Kaki Carlo melangkah perlahan tanpa memalingkan pandangannya dari Mega, yang kemudian mendapat tatapan takjub dari para pelayan. Mereka berpikir akhirnya tuannya bisa akur dan menghargai sang istri. Bisik - bisik mulai berdengung hingga Mang Asep turun tangan membungkap komentar para pelayan yang lain dengan menaruh telunjuknya di depan bibirnya.
Mereka yang tersadar jika diawasi kepala pelayan dan orang kepercayaan Carlo langsung diam dan kembali bekerja. Maklum saja, baru kali ini tidak ada teriakan atau hinaan yang terlontar dari Carlo.
Namun yang menjadi obyek dari perhatian para pelayan justru memperhatikan seseorang yang ada di pelukannya. Kehangantan tubuh Mega bersama kelembutan istrinya, membawa sesuatu yang asing di hatinya.
'Inikah yang aku lewatkan selama ini? Betapa lembut tubuhnya, kurus dan rapuh. '
Carlo baru merasakan kenyamanan yang belum pernah ia rasakan. Sesuatu yang ia cari untuk mengisi dan menenangkannya kala kekosongan di hatinya mendera. Carlo tidak menyangka jika ternyata perasaan yang ia cari bisa didapatkan saat menggendong sang istri. Ia merasa nyaman dan terlindungi.
"Sudah, turunkan aku di sini, " ucap Mega begitu sampai di depan kamarnya. Dia tidak tahan dengan rasa nyeri di hatinya saat digendong Carlo.
Lagi pula tidak boleh ada gerak - gerik keengganan pada dirinya untuk berpisah. Jadi Mega berniat mengatakan jika Carlo tidak perlu menggendongnya lagi. Sebab menurut Ian, pria seperti Carlo akan menjauhi gadis yang tergila- gila padanya, bahkan memandang jijik. Jadi Mega harus bersikap seolah tidak sabar ingin berpisah.
"Ini terakhir kali. Tidak usah menggendongku lagi," lirih Mega.
"Tapi..."
"Jangan khawatir, aku tidak akan mengaitkan Monica dalam perceraian kita. Permisi." Mega mulai bersikap seperti orang asing. Menimbulkan rasa nyeri di sudut hatinya yang sulit dijelaskan. Ingin sekali Carlo mengatakan jika dia masih ingin tetap menggendong Mega. Jika bisa ingin menemaninya seharian ini.
"Aku---"
Blam.
Pintu yang tertutup di depan hidung Carlo seolah menandakan jika pintu hati Mega juga tertutup. Itulah yang dirasakan Carlo akibat rasa bersalahnya. Sama sekali tidak melihat bagian kerinduan di mata Mega yang tertutup kabut kesedihan.
Dengan langkah gontai, Carlo meninggalkan depan pintu kamar Mega. Kamar dimana saat malam pertama mereka, ia tidak sabar untuk memberi penghinaan terburuk pada istrinya. Dan kini kakinya justru seolah dipaku di lantai karena keengganannya meninggalkan Mega. Hatinya terus dicakar oleh nuraninya untuk berbicara pada Mega. Meminta maafnya dan memperbaiki hubungan menyakitkan yang ia ciptakan. Sayangnya ia tahu jika sudah sangat terlambat.
Keesokan harinya.
Megan berangkat tanpa sarapan terlebih dahulu. Dia mengambil tas dan menuruni tangga dengan suasana hati yang riang sehingga membawa tanda tanya pada Carlo. Dia pun mencoba memulai percakapan dengan Mega.
"Mega kau tidak sarapan terlebih dahulu?" tanya Carlo.
Mega yang melewati meja makan hanya berhenti sejenak dan menjawab dengan dingin. "Tidak usah sok perhatian Carlo. "
Akan tetapi reaksi Mega sangat berbeda begitu bibi Eli datang dari dapur dan menyapanya ketika menaruh sarapan di depan meja Carlo, Mega justru menjawab dengan ramah.
"Non tidak sarapan dulu?" tanya Bi Eli.
"Enggak, Bi. Hari ini aku mulai kerja. Jadi takut terlambat."
Mata Carlo membola, dia tidak menyangka jika kemarin Mega meninggalkan rumah karena bekerja. Carlo jadi berpikir kemungkinan Mega kekurangan uang. Maklum saja dia tidak pernah memberi nafkah padanya selama ini. Rasa bersalah kembali menghantui Carlo atas apa yang ia lakukan. Padahal dia yang menyuruh Mega berhenti bekerja tapi dia justru tidak memberinya uang sepeserpun.
Carlo mengesampingkan rasa bersalahnya dan bertanya pada Mega meski sadar tidak akan mendapatkan jawaban yang bagus.
"Kenapa kau bekerja, Mega. Aku bisa menanggung biaya---"
"Maaf tuan, aku tidak ingin dianggap pengemis yang gila harta lagi. Aku masih bisa bekerja dan mendapatkan hasil dengan upayaku sendiri. Permisi."
Carlo pun bungkam. Dia tidak tahu lagi bagaimana cara meminta maaf. Akhirnya Carlo hanya menatap kepergian Mega tanpa bisa berbuat apapun.
Mega datang ke kantor dengan semangat baru. Ia seolah menemukan suatu keajaiban karena memiliki Ian Neeman Atmadja sebagai sekutunya. Memenangkan Carlo dari Monica dengan bantuan Ian bukanlah kejadian biasa. Peluangnya seakan melebar dengan sendirinya. Rasa serakah ingin memiliki suaminya pun menelusup di hati berkat tawaran Ian.
Mega mengetuk pintu kantor Ian setelah diantar Grace.
Tok.
Tok.
"Masuk."
Rupanya Ian sudah datang padahal hari masih pagi. Dia pun melangkah masuk dan menutup pintu.
"A- aku datang."
Ian yang tadinya berfokus pada laptop melirik Mega. Di luar dugaan, penampilan Mega yang meski tertutup, justru tidak bisa menyembunyikan lekukan bohainya.
'Aku salut pada Carlo yang belum menyentuh Mega padahal gadis itu dianugerahi tubuh yang menakjubkan.'
"Sini mendekatlah..." perintah Ian.
Mega tanpa protes melangkah ke arah Ian. Tanpa basa basi, pria itu menarik Mega sampai terduduk di pengakuannya.
"Kita bicarakan proyek iklan dengan posisi ini."
"Tapi bagaimana jika ada yang melihat?" tanya Mega salah tingkah.
"Justru itu. Aku ingin gosip itu berhembus sampai ke telinga Carlo."
"Kau yakin akan berhasil? " tanya Megan.
"Tidak seratus persen, tapi ego seorang pria tidak akan tahan jika sesuatu yang menjadi miliknya diambil pria lain. Orang seperti kami tidak rela dikalahkan jika miliknya diambil pria lain meski kami tidak menginginkannya lagi. "
Rasa kesal menjalar di hati Mega. "Seegois itukah? "
"Tidak boleh ada kata kalah dalam diri pria pebisnis seperti kami. "
Mega mencoba memantapkan diri sebelum menyetujuinya. "Aku akan mencobanya. Setelah dipikir - pikir aku memang perlu mencobanya. "
"Keputusan yang berani, aku suka gadis berani. Jika demikian kau harus melatih diri dan ini awalnya. "
Pujian Ian tanpa sadar membuat Mega merona. Dia segera memalingkan wajah karena tidak ingin Ian tahu perasaan malu yang timbul pada diri Mega hanya karena sebuah pujian. Seperti inilah Mega, karena terlalu kenyang dengan hinaan Carlo, dia bereaksi berlebihan dengan sedikit pujian.
Tangan Ian kembali menarik Megan untuk lebih mendekat. Menempelkan tubuh gadis itu pada dirinya sehingga Megan mampu mencium aroma rempah-rempah lezat pada diri Ian.
"Sekarang cium aku. "
"Hah?! "
Jelas Mega terkejut, tapi Ian menghentikan protes yang hendak ia keluarkan. Sebuah alasan logis menutup perdebatan yang akan Mega keluarkan.
"Jika kau ingin terlihat sempurna maka kau harus berlatih. Carlo bukan orang bodoh yang pandai dikelabui. Itu salah satu yang membuatnya menjadi pengusaha multibillioner. "
Mega jelas tidak bisa menolak opsi itu. Gadis itu menatap bibir tipis seksi Ian dan tanpa sadar dirinya menjilat bibirnya sendiri.
Ciuman pun terjadi. Sungguh mengejutkan mendapati jika Ian memiliki bibir yang sangat lembut. Mega menyukainya dan mulai terhanyut, tapi masih cukup waras untuk bisa berhenti.
"Cukup," ucap Mega. Dia kini mulai bingung untuk membedakan yang benar dan salah. Padahal dia ingin berbuat sesuatu agar Carlo meliriknya tapi yang terjadi justru ia seperti sedang selingkuh.
"Kerja bagus. Ini artinya kau boleh menjalankan rencana kita. "
Mega mengangguk. Dia bahkan masih keadaan linglung dan tubuhnya hanya bereaksi secara naluriah karena jiwa Mega belum sepenuhnya pulih.
"Ya, yah. "
Tarikan nafas panjang dilakukan Mega setelah mati-matian memulihkan diri dari serangan feromon Ian. Butuh tekad yang kuat agar tetap waras dan tidak mencium Ian sekali lagi dan menjalarkan jari- jarinya di surai gelap Ian.
"Aku akan pergi sekarang. "
"Ya, kau bisa datang esok hari. Selama menjalankan rencana, kau bisa melakukan tugasmu dengan tim kreatif di sini. "
"Baiklah. Terdengar bagus untukku. Dan bagaimana dengan pakaian yang aku rancang untuk model iklan? Apa itu sesuai? "
"Ayo kita diskusikan dari sudut pandang konsumen dan pria."
Mega mengangguk. Selama ini dia memang memandang pakaian dengan sudut pandang wanita, dan jarang mempertimbangkan sudut pandang wanita. Dia pun memperhatikan dengan seksama uraian yang Ian ucapkan. Lalu mencatatnya di memo agar ia jadikan inspirasi. Sejujurnya hal itu tidak mudah. Serangan ketampanan Ian justru semakin besar kala pria itu dalam mode serius.
Usai berdiskusi dengan Ian, Mega pulang ke rumah. Rupanya Mega harus kembali memasang senyum malaikat yang tidak terluka karena di Mansion, Carlo sedang berbincang dengan Monica, secara intim.
Kau sudah pulang? " Carlo menyambut kedatangan Mega dengan senyum lebar seperti yang ditunjukkan pria pada temannya.
Mega mengangguk.
"Hai, kurasa aku harus pergi, tadi aku hanya ingin mampir. "
"Kau yakin tidak ingin makan siang di sini. Suatu keajaiban melihat Carl tidak ke kantornya di jam segini. "
"Tidak, tidak. Acaraku akan dimulai setengah jam lagi dan aku harus sampai di studio. "
"Baiklah. Hati-hati di jalan. "
Rupanya Carlo tidak memiliki topik untuk berbicara saat dua gadis itu berbincang dengan normal. Carlo semakin merasa bersalah melihat betapa baiknya Mega karena tidak berusaha menyalahkan Monica.
"Mega---'' Mega menoleh pada Carlo. Sikapnya yang tadi pagi sangat dingin berubah seratus delapan puluh derajat saat ini. Dia mengembangkan senyum indah yang menyihir Carlo. Hanya saja ucapan Mega selanjutnya sukses melempar Carlo ke dalam lumpur.
"Apa kau sudah menyiapkan surat perceraian Carlo? Jika bisa tolong dipercepat. "
Carlo mengernyit heran, ini tidak sesuai dengan kesepakatan tadi.
"Kenapa kau terburu-buru. Bukankah kita sepakat jika bersama selama beberapa bulan agar Monica tidak terkena imbas gosip perceraian kita?"
"Jika kau mau, aku bisa menanggung semua dosa. Biarkan masyarakat luas tau jika akulah yang bersalah. "
Carlo semakin tidak mengerti dengan sikap Mega. Dia pun bertanya langsung pada Mega apa yang ia maksud.
"Mengapa kau berubah Mega. Apa ada yang mengganjal hatimu. "
Mega tersenyum lembut, matanya turut menerawang seolah membayangkan seorang pria.
"Yah, aku ingin kita segera berpisah. Kau benar, cinta pasti menemukan caranya untuk kembali ke cinta sejati. Sepertinya aku sedang menemukan pelabuhan cintaku saat ini Carl. "
"Mega... "
"Aku serasa tidak sanggup berjauhan dengannya. Kumohon Carl, percepat surat perceraian kita. "
Ada perasaan yang tidak bisa dijelaskan dari diri Carl ketika Mega menceritakan perasaannya. Melihat istrinya yang seksi mengaku sedang jatuh cinta--- bukanlah hal menyenangkan.
"Mega, kau---jatuh cinta dengan seseorang? "
;"Yah, sudah lama aku tidak merasakan hal ini. Sungguh mengejutkan mendapati dia tersenyum padaku, aku terjerat dengannya dengan begitu mudah. ''
"Cukup!'' bentak Carlo.
Mega hampir terkejut mendengar suara Carlo yang naik beberapa oktaf.
"Maksudku, kau pasti lelah. Istirahat dan turunlah untuk makan. "
Carlo merutuki dirinya yang hampir menunjukkan jika sedang cemburu. Dia sendiri juga terkejut jika sudah berbicara keras seperti tadi.
"Kau benar. Aku akan ke atas. "
Mega berpura -pura bernyanyi kecil untuk mengekspresikan jika sedang jatuh cinta. Padaha ia mencoba sekuat tenaga mengatasi rasa sakit karena kehadiran Monica.
****
Di pihak lain, lebih tepatnya di Gold Emires, Ian tersenyum senang karena berhasil membuat Mega menyetujui sarannya. Ia sudah memperkirakan jika Mega akan menerima karena tahu perasaan Mega terhadap Carlo begitu besar. Oleh karena itu Ian memanfaatkan perasaan gadis itu untuk mendekatinya.
Sebenarnya Ian tidak tertarik sama sekali dengan Monica, justru yang ia inginkan sebenarnya adalah Mega. Istri temannya yang sudah menarik perhatian Ian sejak pertama kali bertemu. Ian tidak terlalu tertarik dengan Monica yang bersikap polos dan lembut. Lalu berubah ceria ketika membawakan acara tv. Ternyata Monica juga berubah menjadi liar ketika di Las Vegas. Satu hal yang Ian tarik dari semua sikap Monica, yaitu gadis itu palsu.
"Kau masih polos, berbanding terbalik dengan tubuhmu yang menarik orang untuk berbuat dosa. "
Ian berhenti mengerjakan pekerjaannya. Dia lebih memilih menikmati pemandangan dari kantornya. Dengan tangan kiri yang menyangga dagu, dan tangan kanan yang memutar wine--- Ian nampak seperti predator yang mengawasi mangsa.
"Hari-hari kedepan, aku tidak perlu lagi mengarang alasan untuk bertemu denganmu, Mega. Karena kau sendiri yang mendatangiku. "
Memang selama ini Ian mengunjungi rumah Carlo untuk bertemu dengan Mega. Sebut dirinya b******n karena menyukai istri temannya, tapi hati tidak mampu memilih dengan siapa hati dia berlabuh. Demi persahabatan, Ian tidak sedikit pun mencoba merebut Mega dari Carlo. Terlebih sorot mata memuja gadis itu pada sang suami.
Namun semua berubah ketika Ian mendengar dari Gerald jika Carlo hanya memanfaatkan Mega sebagai tameng agar tidak ditekan keluarganya. Tidak hanya di situ, Carlo siap menceraikan Mega jika Monica kembali dari luar negeri dan siap menikah. Saat itu Carlo merencanakan untuk membuat hidup Mega seperti di neraka agar gadis itu sendiri yang meminta cerai. Jelas kompensasi perceraian sebabnya.
Setelah mendengar itu, Ian merasa sangat marah dan ingin menghajar b******n itu. Namun itu bukan penyelesaian masalah. Ian memikirkan cara lain agar Mega melupakan Carlo dan mencintai dirinya.
Tbc.