35. Dongeng untuk Katnish

1685 Kata
Flashback On "Well, sebenarnya aku sudah mengambil satu keputusan." Katnish tersenyum menyebalkan. "Aku bertemu dengan Daska kemarin dan dia menerimaku dengan baik. Kami menyelesaikan kesalahpahaman di masa lalu dan hubungan kita... menjadi lebih baik." Perempuan itu diam sejenak. "Setidaknya, tatapannya tidak sedingin saat di Bali beberapa tahun yang lalu," imbuhnya kemudian. "Kau tidak mengerti situasinya," ucap Denta dengan serius, sorot matanya menajap. "Aku akan mencoba mengerti dengan masuk kembali ke dalam drama mereka. Akan sangat menyenangkan jika bermain main dengan kisah cinta mereka." Katnish kembali menyeringai. "Kat, kau tidak mengerti apa yang terjadi! Jadi jangan ikut campur dan biarkan mereka menyelesaikan masalah mereka sendiri! Tanpa campur tangan darimu, Jeva sudah cukup menderita!" Denta berusaha mencegah Katnish untuk melakukan apa yang perempuan inginkan. "Lalu apa perduliku jika dia menderita? Aku hanya ingin merebut apa yang seharusnya menjadi milikku!" Katnish menggeram marah. "Dari awal Daska tak pernah menjadi milikmu," balas Denta dengan nada sinis. "Kalau begitu kali ini aku akan membuatnya menjadi milikku." Katnish menatap Denta tajam. Keduanya saling melemparkan tatapan tajam. Suasana menjadi sangat tegang karena perdebatan tersebut. "Argh, s**l! Kau membuatku terlihat semakin menyedihkan." Katnish mengomel. Perempuan itu duduk dengan santai, menghilangkan sikap arogannya, meletakkan tasnya di sudut sofa lalu berjalan menuju dapur untuk mengambil minuman. Denta mengamati setiap gerak gerak Katnish, mulai saat perempuan itu membuka pintu kulkas, mengambil catu minuman kaleng tanpa alkohol dan menetidaknya secara perlahan lalu kembali ke hadapannya. "Berdebat denganmu membuat tenggorokanku kering. Kau tidak ingin minum?" tanya Katnish dengan santainya. "Kat, berhenti main main dan jelaskan bendera perang yang kau kibarkan barusan," tanya Denta menggeram marah. "Ck, aku sudah pernah mengatakan akan menyerah pada Daska saat kita bertemu di New York hampir 4 tahun yang lalu," cekauteh Katnish kemudian. Meletakkan kaleng minumannya di atas meja. "Sekarang jelaskan padaku situasinya," ujarnya meminta Denta untuk menceritakan apapun yang sudah ia lewatkan. Denta menatap Katnish dengan tatapan curiga, tak percaya begitu saja dengan ucapan perempuan itu. "Aku tidak akan percaya ucapan manismu, s****n!" maki Denta. "Aku juga tidak berharap kau mempercayaiku, b******k!" Katnish balas memaki. "Hufh." Perempuan itu menghela nafas. "Kita bicara baik baik. Aku sungguh tidak ingin merebut Daska, makanya jelaskan apa yang terjadi," ujarnya kemudian dengan intonasi yang rendah. Ia tidak ingin lagi berdebat dengan Denta. "Hufh." Denta mencoba mengatur emosinya, lalu berjalan menghampiri Katnish. "Eh, kau mau kemana?" tanya Katnish mencetidak Denta untuk duduk. "Kenapa? Aku ingin duduk," sahut Denta sewot. "memakai bajumu dulu, Ta. Kau tidak sadar jika sedari tadi shirtless," omel Katnish. Denta menunduk menatap tubuhnya, emosi membuatnya lupa untuk menutupi asetnya. "Kita bisa bicara seperti ini," ocehnya tak acuh. "Yak!" Katnish terlihat kesal. "Baiklah, tunggu di sini! Jangan kabur!" oceh Denta mengancam. "Iya," sahut Katnish mulai jengah dengan kecurigaan Denta yang berlebihan. Denta bergegas masuk ke dalam kamar untuk memakai bajunya. Tak perlu waktu lama sampai Denta kembali dan duduk di sebelah Katnish. "Ceritakan apa yang terjadi selama aku tidak ada," pinta Katnish kemudian. "Sebelum aku bercerita, kau harus janji sesuatu padaku." Denta menatap Katnish dengan tatapan seriusnya. "Janji apa? Jangan bertele tele dan katakan saja." Katnish mulai kesal karena Denta tak langsung to the point. "Kau tidak akan melakukan apapun untuk merusak hubungan mereka, ah, tidak, jangan lakukan apapun untuk mengganggu hidup Jeva. Apapun, Kat," ucap Denta bersungguh sungguh. "Ck, kalian baru kenal selama beberapa tahun sedangkan kita sudah mengenal selama hampir selama umurku sekarang. Kenapa kau lebih perduli dengan perempuan itu daripada aku?" tanya Katnish kesal. "Karena saat ini kondisi Jeva sedang rapuh," sahut Denta lirih. "Dia baru saja mencoba untuk bangkit lagi, Kat, jadi aku mohon jangan lakukan apapun pada Jeva," imbuhnya memohon. "Aku bahkan tidak pernah mengganggunya, bahkan saat dulu masih di Bali," cibir Katnish. "Ah, baiklah. Aku tidak akan mengganggunya, jadi cepat katakan padaku cerita lengkapnya," desaknya kemudian. "Hufh." Denta menarik nafas dalam dalam sebelum memulai dongengnya tentang mimpi buruk Jeva yang melibatkan sahabat dan juga adik kandungnya. Katnish menatap Denta dengan serius, bersiap mendengarkan bagian kisah yang sempat ia lewatkan. "Setelah kau pergi, Daska melamar Jeva. Mereka berencana menikah setelah Prasta dan juga Belva menikah. Jeva mengatakan masih butuh waktu untuk mengenal Daska lebih dalam lagi." Denta memulai ceritanya. "Namun waktu yang dibutuhkan Jeva justru berubah menjadi mimpi buruk," imbuhnya kemudian. "Apa maksudmu? Mereka tidak jadi menikah?" tanya Katnish. "Lebih dari itu. Mereka berempat tidak jadi menikah," jawab Denta tersenyum miris. "Mereka berempat? Maksudmu Prasta dan juga Belva tidak jadi menikah? Kenapa?" tanya Katnish tak mengerti. "Ah, aku juga sudah lama tidak mendengar makian dari Belva. Dia tidak ada di Korea? Mengingat kalian semua ada di sini," celotehnya bertanya tanya. Denta menatap Katnish dengan tatapan sendunya. "Belva sudah meninggal, Kat. 3 tahun yang lalu," bisiknya terdengar nelangsa. "Apa?" Terkejut. Tentu saja. Katnish sudah lama tidak mengetahui kabar Belva dan sekarang Denta mengatakan bahwa perempuan itu sudah meninggal. "Bagaimana bisa?" bisiknya tak kalah lirih. "Pada malam pesta bujang Prasta dan juga Belva, kami berlima berniiat untuk mengadakan acara di apartemen Belva. Sekaligus mengenalkan Jeva pada Prasta untuk pertama kalinya." Denta diam sejenak. "Namun takdir justru berkata lain. Jeva dan Prasta tidak bisa datang dan aku tidak bisa pergi karena memilih bersenang senang. Di pesta itu hanya ada Daska dan juga Belva. Mereka minum berdua sampai akhirnya melakukan sesuatu yang tidak seharusnya," terangnya panjang lebar. "Mereka melakukan...." Katnish tak dapat melanjutkan ucapannya saking terkejutnya. "Hehm, mereka melakukannya. Sampai kemudian Belva hamil dan semuanya rencana hancur total. Jeva mengetahui kehamilan Belva dan meminta Daska untuk menikahi Belva.Prasta kecewa setelah mendengar pengakuan Belva. Daska merasa syok dan bingung harus melakukan apa, sementara aku menjadi orang t***l yang tidak tahu apa apa hingga Belva akhirnya memilih untuk bunuh diri karena terlalu tertekan akan perasaan bersalahnya." "Astaga." Katnish menuntup mulutnya mendengar kisah Belva dari kakaknya sendiri. "Belva kritis, saat itu aku tahu jika Belva hamil. Aku bertanya kepada Jeva apa yang sebenarnya terjadi namun perempuan itu tak mengatakan apapun. Pada akhirnya aku tidak tahu siapa yang sudah menghamili Belva sampai dia meninggal." "Kau tidak bertanya pada Prasta? Well, saat itu dia adalah calon suaminya Belva," tanya Katnish hati hati. Sikap angkuhnya menghilang karena merasa kasihan dengan kondisi Denta yang kehilangan adiknya. "Saat itu Prasta tidak di Indonesia. Sebelum Belva meninggal, dia mengatakan padaku jika ayah dari bayi dalam kandungannya bukan Prasta," sahut Denta. "Lalu apa yang terjadi?" tanya Katnish kemudian. "Saat pemakanan Belva, Prasta dan juga Daska yang hendak datang ke pemakaman mengalami kecelakaan. Prasta di vonis amnesia dan mengalami hilang ingatan. Hal terakhir yang ia ingat adalah kebersamaannya bersama Belva yang sedang mengurus rencana pernikahan mereka. Lalu aku mengatakan padanya jika Belva sudah meninggal, tapi aku tidak mengatakan hal yang sebenarnya. Sedangkan Daska..." Denta diam sejenak sebelum melanjutkan. "Aku menghajarnya habis habisan setelah tahu jika dia yang telah menghamili Belva. Aku kalab dan memukulnya di rumah sakit, di hadapan orangtuanya. Hingga akhirnya ia mengalami amnesia parsial karena kecelakaan sempat membuat kepalanya terbentur dan makin parah karena pukulan dariku." "Jadi.. mereka sama sama mengalami hilang ingatan, ah, tidak, lebih tepatnya Daska saja karena sekarang Prasta sudah bisa mengingat semuanya kecuali fakta meninggalnya Belva?" ujar katnish menyimpulkan. "Hehm." Denta mengangguk. "Lalu orangtuamu bagaimana?" tanya Katnsih. "Setelah Belva meninggal, mereka memutuskan untuk meninggalkan Indonesia. Mereka tidak ingin semakin larut pada kenangan buruk karena banyak kenangan tentang Belva di Indonesia. Aku belum mengatakan kejadian yang sebenarnya kepada orangtuaku, bahkan tentang kehamilan Belva karena saat itu, dokter hanya mengatakan kepadaku saja," jawab Denta. Katnish meraih tangan Denta lalu menggenggamnya erat. "Setelah itu aku tidak lagi melihat Prasta dan Denta. Selama 1 tahun kita melakukan kontak apa apa. Mereka memulihkan kondisi kesehatan mereka sementara aku mencoba menjernihkan otakku dan juga berdamai dengan masa lalu." "Berhasil?" tanya Katnish. "Aku mencobanya walaupun sulit. Satu tahun berlalu, lalu tahun berikutnya aku mulai membuka diri lagi dan meyakinkan hatiku bahwa semua yang sudah terjadi adalah bagian dari takdir. Kita tidak bisa menyalahkan siapapun jika takdir memang sudah menggariskan seperti itu. Pada akhirnya aku membuka diri dan mulai menjalin hubungan kembali dengan mereka, sampai sekarang." "Jeva... bagaimana? Hatinya pasti sangat hancur," bisik Katnish. "Lebih dari itu, Kat. Dia kehilangan sahabat, kekasih dan impin mereka di masa depan. Jeva meninggalkan Indonesia dan pergi entah kemana. Selama beberapa bulan pertama aku mencari cari keberadaan perempuan itu, mencoba untuk tetap di sampingnya saat waktu terapuhnya. Namun Jeva seperti hilang ditelan bumi, aku tidak bisa menemukannya dimanapun. Aku menyerah, mungkin dia memang butuh waktu sendiri untuk mengobati luka hatinya. Sampai akhirnya, beberapa waktu yang lalu ia menelfonku, mengatakan jika ia bertemu dengan Daska dan kembaranya. Karena itulah aku datang ke Korea." "Wah, aku tidak percaya jika tadir mempertemukan mereka lagi. Kenapa takdir bisa sejat itu. Seharusnya takdir membuat Jeva bahagia tanpa melibatkan seseorang di masalalu," desah Katnish mengasihani nasib malang Jeva. "Mungkin orang yang bisa membuat Jeva bahagia adalah seseorang dari masalalunya, Jev," ujar Denta lirih. "Lalu apa yang akan kau lakukan sekarang?" tanya Katnish. "Menunggu," sahut Denta. "Aku akan menunggu kisah yang digariskan oleh takdir mereka. Membiarkan garis itu mengalir dengan sendirinya," imbuhnya kemudian. "Setelah semua yang terjadi, kau masih ingin mempercayai takdir?" balas Katnish sinis. "Bukan takdir, Kat, tapi Jeva. Aku percaya jika Jeva bisa menyelesaikan semuanya. Dia akan memperjuangkan kebahagiaannya. Dia akan menemukan orang yang bisa membuatnya bahagia. Aku akan mendukungnya, entah siapapun orangnya," jawab Denta. "Ck." Katnish berdecak. "Aku juga akan mengurus perempuan itu!" celotehnya kemudian. "Ah, kenapa nasibnya sangat tragis sekali." Katnish menyeka sudt matanya yang berair. Mereka terharu mendengar cerita Denta barusan. "Kau tidak akan mengusiknya lagi?" "Haish, sampai kapan kau akan meragukan niat baikku!" teriak Katnish kesal. "Aku akan mendukungnya! Aku tidak akan mengusiknya! Kalau perlu aku sendiri yang akan membuat hidupnya bahagia! Kau puas!" omelnya kemudian. Denta tersenyum kecil. "Baiklah, aku percaya. Aku tahu kalau kau masih punya hati nurani diik keangkuhan dan pengaraimu yang buruk itu," celotehnya kemudian mengacak acak rambut Katnish. "Yak! Kau mati!" "Hahahahaha." Flashback Off Jeva tersenyum setelah mendengar cerita Denta barusan. "Aku tahu jika Katnish itu orang yang baik. Dia tadi datang dan menghiburku. Dia juga bilang jika sudah berdamai denganku," ujarnya tersenyum tipis. "Bersandarlah pada siapapun yang menawarkan pundak padamu, Jev. Jangan menanggung beban apapun sendirian. Kau tahu ada banyak sekali orang orang yang menyayangimu," ujar Denta tersenyum tulus. "Hehm, aku mengerti." Jeva mengangguk mengiyakan. *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN