23. Pemicu?

1101 Kata
“Astaga.” Jeva menutup mulutnya karena terlalu terkejut. Mendengar cerita Denta barusan sudah membuatnya merinding, apalagi jika saat itu ia ada di tempat kejadian. “Aku tidak bisa memikirkan hal lain, selain menghajarnya,” ujar Denta lirih. Matanya tiba tiba berkaca kaca. “Aku teringat wajah Belva sebelum ia meninggal. Aku teringat dengan wajah gelisahnya sebelum ia memilih untuk bunuh diri.” Bahunya bergetar menahan tangis. Jeva menatap Denta dengan tatapan sendunya. Ia meraih tangan Denta dan menggenggamnya erat. Perempuan itu memberi waktu untuk Denta yang tengah menenangkan dirinya. Pasti sangat berat baginya untuk menceritakan kejadian tragis yang menimpanya di masa lalu. Jika Jeva kehilangans ahabat dan juga kekasih, Denta kehilangan adik kandung dan juga sahabat. Denta menghapus sudut matanya yang berair. “Heh.” Pria itu menghela nafasnya pelan. “Aku selalu sedih jika mengingat masa lalu, tapi sekarang sudah tidak apa apa, Jev.” Denta mencoba untuk tersenyum. Jeva hanya diam mendengarkan. “Aku mencoba berdamai dengan masa lalu, begitu pun juga dengan kedua orangtuaku. Kami mncoba untuk menerima takdir yang menimpa Belva. Menganggap bahwa semua yang terjadi adalah musibah dan ujiand ari Tuhan. Kami mencoba memaafkan Daska atas perbuatannya, meskipun hubungan kita sduah tak sama seperti yang dulu lagi,” jelas Denta panjang lebar. Jeba tersenyum tipis. “Orangtuamu bagaimana? Mereka masih di Jakarta?” tananya kemudian. “Semenjak Belva meninggal, mereka pergi ke Amerika. Mereka bilang ingin menghabiskan masa tuanya di sana,” jawab Denta. Jeva mengangguk mengerti. Ia membuka mulutnya untuk berbicara, namun tak jadi karena ia merasa tidak enak untuk menanyakannya kepada Denta. “Kau ingin bertanya bagaimana keadaan Daska setelah hari itu?” tanya Denta yang menyadari kegelisahan Jeva. Jeva hanya diam, tak mengangguk atau pun menggeleng. “Dia mengalami terluka parah dan di rawat di rumah sakit selama beberapa hari. Aku tidak pernah lagi menjenguknya, aku terlalu marah untuk bertanya bagaimana keadaannya. Di lain sisi, aku juga tengah berjuang untuk menyembuhkan luka orangtuaku,” ujar Denta tersenyum tipis. Ia kembali bersuara,” Setelah fikiranku cukup jernih, aku akhirnya datang ke rumah sakit. Aku ingin meminta penjelasan dari Daska dan juga membahas tentang semuanya. Aku juga merasa bersalah karena tidak bisa melindungi adikku sendiri,” imbuhnya kemudian. “Kau bertemu dengan Daska?” tanya Jeva. “Tidak.” Denta menggeleng pelan. “Aku hanya melihatnya dari luar kamar. Aku hanya bertemu dengan orangtua Daska. Mereka mengatakan jika Daska mengalami hilang ingatan." “Hilang ingatan?” Jeva berujar pelan, ucapan Denta barusan menjawab kebingungannya saat pertama kali bertemu dengan Daska di ruangan Prasta. “Kata dokter, itu terjadi karena trauma di kepalanya. Daska terlalu larut oleh rasa bersalahnya. Aku fikir Daska hanya mendistorsi ingatan menyedihkan tentang malam itu sampai aku memukulnya, tapi ternyata ia menghilangkan ingatannya sebelum bertemu denganmu. Ia pasti sangat merasa bersalah padamu dan tidak kuat hingga akhirnya memilih untuk menghilangkan ingatannya tentang dirimu dan juga kejadian Belva,” terang Daska menjelaskan keadaan Daska paska kejadian pemukulan. “Jadi dia tidak mengingat tentangku dan juga tentang apa yang terjadi pada Belva?” tanya Jeva memastikan. “Hehm.” Denta mengangguk. “Lalu Prasta bagaimana?” tanya Jeva kemudian. “Hah?” Denta menatap Jeva tak mengerti. “Prasta. Kembaran Daska,” sahut Jeva pelan. “Kau sudah bertemu dengan Prasta?” tanya Denta cukup terkejut. Belva dan juga Daska selalu melarangnya memberitahu Jeva jika pria itu memiliki kembaran dan kembaranya adalah calon suaminya Belva. Bahkan hingga Belva meninggal, Denta tidak memberitahu Jeva yang sebenarnya. Lalu bagaimana bisa Jeva tahu masalah kembaran Daska? “Heh.” Jeva tersenyum miris. Mentertawakan takdir yang membuatnya bertemu dengan mereka berdua. “Kita bertiga bekerja di satu gedung yang sama, Ta,” imbuhnya pelan. “Hebat sekali ya, cara takdir menghancurkan hatiku berkali kali,” ujarnya nelangsa. “Kau bekerja di DoubleU. Bagaimana bisa?” tanya Denta terkejut. Dari sekian banyak pekerjaan dan tempat bekerja di Korea, Jeva justru bekerja di tempat sama yang dengan Prasta dan juga Daska. “Aku tidak tahu kalau perusahaan itu milik Prasta. Aku bertemu dengan keduanya setelah satu bulan bekerja di sana,” jawab Jeva. “Berarti kau tahu kalau Prasta hilang ingatan?” tanya Denta lagi. Ia mendapat kabar hal tersebut saat menanykan tentang keadaan Prasta di rumah sakit waktu ingin meminta penjelasan Daska. “Prasta juga hilang ingatan? Bagaimana bisa?” tanya Jeva tak mengerti. “Dia hilang ingatan karena benturan keras di belakang kepalanya saat kecelakaan. Lalu keluargaku dan keluarganya sepakat mengatakan bahwa Belva sudah meninggal. Ia benar benar terpuruk sebelum kemudian kembali ke Korea untuk memulai hidup baru.” Daska menjelaskan keadaan Prasta. “Aku bahkan tidak tahu kalau Prasta kembaran Daska adalah Prasta tunangan Belva. Daska juga tidak mengatakan padaku bahwa mereka kembar,” ucap Jeva tentang ketidaktahuannya soal Prasta. “Mereka punya rencana, Jev, tapi belum kesampaian. Kau pasti pernah janjian bertemu dengan Prasta.” Denta tersenyum tipis. “Takdir belum memperbolehkannya pada saat itu,” gumam Jeva tersenyum miris. “Lalu apa yang lakukan setelah mereka hilang ingatan?” tanyanya kemudian. Denta menerawang mengingat hari hari yang ia lalui untuk kembali pulih dari rasa sakit akibat kehilangan Belva. “Aku tidak lagi berhubungan dengan Daska ataupun Prasta. Daska pergi ke Paris sementara Prasta ke Korea. Selama 1 tahun, aku mencoba untuk melupakan semua yang telah terjadi. Sulit, sangat sulit apalagi saat aku mengingat keluargaku dan juga almarhumah Belva. Tapi aku harus melakukannya, Jev. Hidup harus terus berlanjut, kita tidak mungkin stuck pada masa lalu dan menghancurkan semuanya.” “Apa kau masih ingin berteman dengan mereka?” tanya Jeva takut takut. “Aku melakukannya, Jev. 1 tahun setelah mereka pergi, kita kembali berhubungan.” Denta diam sejenak sebelum melanjutkan. “Demi semua orang aku menekan perasaanku. Satu tahun pertama terasa sulit. Lalu sekarang sudah terbiasa. Belva juga tidak akan senang jika aku terus membenci Daska. Sekarang kita bertuga berteman baik, meskipun jarang bertemu,” jelasnya kemudian. Jeva memuji kebesaran hati Denta yang bisa menerima Daska kembali. “Kau dan orangtua Daska tidak pernah membuatnya mengingat kembali ingatannya?” tanyanya kemudian. “Setiap kali kita melakuannya, Daska akan sakit kepala. Kepalanya akan sakit dan Daska tak sanggup menahannya. Dia juga berteriak teriak dan memukuli kepalanya. Dokter mengatakan jika hal itu terjadi karena trauma yang sangat besar. Pasa akhirnya kami sepakat untuk membiarkannya,” ucap Jeva mengingat ucapan dokter setiap kali mencoba membantu Daska menggali ingatannya. “Lalu Prasta? Ini bahkan sudah tiga tahun. Apa ingatannya masih belum kembali juga?” tanya Jeva mengingat atasannya di kantor. “Dokter bilang, harus ada pemicunya. Mungkin sampai detik ini dia belum menemukan pemicu yang membuat ingatannya kembali. Daska mungkin juga membutuhkan pemicu,” ucap Denta tersenyum tipis. Pemicu?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN