34. Gossip

1141 Kata
DoubleU Coporation, Seoul, Korea Selatan. Katnish memarkirkan mobilnya di halaman parkir gedung DoubleU. Setelah sebelumnya mengganggu acara tidur Denta, perempuan itu pergi mengunjungi mantan kekasihnya untuk mengajak pria itu makan siang bersama. Sekaligus bernostalgia dengan 'teman' lamanya. Katnish tidak sabar untuk bertemu dengan Jeva. Kaki jenjangnya turun dari mobil dengan heels yang memperindah kakinya. Alas seharga jutaan dollar itu menapaki halaman parkir gedung DoubleU. Rambut Katnish yang bergelombang berkibar tertiup angin, dress warna hijau pupus menggantung dengan indah pada tubuh proporsionalnya. Perempuan itu menggunakan 1 brand untuk menunjang penampilannya saat ini. Mulai dari ujung kaki hingga ujung kepala. Katnish berjalan menuju lobi kantor, semua orang yang melihatnya berdecak kagum melihat kecantikannya. Bertanya tanya apa yang dilakukan model internasional itu di gedung ini. Perempuan itu berjalan penuh percaya diri, tidak memperdulikan tatapan orang orang yang melihatnya. Meskipun Katnish jarang modeling ke Korea, namun ia sering melakukan pemotertan dengan brand kosmetik dari Negeri Gingseng ini. Wajah cantiknya sering terpampang pada billboard di kota kota di Seoul. Katnih menghentikan langkahnya tak jauh dari pintu masuk lobi. Perempuan itu menyiptkan matanya saat melihat Jeva keluar dari pintu lobi dengan wajah sendunya. Ia bahkan yakin sempat melihat mata perempuan itu sembab seperti sedang menangis. "Kenapa dengan dia?" Katnish bertanya tanya apa yang sedang terjadi pada perempuan itu. Ia lalu menoleh ke dalam lobi, di sana ada seorang pria yang tengah menatap kepergian Jeva dengan tatapan yang sulit di artikan. "Dia itu... Daska atau Prasta?" gumamnya pelan. Katnish masih terus menatap pria di lobi, hingga pria itu berjalan ke arah lift dan menghilang di dalam mesin kotak itu. Perempuan itu lalu menoleh ke arah lain, mencari cari keberadaan Jeva. Ia berjalan lurus menuju ke arah taman yang letaknya tepat di samping gedung DoubleU. Jeva tengah duduk di salah satu bangku taman. Tidak ada siapa pun di taman itu, hanya ada Jeva seorang. Katnish berjalan mendekati perempuan itu, ia dapat melihat pundak Jeva bergetar karena menahan tangis. Ia memutuskan untuk berdiri tak jauh dari perempuan itu, membiarkan Jeva meluapkan perasaannya dan kembali tenang. makan siang. bertemu Jeva. ***** "Jev, tentang yang tadi..." "Saya minta maaf kalau sudah bersikap kasar dan tidak sopan. Mohon lupakan saja pembicaraan kita yang tadi." Jeva memotong ucapan Daska. "Saya permisi pulang dulu," pamitnya kemudian. Membungkuk sopan lalu pergi begitu saja tanpa menoleh ke arah rekan rekan kerjanya. Daska hanya diam saja menatap punggung Jeva yang menjauh sebelum kemudian menghilang di balik pintu ruang Divisi Keuangan. Pria itu menghela nafas lelah, lalu kembali masuk ek dalam ruang kerjanya. Ia tak mengacuhkan tatapan semua pegawai yang masih duduk di meja kerjanya masih masing. "Yak! Apa aku melewatkan sesuatu hari ini?" bisik Ervan kepada Naya. Naya melirik ke arah Ervan. "Ssst, kau diam saja. Lebih baik tidak perlu membahasnya, itu urusan mereka berdua," bisiknya yang tak ingin ikut campur dengan masalah Jeva dan Daska. "Yak! Yak! Aku dengar mereka bertengkar di pantry pagi tadi." Laila datang dengan gosip barunya. "Hah? Mereka bertengkar? Kenapa? Ada masalah apa?" tanya Ervan ingin tahu. Laila membungkuk sebelum menggibahkan atasan dan rekan kerjanya. Ervan mendekatkan tubuhnya ke arah Laila, Naya yang awalnya tidak ingin mencari tahu akhirnya kepo juga. "Mereka bertengkar sampai membuat cangkir di pantry pecah. Aku mendengar dari salah satu cleaning service yang membersihkan pecahannya," bisik Laila. "Hah? Sampai ada barang yang pec..." Ervan tak meneruskan ucapannya karena mulutnya di bungkam oleh Naya. "Yak! Hush," bisik Naya menolek ke belakang, ke arah ruang kerja Daska. "Pak Daska bisa mendengar ocehanmu," celotehnya menegur Ervan. Ervan menutup mulutnya lalu ikut melirik Daska yang duduk di balik singgasananya. "Oh My God, pasti mereka bertengkar hebat," bisiknya kemudian. "Hah, tidak mungkin mereka bertengkar karena masalah pekerjaan. Mungkin saja mereka bertengkar karena...." "Karena apa?" "Ya pasti karena perasaan... Astaga! Pak Daska!" Ervan berseru kaget saat melihat Daska sudah berdiri di dekat mereka. Naya, Ervan dan juga Laila langsung berdiri setelah ketahuan menggosipkan atasan mereka. Mereka saling melemparkan pandangan karena merasa gugup. Merasa tidak enak karena sudah membicarakan Daska. Walaupun sebenarnya mereka heran sejak kapan Daska berdiri di dekat mereka sementara sebelumnya mereka masih melihat Daska fokus bekerja di balik meja kerjanya. "Kalau kalian sudah selesai bekerja, bukankah lebih baik pulang dan beristirahat daripada membicarakan tentang oranglain di kantor," ucap Daska dengan wajah dinginnya. "I-iya, Pak!" sahut Naya cepat. "B-baik, Pak!" Ervan juga segera membereskan barang barangnya. "Eh, s-saya harus bertemu dengan Pak Kim untuk membahas sesuatu." Laila teringat akan menemui seseorang di bagian pemasaran, ia bergegas pergi meskipun masih ada waku sekitar 20 menit lagi. "K-kam, permisi, Pak." Naya dan juga Ervan pamit pergi, membungkuk sopan ke arah Daska sebelum kemudian berjalan cepat ke arah pintu keluar. "Haish." Daska mendengkus kesal. "Aku perlu minum," imbuhnya kemudian. ***** Jeva menelusuri jalanan menuju gedung apartemennya tanpa bertenaga. Hari ini banyak sekali hal hal yang mengejutkan. Pertengkarannya dengan Daska dan juga kedatangan mantan kekasih dari pria itu. Perempuan itu berjalan menunduk, menatap sepatu hak tinggi yang saat ini ia memakai. Pria itu baru saja turun di halte bus tak jauh dari area gedung apartemennya. Jarak antara halte dan gedung apartemen memang cukup jauh dan perlu berjalan kaki sekitar 10-15 menit-an. "Kau bisa menabrak seseorang jika terus berjalan menunduk!" seru Denta menegur Jeva. Jeva mendontidak ke depan begitu mendengar suara seseorang menegurnya. Perempuan itu melihat Denta duduk di depan supermarket yang biasa mereka gunakan untuk bercengkerama. Jeva berjalan menghampiri pria itu, lalu duduk di sampingnya. "Ada apa? Sepertinya harimu saat ini sangat buruk," celoteh Denta. "Ya, begitulah," sahut Jeva mengangkat bahunya tak acuh. "Ah, aku lupa menanyakannya, kenapa kau tidak memakai cincin dari Daska?" tanya Denta seraya membuka kaleng minuman tanpa alkohol dan menyerahkannya kepada Jeva. "Semenjak aku tahu tentang kejadian yang menimpa Belva, aku sudah melepaskan cincin lamaran dari Daska," sahut Jeva mengambil kaleng minuman yang diberikan oleh Denta lalu meminumnya seteguk demi seteguk. "Untuk apa aku masih menyimpan cincin dari Daska? Hubungan kita sudah berakhir," imbuhnya tersenyum tipis, menatap kaleng minuman di tangannya dengan pandangan menerawang. Ia jadi teringat dengan lamaran yang di lakukan Daska saat di Pulau Seribu dulu. Denta menatap Daska sendu. "Siapa yang bilang hubungan kalian sudah berakhir, Jev? Hubungan kalian itu masih di tangguhkan," ocehnya tersenyum kecil. "Ck, kau fikir hubungan kita itu persidangan, pakai di tangguhkan segala!" cibir Jeva. "Karena Daska hilang ingatan dan dia tidak ingat hubungannya denganmu?" tanya Denta. "Aku sudah menganggap hubunganku berakhir bahkan sebelum dia hilang ingatan," sahut Jeva tersenyum tipis ke arah Denta. "Tapi hubungan kalian masih bisa diperbaiki, Jev." Denta dapat melihat kesedihan di mata perempuan itu, semakin merasa bersalah karena secara tak langsung membuat Jeva sedih seperti ini. "Ngomong ngomong tadi aku bertemu dengan Katnish di kantor," celoteh Jeva mencoba mengalihkan topik pembicaraan. "Katnish?" Dahi Daska berkerut samar. "Dia juga menemuimu?" "Juga?" Jeva mengernyitkan dahinya. "Maksudmu kau juga sudah bertemu dengannya?" tanyanya kemudian. "Hehm, sudah." Denta mengangguk. "Apa yang dia katakan padamu?" "Kau sendiri bagaimana? Apa yang dia katakan padamu?" tanya balik Jeva. *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN