44. Langkah Awal

1002 Kata
Jeva menatap gedung Wenas Groub yang berdiri kokoh di hadapannya. Lagi lagi ia melakukan hal yang sama, entah itu DoubleU atau pun Wenas Groub. Jeva juga tidak habis fikir kenapa hidupnya tetap berkitat pada gedung ini, pada nama yang sama dan juga orang yang sama. Gedung ini yang pernah menjadi saksi bisu pertemuannya dengan orang orang yang ia sayangi dan cintai. Juga tempat yang menyimpan segala kenangan manis dan pahit. Tidak ada yang berubah, namun suasananya cukup berbeda. Perempuan itu menatap gedung dan sekitarnya, lalu mulai melangkah menuju pintu masuk. Ini kali pertama Jeva menginjakkan kakinya di gedung ini setelah 3 tahun yang lalu memutuskan untuk berhenti bekerja. Perempuan itu mengambil nafas panjang sebelum kemudian masuk ke dalam pintu putar dan berdiri di lobbi utama gedung Wenas Groub. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut lobi, banyak pegawai dari Wenas Groub yang hilir mudik. Perempuan itu mencoba mengatur debaran jantungnya yang menggila, menyiapkan seribu jawaban di otaknya setelah selama 3 tahun menghilang begitu saja. Jeva berjalan menuju lift, tersenyum menyapa 2 pegawai laki laki dan perempuan yang berdiri di balik meja resepsionis. Mereka saling melempar senyum, Jeva yakin jika mereka menyimpan banyak sekali pertanyaan untuknya. Jeva mengenal mereka sebagai rekan kerja, cukup sering mengobrol saat Jeva tengah menunggu Daska atau Belva di lobi. Jeva berdiri di depan lift, ada beberapa orang yang juga seperti dirinya. Perempuan itu tersenyum ramah, ia tak mengenali wajah mereka. Mungkin saja pegawai baru mengingat sudah lama ia tak menginjakkan kakinya di gedung ini. "Eh, itu bukannya Jeva?" bisik salah seorang pegawai yang tengah menobrol dengan resepsionis. "Dia sudah kembali?" Salah satu temannya menanggapi. "Aku dengar dia pergi ke Korea." lanjut yang lain. "Kasihan sekali dia harus kehilangan temannya." Pria di balik meja resepsionis juga ikut berkomentar. "Sampai detik ini saja aku masih kaget saat mendengar kabar kematian Belva." "Bagaimana kondisi Jeva saat ini ya?" "Dia pasti sangat menderita." "Lalu kenapa tiba tiba ia kembali ke sini lagi?" Jeva dapat mendengar desas desus yang di lontarkan oleh pegawai Wenas Groub saat ia berjalan melewati lobbi kantor. Wajar saja kedatangannya menjadi topik hangat pagi ini. Tapi perempuan itu mencoba tak mengacuhkannya, ia memilih menutup telinga dan mengabaikan semua orang yang tengah membicarakannya. Ia berdiri tenang menunggu lift di hadapannya hingga terbuka. Butuh beberapa menit lagi lift tersebut sampai di lobbi karena saat ini masih berada di lantai paling atas. Tak selang beberapa menit kemudian, lift turun dan berhenti di lobi. Ting! Pintu lift terbuka dihadapan mereka, Jeva dan beberapa orang masuk ke dalam lift. Lift melaju ke atas dengan tujuan lantai masing masing. Jeva memencet tombol lift untuk semua orang karena ia yang berada paling dekat dengan tombol lift. Lift melaju pelan menuju ke atas sampai akhirnya berhenti di lantai 12, ada dua orang yang turun di lantai tersebut. Setelahnya pintu lift kembali menutup setelah beberapa detik tidak ada orang yang masuk. Lift kembali lajut ke lantai atas dan berhenti di lantai 17. Lantai untuk Divisi Keuangan, lantai yang dulu sering Jeva tuju. Lift kembali melanju ke atas setelah 3 orang turun. Kini di dalam lift hanya ada Jeva seorang, perempuan itu menuju tempat kerja barunya. Sebagai sekretaris dari orang nomor satu di perusahaan ini. Meja kerjanya sekarang berada di lantai gedung paling atas, bersama dengan Prasta Wenas selaku CEO dari Wenas Groub. Ting! Denting lift kembali terdengar saat Jeva tiba di lantai 29. Perempuan itu melangkah keluar lift, berbelok ke kiri menuju ruang kerja Prasta dan dirinya. Ia menyapa beberapa orang yang hilir mudik melewatinya. Jeva melihat meja kerjanya dari jauh, ia melihat ke sekeliling. Dulu ia sering datang ke sini untuk menyerahkan laporan kepada Daska. Pria itu akan menahannya sebentar sebelum kemudian Jeva pamit karena tidak ingin di anggap non profesional. Jeva meraba meja kerjanya, lalu duduk di balik singgasana barunya. Menyiapkan beberapa keperluan untuk bekerja, menyalakan komputer dan mengecek jadwal kerja Prasta pada tablet miliknya. Beberapa menit kemudian, Prasta tiba di kantor. Pria itu memakai setelan serba hitam, mulai dari kemerja, jas, celana dan sepatu. Pria itu menggunakan dasi warna merah yang mencolok. Rambutnya tertawa rapi oleh gel rambut, membuat penampilannya terlihat sangat menawan. Saat menatap Prasta untuk kali pertama hingga detik ini, jantung Jeva masih berdetak kencang setiap kali melihat paras pria itu. Jeva tidak tahu alasannya, mungkin karena paras itu mengingatkannya akan sosok pria yang pernah ia cintai di masalalu. Perempuan itu mencoba menepis perasaan aneh yang muncu dan mencoba mengabaikan detak jantungnya yang berdetak lebih cepat. "Selamat pagi, Pak!" Jeva berdiri untuk menyambut kedatangan Prasta. "Pagi," balas Prasta seadanya. Pria itu melewati meja kerja Jeva dan berjalan menuju ruangannya sendiri. Namun tangannya terhenti di atas daun pintu, ia menoleh ke arah Jeva. "Ke ruanganku 10 menit lagi, aku ingin membahas jadwal pekerjaan denganmu," ujarnya kemudian. "Baik, Pak." Jeva mengangguk dengan sopan. Prasta lalu masuk ke dalam ruangan. Meninggalkan Jeva yang berdiri gugup di balik meja kerjanya. Perempuan itu menghirup nafas panjang, bersiap siap untuk pekerjaan barunya. "Kau pasti bisa, Jev. Semangat, untuk pekerjaan barumu," gumam Jeva berusaha menyemangati dirinya sendiri. Ia kembali duduk, mengecek sekali lagi jadwal kerja Prasta supaya nanti bisa lancar membahasnya. Hidup harus terus berlanjut bahkan setelah adanya badai. Percuma menangisi kesedihan yang hanya akan membuat hati semakin menderita. Waktu tahun mungkin tak cukup untuk menyembuhkan semua luka yang ada, namun setidaknya rasa sakit yang Jeva rasakan sudah tak sebesar dulu. Perlahan lahan, rasa sakitnya akan menghilang sepenuhnya. Mungkin dengan orang yang baru atau pun dengan cerita yang baru. Jeva masih berusaha untuk mendapatkan kebebasannya, mencoba melepaskan rasa sesak di d**a yang selama 3 tahun ini menghampirinya. Obat terbaik untuk luka, biasanya akan sembuh saat berhadapan dengan si pembuat luka. Jeva tak yakin akan hal itu, tapi ia mencobanya dengan berhadapan dengan Prasta terlebih dahulu sebelum nanti ia akan berhadapan dengan Daska. Bertemu setiap hari dengan Prasta mungkin akan membuatnya terbiasa. Pada akhirnya. "Hufht." Jeva menghela nafasnya, lalu beranjak berdiri dan mengambil tablet di atas meja. Ia berjalan menuju pintu ruang kerja Prasta, mengetuk pintu beberapa kali sampai mendapat persetujuan dari atasannya untuk masuk ke dalam. Pekerjaan baru dimulai! *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN