36. Kembali Mengingat Luka

1614 Kata
Prasta merebahkan tubuhnya ke atas tempat tidurnya, ini sudah larut malam dan ia baru saja pulang dari kantor. Pria itu tak melihat sosok Daska saat emmasuki apartemen, mungkin saja saudara kembarnya itu masih bersenang senang di luar. “Hah.” Prasta menghela nafasnya, lalu berjalan menuju kamar mandi. Tubuhnya sudah lengket oleh keringat, air hangat akan membuat tubuhnya menjadi segar. Prasta melucuti semua pakaiannya, berdiri di bawah shower dan membiarkan guyuran air membasahi seluruh tubuhnya. Setelah beberapa menit, ia mematikan keran shower. Ia lalu menatap cermin di hadapannya, sedikit berembun karena uap panas dari air shower. d**a bidang serta perut sixthpactnya terpampang nyata. Prasta mengusap rambutnya ke belakang, wajah tampannya terlihat lebih segar dengan beberapa bulir air yang menetes. “Jeva,” gumam Prasta pelan. “Sial.” Pria itu mengumpat saat tiba tiba saja jantungnya bergemuruh. Jantungnya tiba tiba berdetak kencang bahkan saat pria itu hanya menyebut namanya. Sejak bertemu dengan Jeva, perasaannya memang sedikit berebda. Hatinya yang kosong tiba tiba saja menghangat. Apa itu artinya ia punya perasaan terhadap Jeva? “Ah, itu tidak mungkin.” Prasta menggeleng. Pria itu kembali menghidupkan keran dan air dari shower langsung membasahi seluruh tubuhnya. “Bagaimana aku bisa jatuh cinta dengan orang lain jika Belva masih menempati ruang terluas di hatiku?” bisiknya dalam hati. Prasta melakukan aktifitasnya di dalam kamar mandi. Ia keluar sekitar 10 menit kemudian. Handuk menggantung di pinggangnya, membiarkan tubuh bagian atasnya terbuka. Tangannya tengah mengusap usap rambutnya yang basah dengan handuk kecil. Ia berjalan menuju walking closet hendak berganti baju. Brak! Pintu kamar Prasta terbuka lebar, Daska masuk begitu saja setelah membuka pintu tanpa mengetuknya terlebih dahulu. Pria itu duduk dengan santai di atas tempat tidur Prasta. Si pemilik kamar yang hendak berganti baju menghentikan niatnya untuk masuk ke dalam closet. Ia berbalik badan dan menatap saudara kembarnya yang kurang ajar itu. “Kau tidak bisa mengetuk pintu dulu sebelum masuk?” tanya Prasta dengan nada menyindir. “Kita benar benar akan kembali ke Indonesia?” tanya Daska tanpa menjawab pertanyaan Prasta sebelumnya. Prasta menaikkan alisnya. “Kau mendobrak masuk ke kamarku hanya untuk mengatakan hal ini?” tanyanya tak habis fikir. “Aku tidak ingin kembali ke Indonesia,” jawab Daska singkat. “Kenapa?” Prasta masih bersabar dan menunggu penjelasan Daska. Ia mungkin akan mempertimbangkan keputusannya unuk kembali ke Indonesia jika alasan pria itu menurutnya masuk akal. “Aku tidak tahu. Aku hanya tidak ingin kembali” sahut Daska mengangkat bahunya tak acuh. Prasta memutar bola matanya jengah. “Kalau begitu kau tidak perlu kembali. Ada banyak manajer keuangan di sana,” ujarnya kemudian. Ia masuk ke dalam closet dan membiarkan Daska memakinya. “Yak! Kenapa kita harus kembali ke sana? Kita bisa terus bekerja di Korea, Pras.” Daska masih berusaha meyakinkan Prasta. “Perusahaan di sana masih bisa di handle oleh Om Andi,” imbuhnya kemudian. Shinta dan Rama, orang tua si kembar sedang bepergian keliling dunia. Mencoba memulai kembali lembar kehidupan mereka setelah pernikahan anak pertamanya gagal dan kedua anaknya berakhir mengalami hilang ingatan. “Maka dari itu.” Prasta keluar dari closet. Ia sudah mengenakan kaos polos warna hitam dan celana panjang warna abu. “Aku baru saja mendapat kabar jika Om Andi di periksa kepolisian terkait penggelapan pajak. Sebenarnya aku sudah mendapat laporannya 2 bulan yang lalu, tapi aku menunggu itikat baik dari paman kita. Beliau tetap keluarga kita, adik dari papa.” Daska tak lagi membantah. “Kita akan kembali ke sana dan meneruskan perusahaan keluarga. Wenas Groub tidak boleh hancur begitu saja, itu hasil kerja keras papa dan kakek selama ini.” Prasta mendekati Daska. “Aku tidak akan memaksamu untuk ikut, Das. Kau bisa tetap di sini dan mengurus DoubleU,” imbuhnya bijak. “Tidak.” Daska menggeleng cepat. “Aku akan ikut!” serunya kemudian. Prasta menatap Daska dengan tatapan menyelidik. “Kau tidak sedang merencanaka sesuatu ‘kan?” tanyanya curiga. “A-apa?” tanya Daska gugup. “A-aku hanya ingin bekerja keras demi Wenas Groub...” “... dan kalau di fikir fikir, mungkin saja di sana, ingatanku bisa kembali.” Daska mengucapkan kalimat yang masuk akal. “Ingatanku tentang Jeva. Aku akan menggalinya di Indonesia,” imbuhnya dalam hati. Prasta diam sejenak. “Baiklah, terserah kau saja.” ***** DoubleU, Seoul, Korea Selatan. Jeva berdiri di depan pintu ruang kerja Prasta. Saat ia baru saja tiba di Divisi Keuangan, Naya mengatakan jika Prasta menyuruh perempuan itu ke ruangannya. Dan di sinilah Jeva, berdiri gugup di depan pintu. Tangannya sedikit bergetar hendak membuka pintu di hadapannya. Ceklek. Pintu di hadapan Jeva terbuka dari dalam saat perempuan itu hendak membukanya. Ia mundur selangkah, memberi ruang kepada orang yang hendak keluar. Ternyata orang itu Prasta. “P-pak Prasta,” sapa Jeva membungkuk sopan. “Oh, Jeva.” Prasta sedikit terkejut saat melihat Jeva. “Ehm, tiba tiba saja saya harus meeting dengan Tim Produksi.” Ia melirik jam tangan di pergelangannya. “Mungkin sekitar 15-25 menit. Kau tunggu saja di dalam,” ujarnya kemudian. “Baik, Pak.” Jeva mengangguk sopan. “Kalau begitu, saya ke ruang rapat dulu.” Prasat pamit pergi. Begitu Prasta pergi, Jeva masuk ke dalam ruang kerja Prasta. Tidak ada yang berubah dari ruangan ini, sejak pertama kali ia masuk ke ruangan ini. Saat dimana ia bertemu dengan Dask dan saudara kembarnya, si pemilik tempat ini. Jeva berjalan menuju sofa yang ada di tengah ruangan, duduk dengan sopan sembari menunggu kedatangan Prasta. 20 menit berlalu dan Jeva mulai bosan, ia memutuskan untuk melihat lihat ruangan Prasta. Ia melirik sebuah bingkai foto di atas meja kerja Prasta. Terakhir kali ia melakukan kesalahan dengan menjatuhkan bingkai foto tersebut hingga figuranya pecah. “Sudah di betulkan,” gumam Jeva, lalu berjalan menghampiri meja kerja Prasta. Ia mengambil bingkai foto tersebut, lalu membaliknya dan melihat foto yang terpajang di sana. “I-ini...” Jeva terkejut saat melihat foto tersebut. Foto Prasta dan seorang perempuan yang mengenakan kebaya. Mereka foto berdua dengan senyum bahagia menghiasi wajah mereka. “Belva,” gumam Jeva lirih. Ceklek. Pintu ruang kerja Prasta terbuka, pria itu masuk ke dalam. Ia mengernyitkan dahinya saat melihat Jeva berdiri di dekat meja kerjanya sembari memegang pigura foto miliknya. “Jeva?” sapa Prasta. “Hah!” Jeva terkejut mendengar panggilan Prasta barusan. Saking terkejutnya ia sampai menjatuhkan pigura di tangannya. Prang! Prasta dan juga Jeva sama sama menoleh ke lantai, dimana pigura foto milik Prasta lagi lagi pecah menjadi berkeping keping. Mereka diam beberapa detik karena masih terkejut. Jeva yang pertama sadar dan langsung menunduk untuk membersihkan pecahan foto di lantai. “Tidak apa apa.” Prasta menghampiri Jeva. Ia berlutut di dekat Jeva. “Tanganmu bisa terluka, aku akan menyuruh OB untuk membersihkannya,” ujarnya kemudian. Jeva menunduk menatap wajah perempuan dalam foto yang sekarang ada di tangannya. “Ini...” Perempuan itu menggantung ucapannya. Prasta melirik foto yang ada di tangan Jeva. “Itu Belva, tunangan saya. Dia sudah meninggal 3 tahun yang lalu,” jawabnya jujur. Deg! Jantung Jeva serasa ditikam oleh pisau yang sangat tajam. Jantungnya seakan berhenti berdetak karena rasa sakit yang terlalu dalam. Ia tahu kalau Prasta adalah tunangan Belva, tapi mendengar pria itu menyebutkan nama Belva bersanding dengan kata ‘tunangan’ membuat hatinya semakin hancur. “Jev, kau tidak apa apa?” tanya Prasta merasa heran. Ia lebih heran lagi saat Jeva meneteskan air matanya. “Tidak.” Jeva menggeleng pelan. “Kalau boleh tahu, kenapa tunangan Anda bisa meninggal?” tanyanya lirih. “Kecelakaan,” jawab Prasta mengambil pigura foto Belva dari tangan Jeva. “Kecelakaan?” tanya Jeva tak percaya. “Hehm. Aku juga tidak mengerti kronologisnya, saat itu aku ada di Korea. Saat aku tiba di Indonesia, aku hanya bertemu dengan makam Belva,” sahut Prasta lirih. “Ehm, m-maf, Pak, b-bisakah kita berbicara nanti. S-saya harus mengerjakan beberapa laporan,” ujar Jeva terbata. “Ehm, tentu saja. Datang saja ke ruanganku, jika kau punya waktu,” ucap Prasta mengangguk mengerti. “Baik, Pak. Kalau begitu saya permisi dulu.” Jeva pamit pergi. Jeva berjalan cepat menuju lift dan masuk ke dalam dengan terburu buru. Saat berada di dalam lift, tubuhnya seakan tidak memiliki tenaga lagi. Ia jatuh ke lantai dengan bersimbah air mata. Kembali ia mengingat almarhum sahabatnya, juga luka di masa lalunya. Di lantai 37, lift berhenti karena seseorang ingin masuk. Jeva buru buru berdiri dan menghapus air matanya. Ternyata orang yang hendak masuk itu adalah Daska. Jeva menjadi ingat pertengkarannya dengan Daska kemarin. “Ada apa denganmu?” tanya Daska yang melihat air mata Jeva. Pria itu masih menahan pintu lift agar tidak tertutup tapi ia tidak berniat masuk ke dalam lift. “Pak Daska ingin masuk atau tidak?” tanya Jeva mengabaikan pertanyaan Daska sebelumnya. “Aku bertanya ada denganmu? Kenapa kau menangis?” tanya Daska dengan intonasi yang sedikit lebih tinggi. Jeva menantap Daska tajam. “Bukan urusan Anda,” ucapnya dingin. Ia melangkah keluar namun Daska menarik lengan Jeva sehingga membuat perempuan itu berhenti melangkah. “Aku akan menemukan apapun yang coba kau sembunyikan, Jev. Iangatan yang kau coba sembunyikan, aku akan menemukannya cepat atau lambat,” ucap Daska menatap Jeva dengan tatapan tajamnya. “Kau tidak akan pernah menemukannya karena ingatan tentang kita tak pernah ada,” balas Jeva tak kalah dingin. “Bohong! Dari awal reaksimu sangat berbeda jika bertemu denganku. Kau fikir selama ini aku tidak tahu.” Daska tidak percaya begitu saja. “Kita saling mengenal. Itu faktanya,” ujarnya kemudian. “Tidak! Kita tidak pernah saling mengenal,” ujar Jeva menatap kedua manik mata milik Daska. Daska diam mematung menatap Jeva. Perempuan itu mundur satu langkah lalu mendorong tubuh Daska pelan hingga keluar dari lift. Jeva segera memencet tombol lift dan pintu lift menutup rapat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN