39. Menunggu Waktu untuk Menyampaikan

1002 Kata
Suasana kafe yang temaram sama seperti hati Jeva yang juga temaram. Saat ini Jeva dan juga Denta sedang dinner, setelah sebelumnya bertemu dengan Prasta di tempat ini. Kini keduanya makan dalam keadaan canggung. Denta fokus pada makanannya, lalu sesekali menatap ke arah Jeva. Pria itu menghela nafas lelah saat melihat Jeva melamun dan tak b*******h. “Jev, kau tidak apa apa?” tanya Denta setelah melihat Jeva hanya bermain main dengan makanannya. Perempuan itu tak menyentuh makanannya sama sekali. Sejak tadi, kegiatannya hanya memmandangi makanan. Memainkan sendok di tangannya, sama sekali tidak berniat untuk menyendok makanan ke dalam mulutnya. Pandangan matanya juga sering melamun dan kosong. “Aku tidak apa apa.” Jeva menggeleng pelan. Ia sudah tak berminat untuk makan atau pun mengobrol dengan Denta. Denta menghela nafas pelan, ia tahu jika Jeva tengah berbohong. “Kau masih memikirkan tentang yang tadi?” tanyanya kemudian. Jeva menghela nafas pelan, lalu mendongak menatap Denta. “Aku merasa bersalah kepada Prasta, Ta. Kita semua menyembunyikan satu rahasia besar darinya,” ujarnya lirih. Tak bisa lagi menutupi rasa bersalahnya kepada Prasta. “Bukan selamanya, Jev, kita hanya menunggu waktu untuk menyampaikannya. Aku yakin saat nanti Prasta tahu, dia akan mengerti. Prasta bukan orang yang bertindak gegabah, dia selalu memikirkan matang matang apa yang akan dia lakukan. Dia bukan tipe orang yang mudah emosi. Dia akan mendengarkan penjelasan dari semua sisi. Kau tenang saja, Jev,” jelas Denta panjang lebar. Jeva hanya tersenyum. “Semoga saja dia bisa mengerti,” ucapnya lirih. Meski begitu ia tetap tidak bisa tenang. Mereka lanjut makan dalam diam. Jeva tak lagi bersuara dan Denta tak ingin menganggu perempuan itu. Dia hanya akan menemani Jeva tanpa mengucapkan apapun. Sampai akhirnya, pria itu mengantarkan Jeva pulang. Mobil milik Denta berhenti di depan gedung tempat tinggal Jeva. Mereka baru saja selesai makan malam. Jeva mengucapkan terimakasih dan hendak keluar saat tangan milik Denta meraih pergelangan tangannya. Perempuan itu menoleh dan menatap Denta meminta penjelasan. “Kalau ada apa apa, hubungi aku saja,” ujar Denta menatap manik mata Jeva dalam dalam. “Hehm.” Jeva hanya bergumam pelan. Denta tak melepaskan tangan Jeva, membuat perempuan itu menatapnya dengan alis menyatu karena heran. "Kenapa?" tanya Jeva lirih, ia merasa bersalah karena mengacuhkan Denta. Denta menatap kedua manik mata Jeva, tangannya semakin menggenggam erat tangah perempuan itu. “Berjanjilah, Jev. Jangan melakukan apa yang dilakukan oleh Belva dulu. Aku tidak ingin kehilangan seseorang yang berharga lagi,” bisiknya nelangsa. Jeva terenyuh mendengar permintaan Denta barusan, ada sorot ketakutan dalam retina mata milik pria itu. Takut kehilangan, perasaan menyesakkan yang dulu juga pernah ia rasakan. Perempuan itu lalu tersenyum tipis, ia menggenggam tangan milik Denta yang masih di pergelangan tangannya. “Aku janji, Ta. Aku tidak akan meninggalkanmu sendirian lagi,” ujarnya kemudian. Mereka berdua berpandangan sejenak. Saling melempar senyum menenangkan. “Hehm, baiklah.” Denta melepaskan genggamannya setelah yakin dan lega mendengar janji Jeva barusan. “Hati hati di jalan,” ujar Jeva sebelum keluar dari mobil Denta. "Hehm." Denta hanya bergumam. Jeva menunggu sampai mobil Denta melaju dan semakin menjauh sebelum kemudian menaiki anak tangga menuju rumah atapnya. Sampai di atas, perempuan itu tak langsung masuk ke dalam rumah. Ia memilih untuk merebahkan tubuhnya di meja persegi yang ada di balkon. Mengamati gelapnya malam yang hari ini tanpa bintang. “Semakin aku memilih untuk diam, aku semakin takut untuk menemui Prasta. Terlalu banyak rahasia yang aku sembunyikan darinya. Prasta tidak tahu apa apa tentang masa lalu kami. Lantas apa yang harus aku lakukan?” Jeva menutup kedua matanya, meresapi angin malam yang menyapa lembut kulitnya. Jauh di belahan Jakarta yang lain, Prasta baru saja tiba di apartemennya. Pria itu menghela nafas saat melihat Daska duduk santai di sofa depan TV. Pria itu menghampirinya lalu menendang kaki Daska sedikit keras. “Argh! Kenapa kau menendang kakiku?” teriak Daska yang kesal karena Prasta tiba tiba menendang kakinya. “Enyah dari hadapanku dan juga apartemenku. Kenapa kau selalu numpang di tempatku, padahal kau sudah punya tempat tinggal sendiri?” tanya Prasta tak habis fikir. Daska selalu menjadi tamu tak di undang di apartemennya. “Ck, aku kan sudah bilang kalau aku tidak ingin kau kesepian,” balas Daska tak acuh. Ia masih mengaduh kesakitan karena tendangan Prasta yang cukup keras. Prasta kembali menghela nafas lelah, lalu duduk di sofa single. Pria itu menatap Daska dengan tatapan seriusnya. Ia lelah berdebat dengan saudara kembarnya iatu dan memilih untuk berdamai dengan keadaan. “Apa kau tahu kalau Denta mengenal Jeva?” tanyanya kemudian. Daska menoleh cepat ke arah Prasta. “Denta mengenal Jeva? Sejak kapan? Kenapa aku tidak tahu? Kau tahu darimana?” tanyanya bertubi tubi. “Jadi kau juga tidak tahu,” gumam Prasta setelah melihat reaksi Daska. Pria itu lalu beranjak, hendak pergi ke kamarnya untuk mengistirahatkan tubuhnya. “Yak! Jelaskan dulu padaku! Kenapa kau bisa tahu kalau mereka saling kenal?” teriak Daska hendak menyusul Prasta namun tidak jadi karena ponselnya berbunyi. Denta Calling Secepat kilat, Daska mengangkat panggilan tersebut. "Ada hubungan apa kau dengan Jeva?" tanya Daska begitu panggilan telfon tersambung. Pria itu bahkan tak mengucap salam terlebih dahulu. "Ya! Aku yang menelfonmu, kenapa justru kau yang bertanya?" omel Denta di ujung telfon. "Jawab saja pertanyaanku, Ta." Daska kembali memaksa. "Kau kau ingin tahu jawabannya, datang saja ke sini," balas Denta yang sepertinya mulai mabuk. "Kau mabuk?" Dahi Daska berkerut samar. "Akan," gumam Denta tak jelas. “Baiklah, sekarang kau ada dimana?” tanya Daska pada akhirnya. “Millenium.” “Tunggu aku di sana.” Setelah mengatakan hal tersebut, Daska menutup panggilannya secara sepihak. Tak perduli jika faktanya tadi yang menelfon pertama adalah Denta. Pria itu mengambil jaketnya hendak pergi menemui Denta di Millenium bar. "Eh, kau mau pergi kemana?" tanya Prasta yang baru saja keluar dari dalam kamar. Pria itu hendak ke dapur untuk mengambil air minum saat melihat Daska mengambil jaket dan akan pergi. “Aku akan menanyakan langsung kepada Denta tentang hubungannya dengan Jeva,” ujar Daska sebelum keluar dari apartemen Prasta. Prasta melihat kepergian Daska dalam diam. *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN