22. Kronologi Hilangnya Ingatan si Kembar

1166 Kata
Jeva masih duduk berhadapan dengan Denta. Mereka sama sama diam, fokus pada minuman masing masing. Keduanya tengah memikirkan masa lalu, mengingat kembali tragedi yang menimpa sosok sahabat dan juga adik. Maaf kan aku, Jev. Jeva teringat permintaafan Belva sebelum sahabatnya itu meninggal. Perempuan itu mendongak menatap ke depan, pada pria yang tengah menunduk menatap kedua tangan yang saling tertaut di atas meja. Matanya berubah sendu, menatap sesosok kakak yang mencoba untuk bangkit setelah kehilangan adiknya. Denta pasti sangat sedih atas meninggalnya Belva. Denta kehilangan sosok adik yang manja. Kehilangan sosok adik yang meskipun mereka sering bertengkar, namun Jeva tahu jika Denta sangat menyayangi adikny. Begitu juga dengan Belva yang sangat menyayangi kakaknya. Belva pernah mengatakan kekecewaannya pada dirinya sendiri karena tidak bisa menjaga tubuhnya. Telah mengecewakan kakak dan juga orangtuanya. “Ta, masalah yang tadi...” Jeva menatap Denta takut takut. Dnta mendongak saat mendengar suara Jeva. “Hehm.” Pria itu mengangguk. Ia tahu apa yang dimaksud oleh Jeva walaupun perempuan itu belum menyelesaikan ucapannya. Jeva diam sejenak, mencoba menenangkan rasa gugupnya. “Lalu apa yang kau lakukan setelah tahu semuanya?” tanyanya lirih. Ia menatap kedua manik mata Denta yang juga mengarah ke retina matanya. Sudut bibir Denta terangkat. “Apalagi yang bisa aku lakukan selain menghajarnya habis habisan?” ujarnya kemudian. Tersenyum miris mengingat kejadian di rumah sakit 3 tahun yang lalu. “K-kau... menghajarnya?” Jeva sudah menyangka jika Denta akan melakukannya, namun ia tetap saja kaget saat mendengar hal itu dari mulut Denta langsung. “Hehm.” Denta mengangguk. “Di hadapan orangtuanya Daska dan juga orangtuaku.” Jeva menatap Denta dalam diam. “3 tahun yang lalu, setelah pemakaman Belva, aku mendapat kabar kalau Daska dan juga Prasta mengalami kecelakaan. Saat itu aku belum tahu yang sebenarnya, Jev. Aku datang ke rumah sakit.” Denta menerawang jauh melintasi waktu, kembali ke masa 3 tahun yang lalu. Membawa Jeva pada kejadian tragis di rumah sakit. Flashback On. Denta berjalan terburu buru di lorong rumah sakit. Setelah mendapat kabar kecelakaan Daska dan juga Prasta, ia langsung bergegas ke Rumah Sakit Adhyasta. Ia bertanya kepada respseionis dan mengatakan jika kedua sahabatnya masih ada di ruang ICU. Dari jauh, Denta dapa melihat orangtua Daska tengah menunggu di luar ruang ICU. “Om, Tante!” Denta bergegas menghampiri orangtua sahabatnya. “Ta.” Shinta menatap sendu sahabat dari putra putranya itu. Denta dapat melihat kesedihan Shinta dan juga Rama. “Bagaimana keadaan mereka, Om?” tanyanya kemudian menoleh ke arah Rama yang berdiri di dekat istrinya. Menepuk nepuk punggung istrinya untuk memberinya kekuatan. “Mereka...” “Denta.” Seseorang memanggil Denta dari arah koridor. Denta menoleh ke asal suara, pria itu diam sejenak untuk mengkonfirmasi seseorang yang tadi memanggil namanya. “Daska! Kau tidak apa apa?” tanyanya kemudian saat yakin jika orang itu Daska alih alih Prasta. “Hanya luka kecil.” Daska menunjuk kepalanya yang diperban. “Kau masih butuh istirahat, Das. Dokter mengatakan jika benturan di kepalamu cukup keras. Besok akan dilakukan CT Scan secara menyeluruh,” ujar Rama menegur anaknya. Daska tak mengatakan apa apa. Pria itu menghampiri Denta. Ia terdiam cukup lama, menimbang nimbang harus memulai darimana. Ia harus menyelesaikan semuanya sekarang, ia tidak ingin menanggung lebih bany beban. “Yak! Ada apa dengan wajahmu itu?” tanya Denta yang melihat wajah muram Daska. “Aku...” Daska kembali diam. “A-aku...” Pria itu menggigit bibirnya karena gugup. “Kenapa?” tanya Denta yang merasa ada hal yang tidak beres. “Maafkan aku,” ujar Daska pada akhirnya. “Maaf? Untuk apa?” tanya Daska tak mengerti. “Aku...” Daska menatap kedua mata Denta dengan tatapan sendunya. “Aku yang menyebabkan Belva meninggal. Aku ayah dari bayi yang dikandung Belva.” Boom! Daska akhirnya melemparkan bom kepada Denta. Mengucapkan permintamaafannya atas kesalahannya thadapa adik Denta. Kesalahan besar, sangat sanngat besar dan kini menyebabkan hilangnya nyawa Belva. “Tunggu...” Denta kehilangan kata katanya. “K-kau tadi bilang apa?” tanyanya karena tidak yakin dengan apa yang ia dengar. Daska mengambil nafas panjang, ia menatap wajah Denta dengan tatapan seriusnya. “Aku yang sudah menghamili Belva,” ujarnya jauh lebih tegas dari sebelumnya. “Apa?” Shinta ataupun Rama yang juga mendengar obrolan mereka terkejut mendengar pengakuan Daska barusan. “Daska! Apa maksud ucapanmu barusan?” tanya Rama dengan ekspresi terkejutnya. “Itu benar, Pa, Ma.” Daska menoleh ke arah orangtuanya. “Aku telah menghamili Belva. Aku melakukan kesalahan besar dengan...” “Tutup mulutmu!” Denta menarik kerah baju milik Daska yang banyak noda darah. “Jangan mengucapkan omong kosong, Das. Aku sedang tidak ingin bercanda,” geramnya kemudian. Perasaan Denta campur aduk. Dia tahu masalah kehamilan Belva, ia sedang mencari ayah dari ayi yang dikandung adiknya dan sekarang... Daska mengatakan omong kosong yang membuat perasaannya benar benar kacau. “Aku mengatakan yang sebenarnya.” Daska tak melakukan apa apa saat Denta mencengkeram kerah bajunya. “Aku menghamili Bel...” “Apa yang kau lakukan pada adikku, b*****t!” Tanpa aba aba, Denta emlayangkan pukulan ke rahang Daska. Daska terjungkal ke belakang, terjatuh di lantai dengan sudut bibir yang sedikit berdarah. “Astaga!” seru Shinta yang terkejut dengan apa yang terjadi saat ini. “Kau yang melakukannya! s****n!” Denta mengusap rambutnya, menatap Daska dengan tatapan bingung karena terlalu terkejut. “Aku tidak menyangka jika orang yang telah menghancurkan adikku adalah sahabatku sendiri!” teriakya kemudian. Satu tetes air mata keluar dari sudut mata Denta. “Aku percaya padamu. Sebentar lagi kita akan menjadi saudara dan kau...” Tatapannya berubah nyalang. Daska diam saja karena merasa apapun yang dilakukan oleh Denta, pantas ia dapatkan. Bahkan saat Denta kembali menarik kerah bajunya, melayangkan pukulan demi pukulan ke wajahnya. Denta juga menarik tubuh Daska, menabrakkannya ke dinding dan kembali memukul bagian tubuh Daska. “Pa, cepat hentikan! Daska bisa mati kalau seperti ini terus!” Shinta berteriak panik. Rama segera mnarik tubuh Denta, menariknya menjauh dengan susah payah. Beruntung ada beberapa orang yang membantunya mengamankan Denta yang tengah mengamuk. “Brengek kau, Das! Kau telah menghancurkan hidup adikku! Kau membuatnya memilih mengakhiri hidupnya! Kau seorang pembunuh!” Denta berteriak teriak sembari berusaha melepaskan tangan orang orang yang menahannya. “Maaf, maafkan aku, Ta. Aku sungguh sungguh minta maaf.” Daska berulang kali mengucapkan kata maaf yang tak pernah di acuhkan oleh Denta. “Daska.” Shinta menghampiri putranya, memeluk anaknya yang babak belur setelah di hajar oleh Denta. Wanita paruh baya itu menangis sesegukan melihat putranya yang berdarah darah. “Hah!” teriak Denta sekuat tenaga. Menyalurkan emosinya yang meledak ledak setelah mengathui kenyataan yang ada. “Maaf, Ta.” Setelah mengatakan hal itu, Daska jatuh pingsan. “Das! Daska!” teriak Shinta semakin panik. “Papa, Daska, Pa!” serunya ke arah sang suami. Rama menghampiri Daska. “Dokter! Dok! Dokter!” teriaknya memanggil dokter. Denta menatap tubuh Daska yang tak sadarkan diri. Ia lalu berjalan tanpa arah dengan tatapan kosong. Pergi entah kemana dengan d**a yang terasa sesak dan pikiran yang sangat kacau. Flashback Off.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN