24. Tubuh atau Perasaan yang Merespon

1012 Kata
Jeva berdiri diam di depan lift. Ia sedang meneguhkan diri untuk menghadapi Daska sebagai atasannya di divisi keuangan. Dia tidak bisa menajdi lemah dan semakin menderita, ia harus bisa melawan rasa takutnya. Perempuan itu mengangkat kepalanya, ia sudah bertekat akan menghadapi Daska. Ia akan memencet tombol lift tetapi di dahului oleh orang lain. Jeva menoleh ke samping dan ternyata orang yang telah memencet tombol lift adalah Daska. Tubuhnya tiba tiba menjadi kaku. Ia tidak menyangka kalau pengaruh Daska bisa sehebat ini. Padahal sudah cukup lama mereka tidak bertemu. Pertahanan yang sudah ia pupuk dari rumah hilang sudah, tubuhnya bagaikan jeli yang tidak berdaya. Jeva mati matian menyangga tubuhnya supaya tidak luruh ke lantai. Perempuan itu berpegangan pada dinding lift. “Kau mau masuk ke dalam atau hanya berdiri di situ saja?” Suara dari Daska membuyarkan lamunan Jeva. Perempuan itu melihat ke sekitar dan ternyata Daska sudah masuk ke dalam lift. Ia menenangkan jantungnya yang menggila lalu ikut masuk ke dalam. Ia sedikit membungkuk untuk menghormati Daska, bersikap sopan kepada orang yang memiliki jabatan lebih tinggi darinya. “Mau ke lantai berapa?” tanya Daska yang berdiri di dekat tombol lift. “L-lantai yang sama,” sahut Jeva pelan. Ia sudah mencoba untuk menetralkan degub janungnya, namun ternyata tidak mempan karena sehingga terbata. Ia bahkan bingung karena tubuhnya masih merespon pria yang saat ini berdiri di sampingnya. Tidak bisakah ia bersikap normal, bersikap antara dua orang yang sebelumnya tidak pernah saling mengenal. Well, memang benar kata orang. Kita bisa pura pura mencintai seseorang di saat kita tidak mencintainya, namun kita tidak bisa pura pura mencintai seseorang di saat kita memang menncintainya. Daska menoleh ke samping, ia mengamati penampilan Jeva dari ujung kaki hingga ujung kepala. “Pemasaran atau keuangan?” tanyanya kemudian. Di lantai 37 hanya ada dua divisi tersebut. “Keuangan,” jawab Jeva singkat. “Oh, kau karyawan divisi keuangan. Perkenalkan nama saya Daska, saya itu at...” “Saya sudah mengenal Anda. Pak Daska Wenas, ketua divisi keuangan yang baru,” potong Jeva sekali lagi membungkuk ke arah Daska. Daska balas membungkuk walaupun kikuk, ia tak menyangka reson Jeva akan seperti itu. Terlihat sangat canggung, seperti kenalan lama yang sudah lama tidak bertemu. “Oh, jadi kau yang kemarin izin cuti karena sakit?” gumamnya kemudian. “Benar, Pak.” Jeva mengangguk. Daska beberapa kali mencuri pandang ke arah Jeva. Ia ingat saat melihat Jeva kemarin bersama seirang pria. Lebih baik ia bersikap seolah olah tidak tahu apa apa. Ia harus profesional layaknya atasan dan bawahan. Meskipun ia sangat penasaran dengan pria yang kemarin bersama dengan Jeva. Mereka tiba di lantai 37, Daska keluar terlebih dahulu dan kemudian di susul oleh Jeva. Mereka masuk ke dalam ruangan divisi keuangan bersama sama, lalu Jeva berbelok ke arah kubikelnya sementara Daska lurus ke ruangannya di ujung. “Huft.” Jeva menghembuskan nafasnya lega. Ia berhasil menghadapi Daska. Itu bagus. Daska sudah ada di dalam ruangannya. Ia melirik Jeva dari jendela di ruangnnya. Sejak di dalam lift tadi, ia bisa merasakan aura dingin dari perempuan itu. Seolah olah Jeva adalah dewi kematian yang akan menghabisi nyawa Daska. “Ouh, serem sekali,” gumam Daska bergidik ngeri. "Dia seperti dewa kematian yang ingin mencabut nyawaku." Daska bergidik ngeri. Di saat Daska bergidik ngeri dengan aura Jeva, perempuan itu mencoba fokus pada pekerjaannya. Bersikap profesional dengan mengesampingkan masalah pribadinya dengan Daska. Perempuan itu mengerjajan laporan yang biasa ia kerjakan dari aasan sebelumnya, tepat setelah ia menyekesaikan tugasnya, tiba juga waktunya jam makan siang. Jeva pergi makan siang bersama rekan rekan kerjanya. "Kita mau makan apa?" tanya salah satu rekannya. "Barbeque!" seru Ervan memamerkan giginya yang baru saja di behel. "western food!" seru Naya menyebutkan menu yang lain "Japan!" "Indonesia food!" "Ah, aku ingin masakan padang." "Kenapa selera semua orang berbeda?" kekeh Jeva geleng geleng kepala. Ia tertawa kecil melihat teman temannya saling berdebat menu makan siang. "Sudah sudah, jangan bertengkar lagi!" seru Jeva mengambil atensi semua orang. "Bagaimana kalau hari ini kita makan jajangmyeon saja? Kita sudah sama tidak makan Jajangmyeon. Lagipula ada restoran Jajangmyeon yang baru saja buka di dekat kantor," celotehny memberikan pilihan. "Ah, aku tahu. Ada di ujung jalan!" seru Naya. "Sepertinya enak, baru buka kemarin," ceriwis Kim. "Baru buka kemarin, tapi antriannya sudah banyak. Aku yakin jajangmyeonnya enak. Ayo kita coba!" seru Ervan dengan semangat 45. "Oke, Call!" seru semua orang setuju dengan usulan Jeva untuk makan jajangmyeon. Daska melirik kejadian tersebut dari dalam ruang kerjanya, pria itu sempat tertegun saat melihat senyuman Jeva. Senyuman yang tiba tiba saja menggetarkan hatinya. ******* Setelah makan siang, Jeva dan rekan kerjanya kembali ke ruangan mereka. Mereka mulai menekuni beberapa pekerjaan dari atasan mereka. Lalu Daska muncul beberapa menit kemudian. Pria itu berjalan menuju ruangannya di ujung, lalu kembali lagi dengan membawa beberapa berkas. Daska berhenti di depan meja kerja Jeva, menyerahkan beberapa tugas baru untuk perempuan itu “Ada yang bisa saya bantu, Pak?” tanya Jeva sopan. “Kerjakan laporan ini dan taruh di ruanganku sebelum jam pulang kantor,” jawab Daska dengan angkuh. “Baik, Pak.” Jeva mengangguk mengiyakan. Daska melirik Jeva sejenak. “Apa Anda butuh sesuatu yang lain?” tanya Jeva karena Daska masih berdiri di depan meja kerjanya. “Tidak.” Daska menggeleng dengan cepat. “Tidak ada.” Pria itu bergegas pergi dari hadapan Jeva. Daska masuk ke dalam ruangannya dengan jantung berdentam kencang. Ia melirik meja kerja Jeva sekilas, merasakan sensasi yang lain dari biasanya. Ia tidak mengerti kenapa saat bertemu dengan Jeva, perasaannya menjadi sangat kacau. Ini terjadi saat mereka pertama kali bertemu di ruangan kantor Prasta. Awalnya Daska mengabaikannya, namun setelah sering bertemu dengan Jeva. Ia merasa kalau tubuhnya sering merespon tanpa di suruh oleh otaknya. Selama 2 Minggu bekerja dengan Jeva, ia selalu tersenyum saat melihat perempuan itu bercanda dengan rekan kerja yang lain. Ia juga sering mengamati meja kerja Jeva dan bahkan saat di kantin, ia diam diam mencuri pandang ke arah perempuan itu. Daska sering memberikan banyak tugas untuk Jeva karena ia sendiri penasaran dengan perempuan itu. “Sebenarnya apa yang salah dengan tubuhku?” gumam Daska pelan. *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN