37. Keputusan untuk Kembali Berjuang

1080 Kata
"Argh!" Daska memegang kepalanya yang terasa sakit. Pria itu berjalan sempoyongan menuju penthouse milik Prasta. Penampilannya sangat kacau, lagi lagi ia memilih alkohol sebagai pelarian dari masalahnya. Sebenarnya bukan sebuah masalah yang besar, hanya perubahan yang membuat dirinya bertanya tanya. Semakin hari mengenal Jeva, ia semakin merasa jika mereka memang berhubungan. Ia merasa seperti ada ebnang tak kasat mata yang menghubungkan mereka berdua. "Ck, sudahlah." Daska mengusap wajahnya kasar, ia telah tiba did epan pintu penthouse milik saudara kembarnya. Klik klik klik. Daska memasukan kode pin yang sudah ia hafal di luar kepala. Failed "Lho, kenapa salah?" tanya Daska heran. Ia menekan kode pin sekali lagi. Bip. Failed. "Salah lagi?" Daska semakin heran. "Aku sudah menekan kode yang benar, kenapa tetap salah?" gumamnya heran. Pria itu lalu mengambil ponselnya, ia hendak menghubungi Prasta. Tuut... tuuut... tuut... Terdengar nada sambung yang cukup lama, namun panggilannya tak di angkat oleh Prasta. Panggilan dari Daska hanya tersambung ke mail box, bahkan hingag beberapa kali tetap seperti itu. “s**l, kemana si b******k itu!” maki Daska kesal. Kepalanya pusing dan nyaris meeldak, ia ingin cepat cepat mengistirahatkan tubuhnya, namun si pemilik penthouse malah tak bisa di hubungi. Prasta kemudian mencoba untuk menekan bel pintu. Ting! Tung! Ting! Tung! Ting! Tung! Di dalam penthouse, Prasta mendengar bel rumahna berbunyi berkali kali. Pria itu baru saja ingin merebahkan badannya setelah selesai mandi Ia bangki dengan rasa kesal. Ia melirik pintu kamarnya yang tertutup, lalu beranjak turun dari kasur dan keluar kamar membukakan pintu untuk tamu kurang ajar yang datang saat hari sudah larut malam seperti ini. Prasta menatap tajam tamu yang berdiri di depan pintu penthousenya. Pria itu menyedekapkan tangannya di depan d**a. Ia berdiri di ambang pintu sehingga tamunya tidak bisa masuk. “Aku tidak menerimamu,” ucap Prasta tanpa basa basi. “Yak! Kau tidak bisa sekejam ini padaku,” keluh Daska menatap abangnya nelangsa. Ia mencoba untuk masuk namun Prasta menahannya. “Bukankah kau punya penthouse sendiri, kenapa kau selalu datang ke sini? Dan kau sudah mabuk, aku tidak menerima orang mabuk,” ujar Prasta dengan wajar datarnya. “Ayolah! Kita hanya beberapa hari lagi di Korea, jadi berbagi saja denganku,” keluh Daska kembali mencoba masuk ke dalam. “Tidak bisa!” Prasta menahan tubuh Daska yang hendak masuk. “Kalau kau tidak ingin ke penthousemu, sewa saja satu penthouse di gedung ini,” ujarnya tanpa ekspresi. “Yak! Itu namanya pemborosan! Kalau aku bisa berbagi denganmu, kenapa aku harus menyewa tempat yang baru,” omel Daska. “Cih.” Prasta hanya mendengkus. “Kepalaku pusing, biarkan aku masuk,” ucap Daska jujur. Prasta menelisik penampilan Daska saat ini, penampilan pria itu sangat kacau. Ia kemudian menyingkir dari pintu sehingga Daska bisa masuk ke dalam rumahnya. Daska langsung menjatuhkan tubuhnya di atas sofa ruang tamu. “Tidur di kamar tamu,” ucap Prasta tak acuh. Pria itu bergegas kembali ke dalam kamarnya sendiri. “Aku seperti ini karena memikirkan perempuan bernama Jeva,” ujar Daska pelan. Prasta menghentikan langkahnya, ia berbalik ke arah Daska. “Apa maksudmu?” tanyanya kemudian. “Di sini...” Daska menunjuk dadanya. “Tiba tiba terasa sesak saat melihatnya menangis seperti tadi di kantor.” Ia diam sejenak. “Kau fikir kenapa?” tanyanya nelangsa. Prasta terdiam sejenak. “Tidurlah. Kau mabuk.” Ia hanya mengucapkan dua kalimat, setelah itu berlalu pergi dan masuk ke dalam kamarnya. Prasta berbaring di atas ranjangnya, ia menatap langit langit kamarnya. “Aku juga merasakannya, Das. Aku juga tidak tahu bagaimana menjelaskan situasi yang terjadi pada kita?” gumamnya kemudian. ****** “Indonesia!” seru Elsa kaget setelah mendegar uapan dari Belva. Perempuan itu bangkit duduk, membiarkan masker di wajahnya jatuh begitu saja di pangkuan. “Hehm” Jeva mengangguk, perempuan itu duduk di lantai, menatap Elsa yang menguasahi tempat tidurnya. Perempuan itu baru saja menceritakan apa yang ia bcarakan dengan Prasta sata am pulang kantor tadi. Prasta mengatakan jika Jeva akan ditugaskan menjadi sekretaris pria itu dan mereka akan kembali ke Indonesia, kembali ke Wenas Groub. “Itu artinya... kau akan kembali bekerja di gedung yang dulu kau pakai? Di Wenas Groub?” tanya Elsa menatap Jeva dengan tatapan ngeri. “Begitulah,” sahut Jeva tersenyum tipis. “Terus? Kau akan pergi ke sana?” tanya Elsa takut takut. “Memangnya aku punya pilihan jika perintah itu datang langsung dari Pak Prasta,” sahut Jeva tersenyum kecut. “Yak! Kau yakin akan melakukannya?” Elsa menatap Jeva dengan tatapan serius. “Kalau kau memang tak yakin, lebih baik tidak usah. Aku yakin kalau kau menjelaskannya kepada Pak Prasta, dia akan mengerti dengan keputusanmu,” jelasnya kemudian. Jeva hanya diam saja. “Oh, temanmu yang baru kembali ke Indoneisa!” seru Elsa. “Kau minta bantuan dia saja. Aku yakin Denta akan membantumu. Dia akan bicara dengan Prasta,” celotehnya teringat dengan teman Jeva yang baru kembali ke Indonesia beberapa tadi pagi. “Hufht.” Jeva menghela nafasnya lelah. “Aku tidak bisa melakukannya, El. Aku tidak ingin merepotkan Denta. Aku tahu meskipun ia mengatakan sudah berbaikan dengan Daska, tapi aku yakin hubungan mereka sudah tidak seperti dulu lagi. Pasti berat sekali bagi Denta untuk berbicara dengan Prasta,” jelasnya panjang lebar. “Hehm, benar juga.” Elsa mengangguk mengerti. Mereka berdua sama sama diam. Hanya ada suara dari televisi yang menayangkan suatu drama di KBS Tv. Keduanya larut dalam fikiran masing masing. Jeva sedang menimbang nimbang tawaran pekerjaan dari Prasta untuk kembali ke Indonesia sementara Elsa tengah memikirkan sahabatnya itu. Sekali lagi takdir ingin Jeva kembali mengingat ke masalalu. Bersama semua orang yang terlibat, mereka dipaksa untuk menelusuri benang takdir yang dulu memperumit kehidupan mereka. “Mungkin takdir ingin kami menyelesaikan semuanya. Benang yang telah kusut harus segera diluruskanm supaya tidak bertambah kusut,” bisik Jeva setelah lama terdiam. “Aku menyerahkan semuanya pada takdir, El. Percuma saya menghindar atau pun melawan, nyatanya takdir terus menarikku pada pusaran yang sama,” imbuhnya kemudian. Elsa melirik Jeva, lalu berjalan menhampiri teman rumahnya itu. Memeluk Jeva untuk memberikan dukungan. “Aku akan selalu mendukung keputusanmu, aku akan selalu di sisimu sekalipun kita nanti LDR,” bisiknya sambil menepuk nepuk pundak Jeva. “Terimakasih, El, terimakasih.” Jeva membalas pelukan Elsa dengan erat. Jeva memutuskan untuk kembali berjuang, bukan melawan takdir. Tapi berjuang untuk mas adepannya, masalalu yang membuatnya menderita. Sampai kapanpun akan selalu menghantuinya jika tidak segera diselesaikan. Ia harus berdamai dengan masalalu, untuk melangkah ke masa depan yang lebih baik. Dan hal itu dimulai dengan kembali ke masalalu. *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN