56. Obrolan Masa Lalu

1013 Kata
"Astaga! Bu Ambar!" teriak Jeva saat melihat tetangga yang ia kenal terjatuh di depan supermarket. Ia baru saja turun dari gedung saat melihat perempuan paruh baya itu duduk bersimpuh da kelihatan kesakitan. "Ibu tidak apa apa?" tanya Jeva sembari membantu ibu bernama Ambar itu bangkit berdiri. Perempuan itu memapah bu Ambar dan membawanya ke kursi yang terletak di depan supermarket. Bu Ambar memiliki kontrakan di sebelah bangunan tempat Jeva tinggal. Mereka cukung sering bertegur sapa jika berpapasan. "Ibu tiba tiba saja lemas," ujar Bu Ambar memegangi dadanya yang berdebar. Jeva mengamati bibir Bu Ambar yang pucat, juga keringat dingin yang membanjiri pelipis dan kening perempuan itu. "Ayo saya antarkan ke rumah sakit," ujar Jeva kemudian. "Rh, tidak perlu." Bu Ambar menolak tawaran Jeva barusan. "Sepertinya ka akan berangkat ke kantor. Sudah, pergi saja. Inu tidak apa apa," ujarnya tersenyum tipis. "Wajah ibu pucat sekali. Saya bisa ke kantor setelah mengantarkan ibu ke rumah sakit. Ayo, Bu, jangan keras kepala." Jeva sedikit memaksa supaya bu Ambar mau di bawa ke rumah sakit. "Hah, ya sudah," sahut Bu Ambar lirih karena memang ia merasa lemas dan kurang tenaga. Jeva segera berlari ke pinggir jalan untuk mencari taksi, begitu mendapat mobil warna biru, ia kembali membantu Bu Ambar untuk masuk mobil dan roda empat tersebut melaju menuju rumah sakit terdekat. Setelah sampai di rumah sakit, Bu Ambar segera di bawah UGD. Dokter mengatakan jika Bu Ambar memiliki tekanan darah yang cukup tinggi sehingga perlu di rawat selama beberapa hari di rumah sakit. "Terimakasih, Dok," ujar Jeva begitu dokter memberitahukan kondisi bu Ambar kepadanya. "Sekarang ibu sudah tidak apa apa, ada dokter dan suster yang menjaga. Nak Belva ke kantor saja, nanti di marahi sama bosnya kalau sampai terlambat," ujar Bu Ambar yang merasa tidak enak karena sudah merepotkan Jeva. "Saya tadi sudah menelfon anak ibu, jadi nanti kalau anak ibu sudah datang baru saya akan pergi ke kantor," ujar Jeva menjelaskan. "Terimakasih ya, Nak Jeva. Kalau tidak ada Nak Jeva, ibu pasti sudah terkena strok atau bahkan meninggal." Bu Ambar tak lupa mengucapkan terimakasih kepada Jeva. "Iya, sama sama." Tak selang berapa lama, anak dari Bu Ambar datang. Ia mengucapkan terimakasih kepada Jeva sebelum perempuan itu pamit pergi karena harus berangkat ke kantor. Jeva tiba di kantor hampir pukul 9. Ia berjalan menelusuri lobi kantor sedikit terburu buru karena sudah sangat terlambat. Well, ini sudah ke empat harinya mereka lembur dan pulang dini hari dari kantor. Biasanya Jeva akan tiba tepat waktu seperti biasanya, meskipun pulang ke rumah saat dini hari. Tapi hari ini Jeva harus pergi ke rumah sakit terlebih dahulu sebelum kemudian berangkat ke kantor. Pemilik gedung rumah atapnya adalah seorang janda, anak anaknya tinggal jauh darinya sehingga tidak ada yang menjaganya jika sedang sakit. Baru setelah berada di rumah sakit dan ternyata perlu di rawat, Jeva menghubungi anak pertama pemilik gedung rumah atapnya. Jeva tersenyum menyapa semua orang, ia melewati detektor karyawan dengan mudah. Ini sudah beberapa hari semenjak ia bekerja di Wenas Groub. Sejauh ini tidak ada orang yang menyinggung kedatangannya kembali ke perusahaan ini. Semua orang menutup mulutnya rapat rapat. Mungkin saja mereka tidak berbicara seraca terang terangan atau bergunjing hingga membuat rumor, tapi membicarakanya di tmpat lain hingg di kantor semua seakan baik baik saja. Jeva antri bersama karyawan yang lain di depan lift. Ia berdiri diam, hingga seseorang menyapanya. “Hari ini lembur lagi?” tanya seseorang yang berdiri di sebelah Jeva. Jeva menoleh ke asal suara tersebut, ia melihat Daska berdiri di sampingnya dengan setelan tuksedo yang rapi. Perempuan itu terdiam, lalu mengangguk tanpa mengucapkan sepatah kata apapun. “Oh.” Daska hanya bergumam pelan. Ting! Lift berdenting, semua orang yang mengantri termasuk Jeva masuk ke dalam lift. Sedangkan Daska masih berdiri di depan lift khusus dewan direksi. Kedua mata milik Jeva saling bertubrukan dengan kedua mata milik Daska sebelum pintu lift menutup dan lift mulai bergerak naik. Ting! Lift kembali terbuka di lantai 9, banyak yang turun di lantai tersebut. Hanya tersisa Jeva dan seorang karyawan dari divisi keuangan. “Longtime no see, Jev,” sapa karyawan tersebut. Suasana di lift tadi penuh sesak sehingga Jeva tidak sempat mengamati semua orang. Tenyata karyawan yang tinggal bersamanya di lift adalah seseorang yang ia kenal. Dulu mereka pernah bekerja bersama jika ada project project dari perusahaan. “Apa kabar, Brian?” sapa Jeva tersenyum tipis. “Ya, seperti kau lihat. Aku masih waras, masih bekerja di gedung ini dan sayangnya... masih sendiri tanpa ada yang menemani,” celoteh pria bernama Brian, tersenyum kecil setelah mengucapkan leluconnya tadi. Jeva tertular senyum pria itu. Tingkah konyolnya tak berubah sejak dulu. “Kalau kau bekerja terus, bagaimana kau bisa menemukan tambatan hatimu,” ocehnya kemudian. “Well, mungkin saja jodohku nanti ada di gedung ini,” celoteh Brian mengedikkan bahunya tak acuh. Ting! Lift kembali berdenting di lantai 17, Divisi Keuangan dan beberapa Divisi lainnya ada di lantai ini. “Sampai jumpai kembali, Jev.” Brian keluar lift setelah pintu lift terbuka. Pria itu berbalik badan menghadap ke arah Jeva. “Ngomong ngomong, aku menunggu traktiranmu. Kembalinya dirimu ke sini, bukankah harus di rayakan,” celotehnya kemudian, menahan supaya pintu lift tidak tertutup. “Ehm, ya. Tentu saja,” sahut Jeva tersenyum. “Lain kali aku akan mentraktirmu, tidak dalam waktu dekat karena aku masih sibuk mengurus beberapa pekerjaan. Kau tahu jika perusahaan sedang ada masalah,” jelasnya kemudian. “Oke. Kapan pun itu, aku akan selalu bisa menemanimu,” ujar Brian. Ia melepaskan tangannya. Memberikan lambaian tangan sebelum lift kembali menutup. Sebenarnya, Jeva belum siap untuk bertemu dengan orang orang yang ia kenal di masa lalu. Maksudnya, bertemu secara tatap muka dan menghabiskan lebih banyak waktu dari sekedar saling menyapa. Selama beberapa hari ini, ia hanya berlalu lalang di lobi dan koridor kantor saat berangkat dan pulang kantor. Ia lebih sering menghabiskan waktu di ruang kerja Prasta. Jika bertemu dengan mereka, ia takut mereka akan menanyakan banyak hal padanya. Perempuan itu belum siap menjawab pertanyaan apapun. Tapi kembali lagi, ia tidak bisa bersembunyi selamanya. Mau tidak mau ia harus menghadapinya, suatu saat nanti. Dan saat ini mungkin sebentar lagi. *****

Baca dengan App

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN