11. Kenapa Harus Sekarang?

1359 Kata
“Hehm.” Daska mengangguk. “Aku ingin menyibukkan diri dengan bekerja...” “Bekerja di sini?” Prasta menaikkan alisnya, terdengar ragu dengan ucapan Daska barusan. Mengingat hampir selama 3 tahun ini, pria itu hanya suka bermain perempuan tanpa serius bekerja. “Hehm.” Daska mengangguk. “Aku ingin menyibukkan diri dengan bekerja...” “Dan bermain perempuan,” potong Prasta tersenyum geli. “Yak! Kenapa kau selalu mengkaitkan aku dengan para perempuan!” oceh Daska tidak terima. “Kali ini aku serius ingin bekerja. 3 tahun hanya bersenang senang membuatku bosan,” imbuhnya dengan nada serius. “Setidaknya kalau suatu saat nanti Papa mendepakku dari kartu keluarga, aku masih punya penghasilan sendiri,” kekehnya pelan. “Cih, kau tidak sadar kalau Papa sudah mendepakmu dari dulu,” oceh Prasta tersenyum mengejek. “Sudahlah, aku akan kembali bekerja. Kau lakukan apapun sesukamu asalkan tidak menggoda para pegawaiku,” ujarnya Prasta kemudian kembali ke kursinya. “Bagaimana dengan pekerjaanku?” tanya Daska karena Prasta tak menanggapi rencananya. “Aku akan menyuruh sekretarisku untuk mengurusnya,” sahut Prasta tanpa menoleh ke arah Daska, pria itu sibuk memeriksa laporan yang tadi diberikan oleh Jeva. “Baiklah.” Daska mengangguk puas. “Aku akan menunggumu di sini.” Pria itu berjalan kembali ke arah sofa, membaringkan tubuhnya di sofa panjang. “Aku ingin makan siang bersama,” celoteh Daska tiduran di atas sofa. Lagipula badannya cukup lelah setelah melakukan perjalanan jauh Paris-Korea. Prasta melirik saudaranya sekilas lalu kembali bekerja. Mengecek laporan keuangan yang tadi dibawa oleh pegawai baru DoubleU. Ia memeriksa laporan keuangan dengan seksama. Secara terperinci dan tidak melewatkan detail yang kurang. Ia mengernyitkan keningnya saat menyadari bahwa laporan ini tidak sama seperti laporan yang biasanya. Tangan pria itu segera menekan tombol interkom dan meminta asisrennya untuk menyambungkan dengan bagian keuangan. “Halo, Nay, laporan yang aku minta pagi ini, apa bukan kau yang mengerjakannya?” tanya Prasta begitu panggilan tersambung dengan Naya bagian dari Keuangan. “Bukan, Pak. Semenjak ada pegawai baru, laporan tersebut akan dikerjakan oleh pegawai baru. Pak Kim sendiri yang memintanya beberapa hari yang lalu,” jawab Nayara dari ujung telfon. “Jadi yang mengerjakan laporan ini, Jeva?” tanya Prasta kemudian. “Iya, benar, Pak,” sahut Naya. “Kenapa, Pak, ada laporan yang salah?” tanyanya kemudian. “Oh, tidak. Tidak ada. Ya sudah, silahkan kembali bekerja.” Prasta mengakhiri pembicaraannya dengan Naya. Pria itu menatap laporan di hadapannya, menilai kinerja dari pegawa baru di kantornya. Terperinci dan lebih teratur, laporan yang jelas dan mudah dipahami. Dalam hati, Prasta semakin kagum dengan perempuan bernama Jeva itu. “Kenapa kau membuatku semakin tertarik untuk mendekatimu, Jev?” gumam Prasta pelan. “Hah? Kau bicara apa, Pras?” tanya Daska yang tengah tiduran sembari bermain ponsel. “Tidak ada, kau lanjutkan saja urusanmu sendiri,” jawab Prasta tak acuh. ***** Jeva mencengkeram baju yang ia pakai saat ini dengan sangat erat. Ia duduk gelisah di dalam kamar mandi. Ia menggigir bibirnya untuk menahan isakan yang nyaris keluar dari mulutnya. Kejadian tadi benar benar menguncang jiwanya. Ia tak pernah menyangka akan bertemu dengan Daska dan bahkan pria lain yang memiliki wajah yang sama seperti pria itu. Setelah 3 tahun berkubang pada pelarian, lalu kenapa sekarang mereka dipertemukan. “Kenapa harus sekarang?” gumam Jeva pelan. "Kenapa kita dipertemukan lagi? Kenapa aku harus mengalami rasa sakit itu lagi." Jeva semakin mencengkeram dadanya. Perempuan itu menutup wajahnya dengan tangan. Menangis tanpa suara. Hatinya yang dulu terluka kini mengeluarkan darah lagi. Luka yang mulai menutup kini menganga lagi. Ia menekan dadanya yang terasa sesak. Kesedihan yang selama 3 tahun ini coba ia lupakan, kini merasuk lagi ke dalam hatinya. “Apa yang harus aku lakukan sekarang?” bisik Jeva pelan. "Bagaimana aku menghadapi Daska dan bahkan Prasta?" Setelah hari ini, Jeva yakin kalau hidup tenangnya tidak akan kembali. Hidupnya akan berubah total. Semuanya tak akan lagi sama. Mungkin ini memang cara takdir untuk menyelesaikan kisah di masa lalu. Dimana kisah tragis yang dulu memang belum pernah di selesaikan. Jeva meneguhkan hatinya, lalu keluar dari dalam kamar mandi setelah memastikan penampilannya sudah cukup baik. Meskipun ia tidak yakin kalau orang orang tidak akan melihat matanya yang memerah setelah menangis. Perempuan itu menatap kaca di hadapannya, ia membasuh wajahnya dengan iar dingin. Jeva dapat melihat wajahnya yang terlihat kusut. “Jev, kau tidak apa apa?” tanya Elsa yang baru masuk ke dalam kamar mandi dan melihat Jeva terlihat kusut. Jeva memang menggunakan kamar mandi di lantai 37. Ia menoleh ke arah Elsa lalu tersenyum tipis. “Tidak apa apa, aku hanya merasa tidak enak badan,” ujarnya kemudian. “Benar, tidak apa apa?” tanya Elsa masih tak yakin. Ia dapat melihat kedua mata Jeva memerah seperti baru menangis. "Kalau kau merasa tidak baik, aku akan mengantarmu ke klinik," tawarnya kemudian. “Iya, El, aku sungguh baik baik saja. Kau tidak perlu khawatir.” Jeva berusaha menenangkan sahabatnya itu. “Oke.” Elsa mengangguk mengiyakan, walaupun sebenarnya ia yakin kalau sesuatu telah terjadi pada perempuan itu. Jeva tidak mungkin menangis jika tidak ada apa apa. Apalagi saat ini masih di kantor. “Aku duluan ya. Ervan akan mengomel kalau aku terlalu lama keluar,” oceh Jeva mencoba tersenyum. “Hehm.” Elsa tersenyum tipis ke arah Jeva. Jeva keluar dari kamar mandi lalu kembali ke ruangan divisinya. Ia mengatakan kepada Naya bahwa Pak Pras ingin mengecek laporannya saja. Ia lalu duduk di meja kubikelnya, mencoba fokus pada pekerjaaannya dan tidak memikirkan kejadian tadi di ruangan presdir DoubleU. Namun usaha Jeva sia sia saja. Sampai waktunya mereka makan siang, ia sama sekali tidak bisa fokus pada pekerjaannya. Ia hanya melamun dan memikirkan tentang kejadian yang tadi. Semua pekerjaannya menjadi berantakan karena dia tidak fokus. “Jev! Ayo makan siang!” ajak Ervan dan Naya pada Jeva. Jeva menoleh ke arah mereka berdua. “Kalian duluan saja. Nanti aku menyusul,” ujarnya kemudian. “Ya sudah, kita duluan.” Naya dan juga Ervan berlalu pergi. Jeva mengusap usap wajahnya dengan kasar. Untung saja pekerjaannya hari ini bukan tidak begitu penting sehingga ia harus mengerjakannya hari ini. Ia menyimpan file pekerjaannya ke dalam fd supaya nanti di rumah dia bisa melanjutkannya. “Jeje! Ayo kita ke kantin!” seru Elsa muncul di ruangan divisi keuangan. Perempuan itu mengintip di pintu masuk, menengok ke dalam mencari keberadaan Jeva. Jeva melihat kedatangan temannya itu lalu beranjak berdiri. Ia menghampiri Elsa dan mereka menuju ke kantin bersama di lantai 50. ***** “Kapan kau akan selesai bekerja?” tanya Daska untuk yang ke sekian kalinya. Pria itu bertingkah layaknya anak kecil apdahal usianya sudah lebih dari 30 tahun. Prasta tak mengacuhkan ucapan dari Daska. Ia tetap fokus pada pekerjaannya. Ia mengaaikan Daska begitu saja dan malah menelfon asistennya. “Jes, tolong atur ulang jadwal wawancara dengan calon sekretarisku menjadi besok. Aku ingin segera mendapatkan sekretaris dan kau bisa kembali bekerja pada bagianmu,” ujar Prasta kepada Jesi, asistennya. Prasta menekan tombol interkom dan panggilan terputus. “Kau sudah selesai?” tanya Daska lagi saat melihat Prasta merapikan beberapa berkas di mejanya. “Ck, kau sangat menggangguku makannya aku tidak bisa fokus bekerja,” cibir Prasta. “Lapar membuatku menjadi sangat menyebalkan,” balas Daska terkekeh pelan. “Nah, itu kau tahu.” Prasta mendumel. “Bagaimana bisa aku mempercayaimu untuk menjadi kepala divisi keuangan kalau tingkahmu seperti ini? Aku bahkan tidak yakin kalau aku akan bekerja setiap hari. Kau pasti akan terus membolos dan bersen—” “Ya, ya, ya. Hentikan omelanmu dan ayo kita makan siang. Aku sudah sangat lapar!” Daska segera menarik lengan Prasta dan mengajaknya keluar ruangan. “Semua pegawai di sini pasti menggila melihat kita berdua bersama sama,” ujar Prasta saat mereka sudah ada di dalam lift. “Itu pasti. Saat tadi pagi saja mereka menghormatiku layaknya aku ini adalah kau,” celoteh Daska. Ting! Lift berdenting dan mereka sampai di lantai 50. Sebelum mereka masuk ke area kantin, Prasta sempat melihat perempuan yang tadi pagi di ruangannya. Perempuan itu masuk ke kantin bersama dengan pegawai lain. Prasta berdiri diam mengamati perempuan itu, lalu Daska menegurnya karena tidak segera masuk ke dalam kantin. “Ayo!” ajak Prasta setelah lamunannya buyar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN