9. Kalian Berdua Kembar?

1122 Kata
Akhir pekan berlalu dengan sangat cepat. Elsa terus mengomel di sepanjang perjalanan menuju ke kantor. Jeva hanya geleng geleng kepala karena temannya itu selalu mengomeli apapun. Hari Senin yang sibuk kembali dimulai. Bekerja di pagi hari dan pulang saat sore hari. Mungkin. Jika saja mereka tidak lembur kerja. Dua perempuan itu turun dari bus lalu berjalan menuju gedung kantor DoubleU yang memang terletak tak jauh dari tempat pemberhentian bus. Elsa sempat mengaca di sebuah mobil yang terparkir di depan gedung, membenarkan lipstiknya yang sedikit belepotan. Jeva tersenyum geli melihat tingkah lucu temannya itu. Lalu tiba tiba saja ingatannya melihat ke masa lalu, menggiringnya pasa sosok yang dulu sempat singgah meskipun sekarang tak lagi bersua. Kejadian ini pernah terjadi dan itu terjadi padanya. Ia pernah melakukan apa yang dilakukan Elsa saat ini. Itu kali pertama saat ia bertemu dengan Daska, juga kali pertama ia merasa dekat dengan Belva. “Jev! Jeva!” seru Elsa menepuk pundak Jeva pelan. Jeva tak merespon dan hanya diam saja. "Jevaaaa! Jeeev!" Elsa berteriak sekali lagi. Jeva masih tetap diam saja. Membuat Elsa jadi gemas sendiri. "JEV"!" teriak Elsa lebih kencang. Ia bahkan sampai menepuk pundak Jeva supaya perempuan itu dtersadar ari lamunannya. “Hah? Kenapa?” Jeva melihat ke arah Elsa bagaikan orang linglung. “Melamun lagi? Kenapa akhir akhir ini kau jadi lebih sering melamun? Sebenarnya apa yang mengganggumu?” tanya Elsa yang menyadari perubahan dikap Jeva. “Tidak ada.” Jeva menggeleng pelan. “Tidak apa apa. Ayo masuk ke dalam.” Jeva berjalan lebih dulu ke dalam gedung. Elsa menghela nafasnya pelan lalu mengikuti Jeva masuk ke dalam gedung. Mereka berpisah di lantai 37, dimana Jeva berbelok ke lorong kanan sementara Elsa berbelok ke lorong kiri. “Pagi, Jev!” sapa Ervan yang sudah duduk manis di kubikelnya. “Pagi, Van,” balas Jeva tersenyum ramah. “Pagi, Nay!” sapa Jeva kemudian pada perempuan yang mejanya di depan kubikel miliknya. Perempuan itu sepertinya tengah menyiapkan beberapa berkas. “Atasan meminta laporan bulan ini,” oceh Ervan seakan mengerti raut bingung di wajah Jeva saat menatap ke arah Nayara. “Huft. Pagi pagi sekali dan aku harus senam jantung,” keluh Nayara sembari sibuk menyiapkan berkas, sesekali ia memegang perutnya. “Kau sepertinya pucat. Apa kau sakit, Nay?” ujar Jeva saat menyadari bibir Nayara sedikit pucat. Ia juga dapat melihat sesekali Naya meringis kesakitan. “Aku sedang ada tamu bulanan, Jev. Selalu seperti ini, kram perut,” oceh Naya meringis pelan. Ia duduk di kursinya, mencengkeram perutnya yang kram. “Seperti beberapa bulan yang lalu? Yak! Jangan sampai kau pingsan di depan presdir!” seru Ervan yang tak sengaja mendengar obrolan Naya dan juga Jeva. “Kau pernah pingsan di kantor?” tanya Jeva tak percaya. “Hehm." Naya mengangguk lemah. "Waktu itu aku masih anak baru di sini, jadi tidak berani ijin cuti,” imbuhnya kemudian. "Biasanya juga tidak seperti ini, mungkin karena aku kurang melakukan olahraga." "Oh, begitu." Jeva mengangguk mengerti. "Apa kau biasa minum obat penghilang rasa sakit? Aku bisa membelikannya untukmu," tawarnya kemudian. "Tidak perlu, Jev. Aku takut minum obat." Naya menolak tawaran Jeva secara halus. "Istirahat sebentar juga sudah cukup." Naya tersenyum tipi, lalu kembali meringis. “Yak! Jev, sepertinya Naya tidak mungkin untuk pergi melapor. Bagaimana kalau kau saja yang menggantikan Naya? Kau pernah melakukannya saat bekerja di Indonesia ‘kan?” celetuh Ervan tiba tiba. “Apa? Aku?” Jeva terkejut tentu saja. Ia melirik ke arah Naya, perempuan itu menatap memohon ke arahnya. Jeva terdiam sejenak untuk berfikir, selama bekerja di DoubleU ia belum pernah bertemu dengan CEOnya, jadi Jeva bingung bagaimana harus bersikap nantinya. Tapi melihat Naya yang tengah kesakitaa, ya apa boleh buat. Terpaksa ia yang harus pergi. “Huft.” Perempuan itu menghela nafasnya pelan. “Baiklah, aku saja yang pergi,” ujarnya kemudian. “Yeay! Thankyou, Jev!” seru Naya berterimakasih. I Jeva hanya tersenyum lalu menyiapkan dokumen dan laporan yang akan dia bawa ke ruangan presdir. Elsa pasti akan histeris saat dia tahu kalau Jeva akan ke ruangan pria yang menjadi idolanya di perusahaan ini. Setelah semuanya siap, Jeva keluar dari ruangan divisi lalu menelusuri lorong sebelum kemudian berbelok ke kiri. Ia masuk ke dalam lift dan lift bergerak ke atas menuju lantai paling atas gedung ini. Di lain sisi, seorang pria yang baru saja menginjakkan kakinya di Negeri Gingseng Korea juga sedang menuju Gedung DoubleU. Pria itu memakai kacamata hitam yang sebelumnya menggantung di kerah bajunya. Ia tersenyum lebar menyambut bumi yang ia pijak saat ini. Lalu berjalan menuju mobil yang sudah ia di antarkan oleh supir keluarganya. “I can’t wait to see you, My Brother,” gumam pria itu setelah berada di dala mobil dan mobil melaju kencang menuju Seoul, gedung perusahaan dimana saudaranya berada. Mobil sport miliknya melesat melewati jalanan Korea dari Bandara Incheon. Menyalip beberapa mobil sekaligus, melaju dengan kecepatan masih di batas normal. Tak butuh waktu lama sampai ia tiba di gedung pencakar lagit berlantai 57 tu. Pria itu parkir di depan gedung, lalu keluar dan berjalan masuk ke dalam gedung. Semua orang menatap pria itu kaget, mereka tersenyum lalu membungkuk hormat. Bahkan ada beberapa orang yang menayapa dirinya. Pria itu mengabaikan semua orang dan berjalan menuju lift khusus direksi. Ia tersenyum lebar kepada semua orang yang masih menatapnya tak percaya. Lift menutup setelah pria itu menekan tombol 57. Tok! Tok! Jeva mengetuk pintu di hadapannya dengan pelan, lalu mulai membukanya setelah mendapat jawaban dari dalam ruangan. Perempuan itu masuk ke dalam dengan menunduk sopa, ia juga menutup pintu denga perlahan. Lau saat berbalik, atasannya tengah duduk di singgasananya tenagh menatap dinding kaca yang memperlihatkan kota Seoul dari ketinggian. Perlahan dengan pasti kursi tersebut bergerak memutar hingga keduanya saling berhadap hadapan. Jeva menatap kaget pria yang duduk di hadapannya saat ini. Tubuhnya terasa kaku dan sulit bergerak, dokumen yang ia bawa jatuh begitu saja ke lantai ruangan. Nafasnya terasa sesak hingga ia nyaris kesulitan bernafas. “Daska,” gumam Jeva pelan. Pria yang duduk di singgasananya menatap perempuan yang berdiri di hadapannya dengan sorot bingung. Apalagi saat melihat ekspresi terjejut di wajah perempuan itu. Ia lalu berdiri untuk menghampirinya, namun pintu menjplak terbuka dan seorang pria masuk ke dalam ruangan tersebut. “Hai, Brother!” sapa pria itu yang masih di ambang pintu. Jeva berbalik badan lantaran bunyi keras di belakangnya, ia kembali dibuat terkejut saat melihat wajah pria yang berdiri di hadapannya saat ini. Ia sampai kehilangan kata katanya karena saking terkejutnya. Ia menoleh ke arah atasannya lalu pria di abang pintu, begitu seterusnya sampai beberapa kali. Ia tak mempercayai dengan apa yang ia lihat saat ini, semuanya terasa tidak masuk akal. Tidak mungkin orang yang ia kenal ada dua. Kecuali kalau..... “Kalian berdua kembar?” gumam Jeva kemudian. ha
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN