52. Waktu Berdua

1007 Kata
Setelah jam makan siang berakhir, Jeva kembali ke perusahaan. Saat melewati ruang kerja Prasta, perempuan itu melirik jendela yang mengarah ke dalam ruangan. Ia tak menemukan siapapun, pria itu tidak ada di ruangannya. Jeva lalu berjalan ke arah mejanya. Ia harus menyiapkan beberapa keperluan untuk bekerja dengan Prasta. Laptop, beberapa file dan juga keperluan lainnya. Tak lama kemudian, Prasta kembali ke ruang kerjanya. Pria itu membawa beberapa tumpukan file. Melihat Prasta kerepotan, Jeva lantas berdiri dan menghampiri pria itu. “Pak Prasta, biar saya bantu,” ujar Jeva menawarkan bantuan. “Tidak perlu.” Prasta menolak tawaran bantuan dari Jeva. “Kita mulai sekarang saja. Bisa kan?” ujarnya kemudian. “Baik, Pak.” Jeva berjalan cepat ke arah mejanya, mengambil beberapa barang lalu menyusul Prasta masuk ke dalam ruang kerja pria itu. Di dalam ruangan, Prasta duduk di atas sofa panjang. Tatapannya mengarah pada layar laptop yang menyala di hadapannya. Ada banyak file di atas meja. Jeva lalu melangkah mendekat dan duduk di sofa single di sebelah sofa panjang. “Saya baru saja dari Divisi Keuangan, mencari beberapa file yang diperlukan. Semuanya ada dia atas meja ini,” ujar Prasta tanpa menoleh ke arah Jeva. “Sebanyak ini?” tanya Jeva terkejut. “Well, cukup menyita waktu saya selama 2 jam,” sahut Prasta. “Jadi Pak Prasta melewatkan waktu makan siang untuk mencari semua file ini." Jeva melirik kotak makan siang yang tadi sempat ia pesan untuk atasannya itu masih utuh. "Kenapa tidak bilang ke saya, Pak? Kalau tahu begini, saya tidak pergi keluar untuk makan siang. Saya bisa membantu Pak Prasta untuk mencari semua file yang dibutuhkan,” celoteh Jeva setengah mengomel. “Justru itu.” Prasta mengalihkan tatapannya ke arah Jeva, menatap retina milik perempuan itu dalam dalam. “Saya tidak mengatakannya karena saya tidak ingin kau melewatkan waktu makan siangmu. Kita akan bekerja sampai larut malam, jadi tidak baik melewatkan waktu makan siang,” ujarnya kemudian. "Dan maaf karena aku tidak memakan makanan yang sudah kau pesan. Aku fikir tidak butuh waktu lama untuk mencari filenya," imbuhnya meminta maaf. Jeva sedikit terkejut. “Anda menyuruh saya untuk tidak melewatkan makan siang, tapi Anda melakukannya,” ujar Jeva lirih. Prasta berdeham, lalu mengalihkan tatapannya kembali ke layar laptop. “Kita mulai saja. Saya sudah mengerjakan yang tahun 2018, kau lakukan yang tahun 2019,” ujarnya kemudian mengalihkan topik. Jeva menghela nafas, lalu mengangguk mengiyakan. Ia mengambil beberapa laporan di atas meja, lalu mencocokkannya dengan data yang ada di dalam laptopnya. Keduanya fokus pada pekerjaan masing masing, banyak sekali yang harus mereka kerjakan. Akan butuh waktu beberapa hari untuk menyelesaikan semuanya. Beruntung karena Jeva dulu pernah bekerja di bidang keuangan, jadi ia bisa membantu Prasta untuk mengecek laporan keuangan. Prasta sesekali melirik ke arah Jeva, tanpa disadari ia merekam semua ekspresi Jeva selama beberapa jam bekerja bersama. Kerutan di dahinya saat sedang serius, menggigit bibir saat menemukan ketidakcocokan, menggigit bibir sembari menunggu loading, menggerakkan lehernya karena pegal, melakukan peregangan karena duduk terlalu lama. Tok Tok Tok Ketuka di pintu membuat Prasta membuyarkan lamunannya. Jeva dan juga Prasta menoleh ke arah pintu, Prasta menyuruh siapapun orang yang mengetuk pintu untuk masuk. Ternyata Nilam sekretarisnya Daska. “Ada apa, Nilam?” tanya Prasta kepada perempuan itu. “Mohon maaf, mengganggu pekerjaan Pak Prasta, tapi rapat penting yang seharusnya di hadiri oleh Pak Daska tidak bisa di hadiri oleh Beliau. Klien dari Jepang memajukan pertemuan lebih cepat sehingga Pak Daska harus menemui klien tersebut,” jelas Nilam, mengutarakan maksud kedatangannya menemui Prasta. “Rapat dengan klien dari Makasar?” tanya Prasta. Seharusnya ia memang menghadiri rapat tersebut, namun karena pekerjaannya mengecek laporan keuangan, ia memindahkannya kepada Daska. “Ya sudah, sebentar lagi saya ke sana. Tolong kau siapkan acara rapatnya,” perintahnya kemudian. “Baik, Pak.” Nilam mengangguk mengerti. Perempuan itu keluar dari ruang kerja Prasta. “Jev, kau kerjakan saja laporannya. Aku akan rapat dulu. Tidak apa apa kan, kalau aku tinggal?" tanya Prasta menoleh ke arah Jeva. “Ehm, kau bisa...” “Saya akan melanjutkan pekerjaannya, Pak. Anda bisa pergi ke ruang rapat lebih dulu.” Jeva memotong ucapan Prasta. Ia mengerti kekhawatiran Prasta. “Benar tidak apa apa, kalau kau bekerja sendirian? Mungkin akan membutuhkan 3-4 jam sebelum saya kembali ke sini. Apa aku harus mencarikan oranglain untuk membantumu?” tanya Prasta merasa tidak enak. “Atau kau bisa beristirahat dan melakukan hal lain sampai saya kembali ke sini,” imbuhnya kemudian. “Bukankah semakin cepat selesai akan semakin baik. Saya bisa menyicilnya, daripada tidak melakukan apa apa,” jawab Jeva masuk akal. Prasta menatap Jeva, ia masih tak yakin. “Tenang saja, Pak. Saya akan bekerja dengan baik, walaupun Pak Prasta tidak mengawasi saya,” oceh Jeva tersenyum bercanda. “Bukan itu maksud saya,” ujar Prasta mengomel namun tak urung tersenyum. “Iya, saya mengerti.” Jeva mengangguk sembari tersenyum kecil. “Saya tidak masalah bekerja sendirian, Pak Prasta bisa pergi rapat dengan klien,” ujarnya mencoba meyakinkan Prasta. “Ya sudah,” ujar Prasta pada akhirnya. “Saya pergi rapat dulu," imbuhnya kemudian. “Iya, Pak.” Jeva mengantar kepergian Prasta sampai di depan pintu. Jeva lalu kembali ke sofa, hendak melanjutkan kegiatannya. Waktu berjalan dengan cepat, perempuan itu sudah mengerjakan laporan selama kurang lebih 3 jam. Prasta belum kembali ke ruangan, padahal waktu sudah menunjukan pukul 5 sore. Jeva melakukan peregangan, membasahi tenggorokannya dengan air mineral lalu kembali bekerja. Ia baru mengerjakan laporan selama 8 bulan, jadi masih kurang 4 bulan lagi. Ia berulang kali melirik jam di pergelangan tangannya, menoleh ke arah pintu dan berharap Prasta cepat kembali. Jeva tak sengaja melirik meja kerja Prasta, ia lalu berjalan ke arah meja tersebut. Menatap ke arah satu titik, lalu mengambil benda persegi yang sedari tadi menjadi objek yang menarik perhatianya. Foto dengan bingkai berwarna hitam yang dulu pernah ia pecahkan. Bingkainya kini sudah diganti dengan yang baru, tetap foto di dalamnya masih sama. "Pak Prasta, pria yang baik, Bel. Kau beruntung pernah memilikinya," gumam Jeva pelan. "Sekarang aku tahu perasaan bersalah yang dulu sangat menyiksamu," imbuhnya lirih. ******
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN