10. Garis Takdir yang Mempertemukan Kita

1291 Kata
Pertemuan yang direncanakan oleh garis takdir terkadang memang menyakitkan. Di dunia ini tidak ada yang namanya kebetulan, semuanya sudah di rancang oleh Tuhan. Tapi kenapa takdir begitu kejam kepada Jeva? Kenapa dia harus bertemu lagi dengan pria di masa lalu saat dia sudah mulai menata hidupnya? . . . Dua pria yang berada di dalam ruangan itu sama sama menatap Jeva dengan raut wajah bingung. Mereka hanya memandang pada satu titik yang sama tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Jeva sendiri sudah tidak bisa berkata apa apa lagi. Ruangan diambil alih oleh keheningan yang datang akibat rasa terkejut mereka. Manusia manusia di dalam ruangan seakan terjebak pada satu waktu antara masa depan dan masa lalu. Tiba tiba saja ingatan Rana berputar ke masa dimana ia bertemu pertama kali dengan Daska. Lalu sekilas ingtaan tentang Belva juga muncul di dalam ingatannya. Jeva meremas dadanya yang tiba tiba terasa sesak, dadanya seakan akan di tusuk oleh ribuan jarum tak kasat mata. Rasa sesak itu datangnya dari luka di masa lalu. Berulang kali ia mencoba untuk mengambil nafas, memenuhi paru parunya dengan oksigen baru. Mencoba meredakan rasa sesak di dadanya. Namun bukanya menghilang, rasa sesak di dadanya semakin bertambah dan membuatnya meringis pelan. “Ehm.” Pria yang masih berdiri di ambang pintu berdeham cukup keras. Membuat dua orang yang masih mematung membuyarkan lamunan mereka masing masing. Pria itu mengamati penampilan Rana dari atas sampai bawah. “Ehm, apa kita sebelumnya saling mengenal?” tanyanya kemudian. Alis matanya yang tebal tertarik ke atas, seperti tengah mengingat ingat sesuatu. Jeva menatap pria itu dengan raut wajah bingung. Bagaimana bisa pria itu mengatakan hal seperti itu? Setelah semua luka yang muncul karena hubungan mereka di masa lalu, juga setelah perjuangannya melupakan pria itu dan selalu mengalami kegagalan. Pria itu bahkan melupakan dirinya dan hubungan mereka di masa lalu. Skenario macam apa ini? Ya Tuhan, setelah ketenangan yang Jeva rasakan selama beberapa bulan ini, bagaimana bisa hari ini Engkau mengingatkan kembali tentang kisah dan luka di masa lalu? Bagaimana caraku menghadapi hari ini? “Yak! Pras! Apa kau mengenal perempuan ini?” tanya pria yang berdiri di ambang pintu karena Jeva tak kunjung bicara. Ia menoleh ke arah pria yang masih berdiri di dekat meja kerjanya sendiri. Jeva menoleh ke belakang, ia lalu melirik benda yang terbuat dari kaca dengan tulisan CEO DoubleU, Prasta Wenas. Itu adalah tulisan yang tertera di sana. Jadi pria yang berdiri di dekat meja kerja adalah pemilik dari perusahaan ini yang otomatis, atasan Jeva di kantor. “Aku tidak mengenalnya,” ujar pria bernama Prasta itu masih mengamati gerak gerik dari Jeva. “Hei!” Pria yang masih berdiri di ambang pintung mengambil satu langkah ke arah Jeva. Jeva segera sadar dari keterkejutannya, lalu menatap pria yang berjalan mendekatinya. Pria itu adalah Daska. Daska Wenas. Ia mundur satu langkah ke belakang. “T-tidak! A-aku tidak mengenal kalian!” Jeva buru buru merapikan berkas berkas yang berserakan di lantai. Ia kemudian menoleh ke arah Prasta. “S-saya karyawan baru dari divisi keuangan. Saya hanya ingin membawakan laporan keuangan yang Pak Prasta... minta,” ujarnya kemudian. Prasta diam sejenak, menimbang nimbang dan juga masih belum puas dengan jawaban perempuan di hadapannya saat ini. Ada getaran halus yang ia rasakan, sorot mata perempuan itu terlihat tegas namun anehnya, ia melihat garis luka dalam sorot itu. Lalu tiba tiba saja dadanya terasa sesak, entah kenapa, ia seperti merasakan luka yang sama. Kenapa? “Pak Prasta.” Jeva memanggil atasanya karena pria itu hanya diam saja. “Eh.” Prasta tersentak. “Ya sudah, taruh saja di meja. Saya nanti akan mengeceknya,” ujar Prasta kemudian. Meskipun ia masih bingung dengan situasi yang terjadi saat ini. Ia mencoba terlihat santai dan berwibawa layaknya seorang atasan. “Baiklah.” Jeva mengangguk sopan. “Kalau begitu, saya permisi dulu. Selamat pagi.” Jeva segera pamit lalu keluar dari ruangan kerja Prasta. Tanpa menoleh atau melirik ke arah Daska sedikit pun, karena perempuan itu tidak ingin goyah di sini. Ia mencoba untuk terus melangkah sekalipun kakinya sudah lemas sejak kedatangan pria itu. Prasta menatap kepergian Jeva dengan kerutan di dahi. Ia teringat dengan Jeva, perempuan yang ia lihat saat interview kerja bulan lalu. Daska juga mengamati kepergian Jeva barusan, tiba tiba saja ia menyentuh dadanya yang terasa sesak. Ia merasakan perasaan yang sangat aneh. “Ah, mungkin perasaanku saja,” gumam Daska dalam hati. Pria itu berjalan ke arah sofa yang ada di ruangan Prasta. Pria itu mengabaikan perasaan aneh yang muncul di hatinya, juga perempuan yang tadi di ruangan Prasta. Walau pun ia merasakan getaran aneh di tubuhnya, tapi pria itu mencoba tak mengacuhkannya. Prasta sendiri juga melakukan hal yang sama, ia lalu berjalan menghampiri saudara kembarnya dan duduk di hadapan pria itu. “Kau yakin tidak mengenal perempuan itu?” tanya Prasta menatap kembarannya dengan tatapan menelisik. “Tidak.” Daka menggeleng tak acuh, pria itu fokus pada ponsel di tangannya. “Aku tidak merasa mengenalnya,” imbuhnya kemudian. Ia tersenyum kecil saat mendapat balasan chat dari perempuan yang saat ini sedang dekat dengannya. Prasta mendengkus pelan. “Mungkin saja kau lupa karena terlalu banyak perempuan yang kau ajak kencan satu malam,” cibirnya kemudian. “Kau terlalu sering bermain, Das. Cobalah untuk serius dalam hal apapun, entah itu relationship atau pun masa depanmu. Aku membicarakan pekerjaan.” Setelah mengomel panjang lebar, Prasta kembali ke singgasananya karena ada pekerjaan yang harus ia lakukan. Percuma saja meladeni hobi saudara kembarnya yang suka bermain perempuan. “Yak! Kapan aku pernah mempermainkan hati perempuan?” seru Daska tak terima. Pria itu menyimpan ponselnya di saku celananya, lalu berjalan menghapiri meje kerja Prast. “Aku hanya mengajak mereka yang mau bersenang senang denganku,” ocehnya memperjelas hobinya. “Cih, berhenti bermain dengan s**********n wanita kalau kau tidak ingin mereka membawa masalah untukmu.” Lagi lagi Prasta mengomeli Daska. Membuat kembarannya itu bertambah kesal. “Yak! Berhentilah mengomeliku! Kau fikir umur kita sudah berapa? Hah? Aku bukan remaja labil yang menjadi palyboy hanya untuk bersenang senang. Aku hanya ingin mencari wanita yang tepat untuk kujadikan sebagai istri,” celoteh Daska memberikan alasan. “Ck, tidak ada wanita waras yang akan menerima pria sepertimu. Kau fikir mereka itu bodoh? Hah!” Prasta kembali mencibir Daska. “Haish, lupakan! Kenapa kita jadi membahas hal yang tidak penting seperti ini?” Daska semakin kesal karena setiap ucapannya selalu dibantah oleh Prasta. “Ngomong ngomong, perempuan yang tadi benar pegawai di perusahaan ini? Sudah berapa lama ia bekerja di sini? Cantik!” komentar Daska kemudian. Prasta menatap Daska dengan tatapan menyelidik. “Aku tidak akan mengijinkanmu mendekati pegawaiku. Apalagi karena dia cantik!” omelnya mengancam. Tatapan tajamnya ia hunusnya ke arah sang saudara kembar. Daska mendengkus pelan. “Ck, aku hanya bercanda! Sepertinya kau mengomeliku dengan serius,” cibirnya sedikit kesal. “Memang,” sahut Prasta cepat masih dalam mode seriusnya. “Bukan hanya perempuan tadi, tapi seluruh pegawai yang ada di sini,” imbuhnya kemudian dengan tegas. “Cih, tidak seru!” oceh Daska ketus. Prasta tersenyum geli melihat ekspresi Daska barusan. “Ngomong ngomong apa yang membawamu kemari?” tanyanya kemudian. “Kau sudah bosan di Paris dan ingin menebar benih di sini?” Prasta berkata dengan sinis. “Yak! Kau harus memfilter ucapanmu! Kau fikir aku ini pria macam apa yang suka menebar benih!” teriak Daska kembali mengomel. “Kau memang melakukan itu,” balas Prasta mencibir. “Cih.” Daska berdecih pelan. “Jadi kenapa?” tanya Prasta kemudian. Menghentikan kegiatannya mengomeli Daska. “Aku ingin membicarakan tentang masa depan yang kau maksudkan tadi. Aku akan bekerja di sini,” ujar Daska tersenyum lebar. “Bekerja di sini?” Prasta menaikkan alisnya, terdengar ragu dengan ucapan Daska barusan. Mengingat hampir selama 3 tahun ini, pria itu hanya suka bermain perempuan tanpa serius bekerja.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN