41. Karena Aku Tidak Ingin Memukulmu!

1298 Kata
"Ta!" seru Daska karena Denta hanya diam saja. "Kau tadi bilang apa?" tanyanya kemudian. Daska mengamati Denta, menunggu reaksi dan jawaban dari pria itu. Denta menghela nafas lelah. “Aku sudah lama mengenalnya, sebelum kau mengalami hilang ingatan,” jawabnya jujur. “Sudah selama itu? Kenapa aku tidak tahu?” tanya Daska heran. “Apa kau perlu tahu semua teman temanku? Kau bahkan juga tidak tahu ada berapa perempuan yang sudah menjadi teman ranjangku.” Denta tersenyum sinis. “Maksudmu Jeva pernah menjadi teman ran....” “Jangan berfikir yang tidak tidak, Bodoh!” Denta memukul pundak Daska cukup kencang. “Yak! Aku bertanya, s****n! Kau hanya perlu menjawabnya, kenapa malah memukulku?” omel Daska mengaduh. “Dia itu temanku. Salah satu orang yang aku sayang, selain keluargaku,” jawab Denta pada akhirnya. “Sudah sedekat itu?” Daska tak menyangka jika hubungan Denta dan juga Jeva sangat dekat, bahkan sampai Denta menganggap Jeva penting layaknya keluarganya. “Ngomong ngomong, kenapa kau menanyakannya? Well, aku tahu jika Jeva bekerja di perusahaanmu, tapi dia tak cukup spesial hingga menarik perhatian dari orang berpengaruh sepertimu,” celoteh Denta kemudian. “Entahlah.” Daska menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi. “Aku tidak mengerti apa alasannya yang jelas perempuan itu berhasil menarik perhatianku, bahkan Prasta juga,” imbuhnya kemudian. “Prasta? Jadi kalian tertarik pada satu perempuan yang sama?” tanya Denta dengan alis terangkat. “No.” Daska menggeleng. “Kalau maksudmu itu tertarik dengan lawan jenis, aku tidak seperti itu. Ehm, maksudku... Ah, bagaimana cara menjelaskannya, aku sendiri juga bingung.” Daska menggaruk garuk rambutnya yang tak gatal. “Aku hanya merasa dekat dengan perempuan itu. Aku merasa kita pernah mengenal sebelum pertemuan di Korea. Apa ini hal yang wajar? Kau baru saja bertemu dengan orang baru, tapi kau merasa sudah mengenalnya sejak lama,” celotehnya kemudian. “Mungkin hanya perasaanmu saja,” sahut Denta tak acuh, pria itu kembali menuang minuman dan menegaknya dalam sekali teguk. “Ck, sesekali aku mencoba menampik perasaan itu, tapi semakin aku menampiknya, perasaan itu justru semakin kuat. Aku bahkan juga bertanya kepada Jeva dan perempuan itu mengatakan hal yang sama. Dia mengatakan tidak mengenalku.” Daska tersenyum kecut. “Kalau begitu memang tidak saling kenal, jadi jangan bertanya lagi padanya,” jawab Denta sedikit ketus. Daska menoleh ke arah Denta, temannya itu minum lagi, lagi dan lagi. “Kau sendiri kenapa memutuskan untuk minum sendirian?” Daska datang dengan pertanyaannya, hingga tidak menyadari penampilan Denta yang kacau. “Kau ada masalah?” tanyanya kemudian. “Heh, semua orang punya masalah. Everyday.” Denta tersenyum sinis. “Dan biar aku tebak, masalahmu pasti perempuan.” Daska tersenyum mengejek. “Hehm.” Denta hanya bergumam. “Dan kau juga kembaranmu,” imbuhnya dalam hati. Daska menyangga dagunya dengan tangan di atas meja. “Ada apa lagi? Teman seranjangmu meminta kau tanggung jawab? Atau dia ingin kau menikahinya? Dia meminta komitmen serius?” Daska menjabarkan beberapa pertanyaan yang bisa membuat seorang Denta uring uringan seperti ini. “Bagaimana perasaanmu?” Denta justru balik bertanya. “Maksudmu?” tanya Daska tak mengerti. Denta menatap Daska dengan tatapans seriusnya. “Bagaimana jika perempuan yang kau tiduri meminta pertanggungjawaban darimu? Kau akan melakukannya atau menghindar?” Daska menaikkan satu alisnya, ia sedikit heran saat Denta menanyakan hal tersebut kepadanya. “Tentu saja aku akan bertanggungjawab. Aku tidak mungkin lari dari tanggungjawab dan membuat dua orang menderita karena aku,” ujarnya kemudian. Tangan milik Denta mengepal erat di bawah meja. “Lalu bagaimana jika ada hati yang juga terluka? Bagaimana jika dengan bertanggungjawab pada ibu dan calon anakmu, kau akan menyakiti perempuan yang ingin kau jadikan istri?” tanyanya kemudian, tatapan tajamnya tak beralih dari retina milik Daska. “Tunggu! Maksudmu, aku sudah mempunyai kekasih saat menghamili perempuan lain?” Daska mencoba mencerna maksdu perkataan Denta. “Hehm, calon istri,” sahut Denta. “Yak! Jangan bilang kalau kau ada disituasi yang seperti itu?” tanya Daska menunjuk Denta. “Bukan aku, Ta, tapi ANDAI saja itu skenario milikmu,” tanya Denta tanpa mengendurkan tatapannya. “Ehm, kalau aku sampai di situasi seperti itu, jelas aku akan memilih calon istriku,” jawab Daska kemudian. “Kenapa? Kau akan menyakiti anak dan ibu dari calon anakmu.” Genggaman tangan Denta semakin menguat. “Aku memilih calon istri yang kelak akan jadi ibu dari anak anakku,” ujar Daska. “Tapi aku juga tidak akan meninggalkan anak dan ibu yang mengandung darah dagingku. Aku bukan pria pengecut yang lari dari masalah,” imbuhnya kemudian. “Lalu?” Denta tersenyum kecut, genggamannya terurai dan ia kembali minum. “Kau akan menikahi dua duanya?” tanyanya sarkas. “Tidak. Aku hanya akan menunjang kebutuhan mereka. Pendidikan dan kehidupan sehari hari,” jawab Daska. “Kau mungkin bisa bertanggungjawab pada materi, pendidikan, kehidupan...” Denta diam sejenak. “Tapi apa kau bisa bertanggungjawab pada batiniahnya?” tanyanya lirih. Daska hanya diam, dia menunggu Denta untuk menyelesaikan ucapannya. Denta kembali bersuara. “Perempuan yang kau hamili juga punya kehidupan, dia punya keluarga yang harus dijaga martabat dan perasaannya. Punya masa depan yang mungkin sudah terencana dan bahkan mungkin juga sudah punya seorang pendamping untuk masa depannya. Bagaimana caramu untuk bertanggungjawab pada itu semua?” “Ta, kalau memang itu yang terjadi, kita tidak mungkin melakukannya. Untuk apa dua orang yang sudah mempunyai masa depan yang cerah melakukan kesalahan dan menghancurkan semuanya,” celoteh Daska. “Mungkin takdir sedang menguji mereka. Takdir memiliki rencana untuk mereka dan orang orang terdekatnya. Kita tidak bisa memilih rencana apa yang diberikan takdir pada kita. Kita hanya bisa menerima rencana takdir dan semesta.” Denta tersenyum miris. Pria itu kembali meneguk minuman. Daska diam sejenak, pembicaraan mereka terasa lebih nyata darpada skenario buatan Denta. Ia lalu melihat ke arah Denta yang sudah sangat hangover. “Yak! Berhenti minum! Kita hanya membicarakan skenario omong kosong, kenapa kau ingin mabuk?” teriak Daska karena Denta terus minum padahal sudah teler. Denta tak mengacuhkan ucapan Daska, pria itu terus minum. “Aku bilang berhenti minum, b*****t!” teriak Daska mulai jengah. “Ini semua karena aku tidak ingin memukulmu! b******k!” maki Denta mencengkeram kerah kemeja Daska. “Yak! Kenapa kau ingin memukulku? s****n!” Daska mencoba melepaskan tangan Denta dari kerah bajunya, namun cengkeraman tangan Denta terlalu kuat. Mereka saling melemparkan tatapan tajam. “Kenapa kau harus melupakannya? Seharusnya kau mengingat penderitaan dan rasa bersalahmu pada semua orang!” geram Denta dengan rahang mengeras karena emosi. “Penderitaan? Rasa bersalah?” Daska jelas bingung dengan ucapan ngawur sahabatnya itu. “Yak! Katakan lebih jelas, sebenarnya apa maksudmu?” tanyanya kemudian. Daska melepaskan cengkeraman tangannya, pria itu meutup kedua matanya mencoba membuat kesadaraannya pulih kembali. Mencoba meredam amarahnya serendah mungkin. “Kau melupakanku, b******k! Bagaimana bisa kau melupakan sahabatmu yang tampan ini? Aku harus kesepian dan menderita sendiri di Indonesia sementara kau pergi ke Paris. Aku membencimu karena saat itu aku membutuhkan dukungan setelah kehilangan Belva.” Denta mulai meracau, pria itu menuangkan minuman dalam botol ke dalam gelas slokinya. “Berhenti minum, b*****t! Kau sudah mabuk.” Daska menahan tangan Denta. “Ayo pulang!” ujarnya kemudian. Pria itu menarik lengan Denta dan membantunya untuk berdiri. Denta tak kuat berjalan dan jatuh terkulai di atas meja karena terlalu mabuk. “Haish, merepotkan,” gumam Daska menatap temannya yang sudah terkapar. Pria itu lalu meminta bantuan salah satu pelayan untuk membantunya membopong Denta ke mobil. Denta terbaring tak sadarkan diri di kursi samping kemudian. Daska masuk ke dalam mobil setelah memberikan tips untuk pelayan yang tadi membantunya. Ia juga meminta pelayan tersebut untuk menjaga mobil milik Denta. Setelahnya, pria itu mengemudikan mobilnya meninggalkan halaman parkir Millenium Club. “Ck, merepotkan sekali punya teman sepertimu. Seharusnya tadi aku tidak menemuimu.” Daska menyetir sembari mengomel, sesekali melirik ke arah Denta yang sudah tak sadarkan diri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN