25. Bel, Aku Merindukanmu.

1482 Kata
“Ck, kau sudah di Korea selama 2 Minggu dan baru menghubungi kita sekarang?” Daska menatap pria yang tengah duduk di hadapannya. Suara musik yang sangat gaduh membuat Daska harus berteriak supaya pria di hadapannya mendengar omelannya. Saat ini, ia dan juga Prasta sedang ada di sebuah klub untuk minum minum bersama sahabatnya yang datang dari Indonesia. “Aku hanya menyelesaikan urusan pribadiku,” sahut Denta tak acuh. Pria itu mengambil gelas slokinya, lalu meneguk caira bening kekuningan di dalamnya dalam sekali teguk. “Urusan apa?” tanya Prasta ingin tahu. Denta mendongak ke depan, ia melirik Daska sekilas, kembali menuang minuman ke gelas slokinya lalu kembali minum sebelum kemudian berkata pelan. “Menuntaskan masa lalu.” “Hah?” Prasta dan juga Daska tak begitu jelas mendengar ucapan Denta barusan. Suasana terlalu gaduh dan berisik. Di tambah lagi volume suara Denta tak begitu keras. “Urusan dengan perempuan,” ucap Denta dengan suarayang lebih keras. “Yak! Kau sama saja dengan Daska!” seru Prasta melempar Denta dengan kulit kacang. “Ck, aku heran pada kalian berdua. Apa kalian tidak bisa untuk sebentar saja tidak memikirkan perempuan?” ocehnya kemudian geleng geleng kepala. “Itu karena kami normal, Bodoh!” seru Daska balas berteriak. “Setuju!” Denta tertawa lebar sembari memberi highfive kepada Daska. “Ya, ya, ya, terserah kalian saja.” Prasta berkata tak acuh. Ketiganya kembali diam. Prasta sibuk menatap layar ponselnya, ia tengah mengecek laporan yang dikirim oleh asistennya untuk rapat besok. Tidak adanya sekretaris pribadi membuatnya mau tidak mau harus mengerjakan banyak pekerjaan di luar kantor. Daska tengah sibuk mengamati sekitar. Dentum musik yang bergemuruh. Puluhan orang yang berjoged di lantai dansa. Baun asap rokok, parhum serta alkohol yang bercampur menjadi satu. Banyak juga para wanita penghibur yang tengah merayu adonis berduit di tempat ini. Sedangkan Denta tengah menunduk menatap gelas sloki di tangannya. Pria itu memainkan tangannya pada pinggiran gelas. Ia hanya diam seperti memikirkan sesuatu. Lagu berubah jadi hening, DJ yang ada di atas panggung turun lalu bergabun dengan beberapa orang yang tengah berpesta. Kini semua orang bisa berbicara normal tanpa perlu berteriak lagi. Musik yang mengalun tak sekencang tadi. Beberapa orang yang tadinya berdansa dan berjoged, kini telah kembali ke mejana masing masing. “Kau sendiri bagaimana, Pras?” tanya Denta tanpa menatap lawan bicaranya. Prasta menatap pria yang tengah menunduk itu. “Bagaimana apanya?” tanyanya kemudian. Denta mengambil nafas pelan, lalu mendongak menatap Prasta. “Apa hatimu sudah terisi kembali?” tanyanya kemudian. Prasta menatap kedua manik mata milik Denta. Ia tak langsung menjawab, memilih menunduk untuk menatap gelas sloki yang cairannya masih penuh. Prasta kemudian meneguk minuman pertamanya malam ini. Awalnya ia tidak ingin minum, karena ia harus menyetir saat Daska dan juga Denta mabuk. Tapi rencaanya gagal hanya karna satu pertanyaan. Pertanyaan penghuni hati yang dlunya sempat di huni wanita yang sangat ia cintai. “Kau tahu itu tidak mudah. Aku bahkan masih bertanya tanya tentang dirinya. Aku merasa ada sesuatu yang aku lewatkan, sesuatu yang membuat hatiku kosong,” ujar Prasta lirih. Ia mengambil botol di hadapannya, lalu meneguknya langsung dari botol tersebut. Denta dapat melihat rasa sakit di manik mata Prasta. Perasaan kecewa, menyesal dan terlebih lagi perasaan bersalah. Denta yakin jika Prasta merasa menjadi orang bodoh yang tidak tahu apa apa atas kematian calon istrinya. Denta merasa bersalah sudah menutupi semuanya dari Prasta, tapi ia yakin jika ini yang terbaik, setidaknya untuk saat ini. Toh, Daska masih melupakan kejadian dulu, jadi percuma saja membahasnya sekarang. Denta melirik Daska yang tengah menggoda salah satu perempuan yang duduk sendirian di sudut bar. Setelah mencoba berdamai dengan masa lalu dan kembali berteman dengan Daska, satu hal yang ia sadari pada sahabatnya itu. Meskipun Daska terlihat bersenang senang, bermain wanita, mabuk dan lain sebagainya. Ia tahu jika jauh di dalam hatinya, ada penyesalan yang tak kasat mata. Daska pasti merasa bersalah walaupun ia tidak mengingat apa yang telah ia lakukan kepada Belva atau pun Jeva. Denta bisa tahu jika Daska juga terluka, pria itu juga tidak bahagia. “Menyembuhkan memang butuh waktu yang lama, Pras.” Denta kembali bersuara. “Tapi kau harus belajar lebih keras lagi untuk kebahagiaan dirimu sendiri. Aku yakin dia tidak akan senang kalau kau terlalu larut dalam kesedihan. Kau harus mencoba untuk mencari penggantinya,” imbuhnya kemudian. Prasta menatap Denta dengan alis tertaut, ia merasa aneh saat pria itu mulai berucap serius seperti ini. “Kau menasehatiku sebagai mantan calon kakak ipar atau sebagai sahabat?” tanyanya dengan mata menyipit. “Dua duanya.” Denta menjawab dengan serius. “Baiklah, akan aku fikirkan.” Prasta mengangguk tak acuh. Keesoka harinya, mereka bertiga bangun kesiangan setelah semalam mabuk dan pulang dalam keadaan hangover. Mereka menginap di apartemen Prasta, bangun dengan terburu buru karena hari ini harus bekerja. Prasta ada rapat penting, sedangkan Daska harus mengerjakan laporan penting. Denta hanya mengamati tingkah saudara kembar itu dari atas tempat tidur. Hari ini ia akan beristirahat sejenak sebelum nanti sore bertemu dengan Jeva. “Ya! Kalau kau butuh sesuatu hubungan pelayan yang datang ke sini!” teriak Prasta sebelum keluar kamar bersama Denta. “Baiklah.” Denta bergumam pelan. Ia merebahkan dirinya ke belakang. ***** DoubleU Corporation. Jeva menatap tumpukan berkas di hadapannya, lagi lagi Daska memberikan banyak tugas untuknya. Ini sudah hari ke 17 ia bekerja di bawah arahan Daska sebagai ketua dari di divisi keuangan. Selama 2 minggu lebih itu, ia terus memberikan tugas yang menumpuk kepadanya. Membuat Jeva sering lembur dengan Daska di ruangan divisi keuangan. Ya, mereka sering lembur berdua. Meskipun Daska di ruang kerjanya dan Jeva di meja kerjanya. “Hah.” Jeva menghela nafasnya lelah. Ia merentangkan kedua tangannya ke udara. Setelah beberapa jam berkutat dengan berkas dan komputer, akhirnya Jeva bisa menyelesaikan semua pekerjaan yang diberikan Daska padanya. Ia melirik ruangan Daska yang kosong, sepertinya pria itu masih rapat di lantai 40. Jeva buru buru merapikan meja kerjanya. Ia juga merapikan tugas tugasnya lalu beralan menuju ruangan Daska untuk mengembalikan pekerjaannya. Setelah itu ia keluar dari ruangan pria itu. “Apa yang kau lakukan?” tanya seseorang dari arah belakang Jeva. Jeva tersentak kaget saat Daska menegurnya. “Saya hanya menaruh berkas pekerjaan yang Pak Daska berikan setelah makan siang tadi,” jawanya dengan nada tenang. “Oh.” Daska bergumam pelan. “Eh, tunggu!” ujarnya kemudian mencegah Jeva pergi. “Ada apa, Pak?” tanya Jeva mencoba untuk tersenyum sopan. “Tunggu sebentar.” Daska masuk ke dalam ruangannya, ia kemudian keluar dengan membawa beberapa file. “Tolong kau berikan file ini kepada Pak Prasta. Dia membutuhkannya sekarang juga.” Lagi lagi Jeva hanya mengangguk mengiyakan. Perempuan itu mengambil file dari tangan Daska lalu berjalan ke arah meja kerjanya untuk mengambil tas dan setelah itu ia keluar dari ruangan divisi keuangan. Daska tersenyum kecil melihat Jeva menahan rasa kesalnya. “Ouh, dia bersikap menyebalkan lagi,” oceh Jeva saat berada di dalam lift menuju lantai teratas gedung DouleU. Ia hanya mengomel dan bercerita kepada Elsa jika Daska memberikan tugas banyak dan membuatnya kesal. Tok! Tok! Jeva mengetuk pintu ruang kerja Prasta cukup kencang. Menunggu beberapa saat tidak ada sahutan dari dalam. Perempuan itu memutuskan untuk membuka pintu di hadapannya. Ia melihat Prasta tengah tetidur di meja kerjanya. “Sudah berapa lama Pak Prasta tertidur? Punggungnya akan sakit jika posisi tidurnya seperti itu,” gumam Jeva pelan. Ia mengendap endap mendekati meja Prasta. Memutuskan untuk menaruh file di tangannya ke atas meja lalu meninggalkan ruangan Prasta secepat mungkin tanpa membangunkan atasannya itu. Namun setelah menaruh file di atas meja, ia jutru terjebak di tempatnya. Ia menatap wajah Prasta yang tengah tertidur pulas. Ini akhir tahun sehingga perusahaan sangat sibuk sekali. Ia sering melihat Prasta lembur dan bahkan saat Jeva pulang, pria itu belum pulang juga. Ia sering melihat mobil milik Prasta masih terparkir di depan gedung DoubleU saat ia keluar kantor. “Setelah aku fikir fikir, ternyata kalian berdua tidak sama. Ada banyak hal yang membuat kalia berbeda,” gumam Jeva masih mengamati wajah Prasta. “Eungh.” Prasta melenguh lalu terbangun. Jeva yang kaget langsung menjauh dan karena terlalu panik ia sampai menjatuhkan pigura di meja kerja Prasta. “Jeva?” tanya Prasta terkejut saat melihat Jeva ada di ruangannya. “M-maaf, Pak. T-tadi saya hanya ingin menyerahkan file dari Pak Daska. Saya melihat Anda tertidur dan karena tidak ingin membangunkan Pak Prasta, saya menaruh filenya di atas meja saja,” ujar Jeva gugup. Ia menatap pecahan pigura di atas lantai. “Maafkan saya!” imbuh Jeva lalu buru buru memungut piguran yang sudah pecah. “Tidak perlu!” ujar Prasta mencegah Jeva untuk membersihkan pigura. ”Biar besok OB yang membersihkannya,” ujarnya kemudian. “Baik, Pak.” Jeva mengangguk sopan. “Sekali lagi saya minya maaf,” imbuhnya kemudian sebelum pergi. Prasta menatap perempuan yang hilang dibalik pintu ruang kerjanya, ia lalu menunduk menatap pigura foto di tangannya. “Bel,” gumamnya pelan. “Aku merindukanmu.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN