38. Kembali ke Bumi Pertiwi

1471 Kata
Indonesia. Bumi pertiwi yang ditinggalkan oleh Jeva selama kurang lebih 3 tahun ini. Perempuan itu pergi dengan membaca kenangan yang buruk, masalalu yang kelam dan luka yang akan lama terobati. Hari ini ia kembali dengan luka yang belum sepenuhnya terobati, tapi mungkin ia memang harus melaluinya untuk bisa menyembuhkan lukanya untuk selamanya. Menahan rasa sakit lebih lama untuk menghilangkan selamanyan. Takdir sudah memberikan satu kesempatan bagi Jeva untuk menyelesaikan masalalunya. Menguraikan benang kusut yang selama ini masih membelenggunya kendati ia pergi jauh dari Indonesia. Jeva tidak ingin lagi menjadi pengecut yang lari dari masalah. Semuanya harus segera di selesaikan karena memang ada potongan potongan yang belum terpecahkan. Jeva akan berusaha merekatkan potongan potongan itu dan menyelesaikans semuanya. Supaya Belva juga bisa tenang di atas sana. “Sudah sampai di Indonesia?” Suara dari Elsa menyapa gendang telinga milik Jeva. Jeva sedang menapaki anak tangga menuju rumah atapnya yang dulu dengan susah payah karena koper besar yang menyimpan barang barangnya. Rumah itu masih tampak rapi karena memang Jeva menyuruh di pemilik rumah untuk membersihkannya selama ia tak pulang. “Aku sudah tiba di rumahku, El,” jawab Jeva, menatap bangunan sederhana di hadapannya, juga halaman balkon dengan meja persegi yang biasa ia gunakan untuk merenung. “Hah, syukurlah. Aku selalu cemas saat orang yang aku kenal naik pesawat, kau tahu kalau banyak kecelakaan pesawat yang terjadi,” celoteh Elsa membuat Jeva tersenyum. “Alhamdulillah, aku tiba di tujuan dengan selamat,” sahut Jeva mengerti kekhawatiran Elsa. “Kau sudah menghubungi orangtuamu kalau sudah kembali ke Indonesia?” tanya Elsa. “Sudah.” Jeva berjalan rumahnya, membuka pintu dengan kunci yang tadi diberikan oleh pemilik rumah atap itu. “Mereka mengatakan akan datang ke Jakarta, tapi aku melarangnya dan mengatakan akan pulang besok atau lusa. Pak Prasta memberikan aku waktu seminggu untuk menyiapkan semuanya sebelum mulai bekerja di Wenas Groub,” imbuhnya kemudian. “Oh, begitu,” gumam Elsa dari ujung telfon. Jeva melangkah masuk ke dalam rumahnya, tidak ada yang berubah dengan rumah kecilnya. Perabotan dan suasananya masih sama, sejujurnya Jeva merindukan rumahnya. Rumah ini memiliki banyak kenangan indah bersama orang orang yang ia sayangi. “Ya sudah, istirahatlah. Aku akan menelfonmu nanti,” ujar Elsa mengakhiri pembicaraannya dengan Jeva. Jeva meletakkan ponselnya ke dalam tas miliknya. Ia lalu mulai membuka kain kain warna putih yang menutupi soda dan meja. Melipat kain tersebut lalu menyimpannya di dalam lemari. Perempuan itu lalu merebahkan tubuhnya ke sofa, tubuhnya terasa lelah setelah melakukan perjalanan jauh. Hingga akhirnya Jeva tertidur karena terlalu lelah. ****** “Yak! Memangnya kau itu presiden yang kedatangannya harus di sambut!” omel Denta, pria itu mempercepat laju kendaraannya menuju alamat yang sudah ia hafal di luar kepala. “Aku sedang sibuk!” serunya kemudian, melihat spion depan sebelum kemudian berbelok ke kiri. “Sibuk apa? Kau ‘kan tidak punya pasangan,” cibir Daska tak tahu diri. “Kalau kau ada jadwal ONS, lakukan saja besok. Kita bersenang senang dulu untuk reunian,” imbuhnya kemudian. “No. Ini lebih penting daripada ONS,” sahut Denta. “Apa?” tanya Daska ingin tahu. “Menemui perempuan yang paling aku sayangi setelah ibuku,” jawab Denta lirih. “Aku tutup.” Tanpa mendengar balasan dari Daska, pria itu mematikan sambungan telfon begitu saja. Ia tersenyum kecil membayangkan Daska misuh misuh di seberang telfon. Denta melepas earphone di telinganya, pria itu menatap bangunan bertingkat di hadapannya. Bangunan yang sering ia datangi 3 tahun yang lalu. Ya, setelah Jeva menghilang, pria itu kerap datang ke tempat ini. Berharap lampu rumah atap ini menyala yang artinya Jeva sudah pulang ke rumah. “Akhirnya kau datang juga, Jev,” gumam Denta lirih. “Aku janji akan membantumu untuk menyelesaikan semuanya. Apapun akan aku lakukan untuk dirimu.” Setelah mengatakan hal tersebut, ia keluar dari dalam mobil lalu berjalan ke arah tangga yang menuju ke rumah atap milik Jeva. Lampu di depan rumah ata tersebut belum menyala, membuat Denta sedikit bingung. Padahal seharusnya Jeva sudah berada di Jakarta, sama seperti Daska dan juga Prasta. “Apa dia tidak ada di rumah?” gumam Denta pelan. Pria itu hendak menyentuk daun pintu, namun pintu di hadapannya berderit terbuka dari dalam. Jeva muncul dengan raut wajah terkejut saat melihat kedatangan Denta. “Aku fikir kau tidak ada di rumah. Kenapa lampu belum menyala?” tanya Denta menunjuk lampu di atas mereka. “Setelah tiba, aku ketiduran dan baru terbangun tadi,” sahut Jeva, ia kembali masuk ke dalam dan menyalakan saklar lampu depan rumah. “Lalu kau mau kemana?” tanya Denta kemudian karena melihat Jeva keluar dengan membawa dompet. “Aku lapar,” jawab Jeva singkat. “Ya sudah, aku akan mengantarmu,” ujar Denta menawarkan. “Ayo.” Jeva tak menolak. Mereka pergi mencari makan dengan menggunakan mobil Denta, memutari jalanan malam kota Jakarta sebelum kemudian memutuskan untuk makan di sebuah restoran masakan nusantara. Denta memarkirkan mobilnya di halaman depan restoran, mereka turun dan masuk ke dalam restoran dengan nuansa khas Jawa itu. “Aku senang pada akhirnya kau memilih untuk kembali,” ujar Denta, mereka tengah menunggu makanan pesanan mereka datang. “Seperti ucapanmu saat aku mengatakan tawaran dari Prasta, aku harus bisa melawan ketakutanku dan sikap pengecutku jika aku memang ingin luka itu menghilang. Menghadapi adalah cara terbaik untuk menyembuhkan luka, sekalipun dalam prosesnya kita akan merasakan luka berkali kali. Setidaknya luka itu akan sembuh setelah masalah selesai. Menghindar hanya akan membuat luka itu terus ada dan akhirnya membuat rasa sakit yang lebih parah tiap harinya,” ucap Jeva panjang lebar. Denta menatap Jeva sendu, bagaimana pun juga adiknya terlibat dengan masalah ini, bahkan yang memulainya, jadi ia juga bertanggungjawab atas masalah yang sedang terjadi. “Aku akan membantumu, aku akan selalu ada di sampingmu.” Pria itu meraih tangan Jeva dan memegangnya cukup erat. “Terimakasih, Ta. Maaf karena aku pernah menjadi pengecut dan lari dari masalah.” Jeva memegang tangan Denta yang tengah menggenggam tangannya. “Jeva? Denta?” Seseorang datang menghampiri meja mereka. Denta dan juga Jeva menoleh ke arang orang tersebut, mereka terkejut saat mengetahui siapa orang yang sudah memanggil nama mereka. Jeva segera melepaskan tangannya dari genggaman Denta, perempuan itu menautkan tangannya dengan gugup di atas meja. Denta menatap orang itu tanpa ekspresi. “Kita memang harus bertemu, tapi aku tidak menyangka jika waktunya adalah hari ini,” ujar Denta dalam hati. “Pak Prasta.” Pada akhirnya, Jeva menyebutkan nama pria itu. Ya, Prasta baru saja selesai menemui klien saat melihat Jeva dan juga Denta duduk berdua di satu meja. Prasta memang pekerja keras, baru tiba di Indonesia dan sudah melakukan pekerjaannya sebagai seorang pemimpin. Makhlum saja karena saat ini Wenas Groub sedang terpuruk karena kelalaian dari pamannya. “Apa yang kalian lakukan di sini? Kalian saling kenal?” tanya Prasta menatap Jeva dan Denta bergantian. “Itu....” Jeva tak melanjutkan ucapannya karena ia belum menemukan jawaban yang tepat untuk pertanyaan Prasta barusan. Ia tidak pernah menyangka jika mereka bertiga akan bertemu secepat ini. “Kau sendiri mengenal Jeva darimana?” tanya balik Denta saat melihat kegugupan Jeva. “Ehm, dia pegawai di Wenas Group. Aku bertemu dengannya pertama kali di Korea, di DoubleU,” sahut Prasta. Pria itu diam sejenak, menunggu jawaban dari mereka atas pertanyaannya yang tadi. “Kita mengenal sudah lama, bahkan sebelum Jeva ke Korea. Yah, bisa dibilang kenalan lama. Kita makan malam untuk reuni bersama setelah Jeva kembali ke Indonesia,” ujar Denta pada akhirnya. Ia tidak tahu sejauh apa Belva menceritakan tentang Jeva kepada Prasta. Pria itu tahu jika adiknya selalu menceritakan Jeva kepada Prasta sekalipun ia tak pernah menyebutkan nama. Untuk saat ini sebaiknya ia mengatakan hal tersebut. Ia tidak ingin Prasta curiga dan akhirnya mengetahui jika Jeva adalah calon istrinya Daska, sudara kembarnya. Jev menatap ke arah Denta, lalu mengangguk mengiyakan. “Pak Prasta sendiri sedang apa di sini?” tanyanya kemudian mencoba mengalihkan topik pembicaraan. “Dan, kalian saling kenal?” Jeva berusaha mengikuti alur yang sudah di ciptakan oleh Denta. “Oh, saya tadi ada pertemuan mendesak dengan klien penting,” jawab Prasta. “Dan hubunganku dengan Denta, dia itu kakak dari almarhum Belva. Saya sudah pernah bilang jika punya tunangan bernama Belva. Denta ini kakaknya, sekaligus sahabat saya sejak kecil,” imbuhnya kemudian. “Oh.” Jeva mengangguk mengerti. Mencoba bersikap tenang walaupun tangannya sudah gemetar saat Prasta menyebutkan nama Belva tadi. “Ehm, ya sudah. Saya pamit permisi dulu,” ujar Prasta kepada Jeva. Pria itu lalu menoleh ke arah Denta. “Ta, aku pergi dulu,” pamitnya kemudian. “Hehm, hati hati,” sahut Denta. Setelah kepergian Prasta, suasana mendadak hening. Jeva diam menatap tangannya yang saling tertaut di atas pangkuannya. Sedangkan Denta mengamati Jeva dalam diam. “Ini baru di mulai, Jev. Aku harap kau bisa melalui semuanya,” ujar Denta lirih. Jeva mendongak menatap Denta. “Aku juga berharap begitu, Ta,” balasnya lirih.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN