51. Tugas yang Menanti

1003 Kata
Flashback On 2 tahun yang lalu. Negeri Paman Sam. Sebuah negeri yang dipilih Mr. dan Mrs. Raypraja sebagai tempat untuk mengobati luka hati mereka. Meninggalkan kenangan pahit di bumi pertiwi Indonesia dan memiih negara lain sebagai tempat singgah yang baru. Kehilangan seorang anak adalah luka yang akan terus membekas. Luka yang dalam hingga membuat mereka enggan untuk kembali meneruskan kehidupan mereka di Indonesia. Ini sudah hampir 1 tahun mereka tinggal di Amerika, lebih tepatnya di kota New York. Kota besar paling padat di Amerika Serikat. Kota paling beragam di dunia dengan 800 bahasa di pertuturkan di kota ini. Selain itu, New York terdiri dari beberapa bagian yang terkenal di seluruh dunia, mulai dari Manhattan, Bronx, Brooklyn, Queens, State Island. Rumah keluarga Raypraja sendiri berada di kawasan elit kompleks perumahan The Hamptons, kompleks perumahan mewah di kota New York yang menjadi tujuan kalangan elit Negeri Paman Sam. Denta menatap rumah baru orangtuanya. Selama di negara ini, orangtuanya akan tinggal di sebuah rumah tua milik kakeknya dulu. Bangunan khas barat yang terletak di ibu kota Amerika Serikat. Kompleks perumahan yang berada di South Fork Long Island. Ia tersenyum tipis, mencoba mengontrol ekspresinya sebelum masuk ke dalam rumah. "Good morning!" seru Denta begitu masuk ke dalam rumah mewahnya, ia berjalan lurus melewati ruang tamu luasnya dan terus berjalan menuju halaman belakang. Tempat dimana orangtuanya sering menghabiskan waktu mereka. "Goodmorning, Mom! Dad!" sapa Denta setelah melihat orangtuanya duduk santai sembari menikmati sarapan mereka. "Goodmorning, Darling," sapa baik ibu Denta, ia lalu memeluk putra satu satunya itu. "Morning, Ta," balas sang ayah hanya mengangkat pisau makannya ke udara. "Mau ikut sarapan?" tanya ibu Denta menawarkan. "Yes, please!" Denta memasang wajah melasnya. "Tolong ambilkan," pintanya kemudian tersenyum memohon. "Dasar manja," cibir ayah Denta melihat sikap manja putranya. "Aku bermanja manja pada orang yang tepat," balas Denta tak acuh. Ratu tersenyum geli mendengar ucapan Denta barusan. Ia lalu menyerahkan piring berisi pancake yang sudah di beri sirup maple kepada putranya itu. "Bagaimana Indonesia?" tanyanya kemudian. "Kau masih belum tahu kabar tentang Prasta dan juga Daska?" imbuhnya kemudian. Denta terdiam kaku, ia menunduk menatap piring di hadapannya. Pria itu tak berani manatap sorot mata milik ibunya. "Ma, Pa..." Denta menatap wajah orangtuanya satu persatu. "Sebenarnya ada yang ingin Denta bicarakan pada kalian," imbuhnya lirih. Ini maslah penting, jadi Denta harus hati hati dalam menyampaikan beritanya kepada kedua orangtuanya. Ratu melirik ke arah suaminya. Sepertinya mereka mengerti dengan perasaan gelisah putranya. "Ini tentang Belva 'kan?" tanyanya tepat sasaran. Denta menatap mata ibunya berkaca kaca. Selama mereka pindah ke negara ini, Denta mencoba untuk menghindari topik tentang adiknya. Ia takut jika perasaan kedua orangtuanya masih terluka akibat kepergian Belva. Apalagi sekarang hal yang ingin dibicarakan oleh Denta adalah penyebab adiknya itu meninggal. Ah, bagaimana caranya menyampaikan hal ini tanpa membuat hati kedua orangtuanya tidak terluka? Well, sebenarnya itu pertanyaan bodoh. Mana ada hati orangtua yang tidak terluka saat mendengar kabar tentang penyebab kepergian putri mereka. Tapi Denta harus meneguhkan hatinya, ia harus kuat untuk orangtuanya. "Ma, Pa, sebenarnya... Denta tahu kalau Bel..." "Kita sudah tahu kejadian yang sebenarnya, Ta," ujar Raja membuat tubuh Denta menjadi kaku. Pria itu memotong ucapan putranya karena tahu apa yang hendak Denta bicarakan. "K-kalian sudah tahu? B-bagaimana bisa?" tanya Denta menatap orangtuanya bingung. Raja melirik ke arah istrinya, mempersilahkan perempuan itu untuk menjelaskan semuanya. "Beberapa bulan setelah kita pindah ke sini, orangtua Daska mendatangi kami dan menceritakan semuanya. Mereka menjelaskan tentang semuanya kepada kami, mereka juga meminta maaf atas apa yang sudah terjadi di antara Daska dan juga Belva," terang Ratu, kedua matanya sudah berkaca kaca. "L-lalu? Kalian...." Denta kehilangan kata katanya. "Kami marah besar, Ta," jawab Rama menatap putranya sendu. "Kami kecewa, marah, terluka, semua perasaan campur aduk. Mereka terus meminta maaf, kita semua menangis bersama," imbuhnya kemudian. Denta hanya diam saja, ia tak kuasa untuk bertanya lebih lanjut lagi. "Kami bahkan mengusir mereka dari rumah ini," ujar Rama melanjutkan. Denta memejamkan kedua matanya rapat rapat. Rahasia yang ingin ia tutup tutupi akhirnya terbongkar juga. Sekarang orangtuanya telah mengetahui semuanya. "Tapi kami memutuskan untuk memaafkan semuanya," ujar Ratu menambahkan. Denta langsung membuka kedua matanya, menatap wajah kedua orangtuanya satu persatu. "Lebih tepatnya, kami mencoba untuk memaafkan. Semua yang terjadi tidak akan bisa kembali lagi. Hidup harus terus berlanjut dan dendam tidak akan menyelesaikan apapun. Mungkin butuh waktu untuk bisa benar benar memaafkan mereka semua, tapi kita hanya bisa berusaha. Mungkin hubungan kita tidak akan kembali lagi seperti dulu, tapi setidaknya kita bisa memulai cerita baru tanpa adanya kekhawatiran tentang masa lalu." Rama diam sejenak. "Kami berharap kau juga begitu." Pria lanjut usia itu menepuk pundak putranya pelan. Denta lantas memeluk ibunya erat. "Denta sayang sama kalian. Kalian adalah orangtua yang sangat hebat. Denta bangga menjadi anak kalian." Pria itu memeluk semakin erat. "Denta janji akan menjadi anak yang baik." Raja dan Ratu hanya tersenyum mendengar ucapan Denta barusan. Flashback Off "Om, Tante..." Jeva terharu mendengar cerita Denta barusan. Ia tak menyangka jika hati orangtua Denta bisa selapang ini. Mereka mencoba ikhlas dan memaafkan semuanya. Mencoba berjalan ke depan tanpa mengingat kembali kejadian pahit di masa lalu. "Yeah, aku sangat beruntung memiliki orangtua seperti mereka. Rasanya jika aku jadi mereka, aku tidak akan sanggup untuk memaafkan orang yang sudah membuat keluargaku menderita. Memikirkannya saja, aku tidak sanggup, Jev." "Aku ingin sekali memeluk mereka," gumam Jeva. "Kalau begitu kau harus pergi ke New York," balas Denta tersenyum kecil. "Hehm, aku pasti akan mengunjungi mereka." Jeva balas tersenyum, ia tak sengaja melirik layar ponsel dan melihat jika jam sudah menunjukan pukul 2. "Ah, aku harus kembali ke kantor!" serunya kemudian. "Mau aku antar?" tanya Denta. "Tidak. Tidak." Jeva menolak. "Kau yakin tidak perlu ku antar?" tanya Denta sekali lagi. "Iya, tidak perlu, Ta." Jeva menolak tawaran Denta dengan senyuman manisnya. "Aku bisa pesan taksi online." Denta mengangguk mengerti. "Baiklah, hati hati di jalan." "Hehm. Bye." Jeva pamit pergi. Denta menatap kepergian Jeva, ia menghela nafas pelan. "Berpura pura baik baik saja itu ternyata tidak mudah. Hah, bagaimana kau bisa menghadapi mereka, Jev," gumamnya pelan. *******
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN