Kalau memang tidak bisa di kerjakan sendiri, minta bantuan dari oranglain saja,” ucap Jeva memberi nasehat. “Iya, Nduk.” Ayah Jeva bersuara. “Ibu itu lho suka mengadu,” ocehnya kemudian mengomeli sang istri karena mengadu kepada putrinya. “Halah, lha wong ayah yang selalu ngeluh.” Ibu Jeva tak ingin kalah. Jeva tersenyum mendengar obrolan orangtuanya. “Adek bagaimana, Bu?” tanyanya kemudian. “Adikmu kuliah di UB, dia mengambil jurusan manajemen sama sepertimu,” jawab ibu Jeva. “Oh.” Jeva bergumam pelan. Dalam hati Jeva bangga karena adik pintarnya keterima di universitas negeri bergengsi di Malang. Ia juga sedih karena tidak bisa menemani adik dan keluarganya dalam kurun waktu yang cukup lama. Proses penyembuhan yang ia harapkan ternyata lebih lama dari prediksinya. “Kamu sendiri bagaimana? Pekerjaanmu bagaimana?” tanya ibu Jeva. Jeva diam sejenak, lalu mulai menceritakan tentang pekerjaannya kepada orangtuanya. Menceritakan tentang apapun, termasuk tentang Elsa dan kembalinya ia bekerja di Wenas Groub. Jeva juga menceritakan perihal Prasta dan juga Daska. Beruntung Jeva memiliki orangtua yang menyerahkan semua keputusan kepada anaknya dan tidak menuntut apapun. Jeva benar benar bangga dan bersyukur mempunyai orangtua yang selalu mendukungnya. “Jeva sayang kalian,” bisik Jeva sebelum mengakhiri panggilan telfon. “Kami juga sayang sama kamu, Jev,” balas ibu dan ayahnya. Jeva menaruh ponselnya kembali ke atas nakas. Perempuan itu masih punya waktu sebelum kembali bekerja. Hari ini ia memutuskan akan pergi mengunjungi beberapa tempat di Jakarta. Berniat menyapa ibu kota yang telah lama ia tinggalkan. Juga mempersiapkan hati sebelum menginjakkan kakinya pada tempat yang dulu pernah memiliki cerita kelam tentangnya dan juga pria yang dulu menorehkan luka mendalam di hatinya. "Apapun yang terjadi nanti. Kina hamba telah siap ya Tuhan," bisik Jeva pada ruang hampa. *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN