Kerja Sama

1633 Kata
Tampan, berpostur sempurna, pekerja keras, tidak terlibat dengan wanita manapun dan memiliki sebuah kerajaan ekonomi sendiri yang menancap di jajaran Internasional. Semua itu membuat Ian Neeman Atmadja berhak menyandang kategori pria yang sempurna. Label yang sulit didapatkan pria kebanyakan karena biasanya ada salah satu yang tidak kebanyakan mereka miliki. Selain itu Ian bukan pria yang mudah jatuh cinta dan tertarik dengan wanita. Budaya Timur dan Barat yang mengalir di tubuhnya membuatnya tidak mudah tertarik dengan siapapun karena dia juga menginginkan wanita yang cerdas, bertubuh indah, cerdas, mandiri, dan yang pasti tidak bergaya hidup bebas. Sesuatu yang tidak dimiliki wanita barat pada umumnya karena mereka mengutamakan kebebasan seksual jika berkomitmen menjalin hubungan dengan pria meski belum menikah. Yang mana budaya itu juga merambah ke budaya Timur yang sekarang mengikuti kebebasan kaum Barat. Alhasil Ian kesulitan menemukan wanita yang masuk dalam kriterianya. Anehnya dia justru tertarik pada Mega yang merupakan wanita yang sudah menikah. Mungkin ini adalah karmanya akibat menjadi pria yang pemilih. Sehingga membuatnya menggunakan cara licik untuk mendapatkan Mega, yaitu berpura - pura mengajak mega bekerja sama membantu Mega mendapatkan Carlo dan dirinya mendapatkan Monica-- padahal tujuan utama Ian adalah mendapatkan Mega. Tok. Tok. Steven sang assisten sekaligus sekertaris Ian muncul dari balik pintu. Memang tidak biasanya seorang CEO sepertinya memilih pria untuk menjadi sekertaris akan tetapi karena mayoritas wanita yang menjadi sekertarisnya kebanyakan merayu Ian maka ia tidak lagi berminat memperkerjalan wanita sebagai sekertaris. "Tuan, hari ini anda ada acara dalam pembukaan proyek Mega Mall pukul sepuluh. Meeting bersama para pemegang saham pukul dua belas. Dilanjutkan dengan undangan pesta dari tuan Perdana." Ian mengangguk tanda memgerti. Mungkin hari- harinya akan menjadi lebih baik jika Mega ada di sisinya. "Apa kau tahu daftar undangan pesta itu?" Steven yang sudah ikut belasan tahun dengan Ian bisa menebak jalan pikiran bosnya itu. "Tuan Carlo Kusuma juga diundang," jawab Steven. Ian mendengus melihat jawaban langsung dari Steven tapi itulah dia, Steven tidak suka berbasa basi dan selalu to the point tanpa membuang waktu. Dan Ian sering terbantu dengan sifat tanggap Steven. *** Pembahasan antara Mega dan Carlo masih menyisakan lingkup tidak nyaman pada hati Carlo. Dia bahkan merasa jika suasana mansion mendadak hening seiring suasana hatinya yang kebingungan akan pernyataan Mega. Padahal yang Mega tawarkan akan menjadi jalan keluar hubungannya dengan Monica. Biar aku yang menanggung tanggung jawab sebagai wanita yang berselingkuh. Aku menemukan pria lain. Aku jatuh cinta. Carlo merasa tidak nyaman atas semua yang Mega ucapkan, tapi tidak bisa mencegahnya. Dia menyadari sikapnya begitu kejam, itu membuatnya harus menerima jika Mega akan menemukan pria lain. Carlo berusaha mengatakan pada dirinya jika merasa lega karena Mega menemukan pria lain. "Ya, seharusnya aku lega jadi aku dan Monica akan lembali bersama. " Walau jauh di sudut hatinya berkata laun, dia menyangkal jika sudah kehilangan dan hampa. Terlebih setelah tahu sifat Mega yang sesungguhnya, itu membuat Carlo lebih enggan lagi untuk berpisah dengan cara seperti ini. "Apa yang bisa aku lakukan untuk menebus kesalahanku?" guman Carlo. Kesalahapahaman keji yang membuatnya bersikap kejam dan tidak manusiawi. Pikirannya pun mengatakan untuk memberi Mega kompensasi. Carlo berpikir jika Mega juga harus menikmati kekayaan sebagai nyonya Kusuma terlebih dahulu. Dia ingin menebus sikap jahatnya karena berprasangka buruk. "Ide bagus. Aku akan memberi sahamku padanya. Itu akan meringankan rasa bersalahku." Di taman mansionnya, Carlos menghabiskan waktu mondar- mandir untuk memikirkan bagaimana menyampaikan niatannya pada Mega. Sesekali dia melirik jam dinding, sebab dari tadi dia menunggu jam makan siang. Hanya itu satu- satunya alasan agar dirinya bisa berbincang dengan Mega tanpa bertindak sok perhatian. Teng. Jam sudah menunjukkan jam makan siang. Carlo tersenyum lebar karena waktu yang ditunggu sudah tiba. Tanpa menunggu lama ia segera masuk ke dalam ruangan. "Makan siang sudah siap Tuan," ucap Mang Asep. Bibi Eli juga menata sajian makanan lalu pamit ke dapur. Carlo duduk di kursi meja makan, menunggu Mega turun dari kamar untuk makan siang. 'Lebih baik aku akan mengundangnya untuk makan siang. ' Carlo naik ke lantai satu untuk mengundang Mega. Dia berhenti di depan pintu kamar. Sungguh mengejutkan mendapati dirinya gerogi hanya karena ingin memulai bicara pada Mega. Padahal ia tidak pernah mengalami hal ini sebelumnya. Tok. Tok. "Mega, makan siang sudah siap. " Carlo bahkan memanggil Mega untuk makan siang dengan nada agak kecil. Padahal dulu ia memandang Mega seperti orang yang pekerjaannya hanya bisa makan. Tak jarang Carlo menatap Mega yang makan seolah memberi makan pada pengangguran tak berguna. Hingga membuat Mega tidak pernah lagi makan semeja dengan Carlo. "Baik, aku datang... " Suara Mega terdengar dari dalam kamar. "Aku akan menunggumu di meja makan. " "Ya. " Carlos mendesah kecewa, padahal ia berharap Mega mengundangnya masuk ke kamar. Jika itu terjadi maka Carlo bisa berbicara layaknya seperti teman. Sayang yang terjadi tidak sesuai espektasi- nya. Di dalam kamar, Megan sudah berpakaian santai dengan rok selutut dan atasan kaos sabrina yang lehernya tertutup. Ia sama sekali tidak peduli dengan penilaian Carlo yang dulu pernah bilang jika tidak suka melihatnya berpakaian tipis di sekitarnya. Dia ingin menikmati dirinya sendiri untuk pertama kalinya setelah dua tahun. Mega turun perlahan melewati tangga. Carlo yang menunggunya mendongak dan menemukan gadis yang ia abaikan dua tahun ini menyedot seluruh perhatiannya. Eksistensinya begitu nyata karena memancarkan aura segar yang menyenangkan. Bibirnya tanpa sadar berkedut tertular oleh sikap manis Mega. "Maaf membuatmu menunggu." Carlos mengibaskan tangannya. "Tidak masalah, gadis memang butuh waktu lama untuk berdandan. " "Bagaimana? Apa kau sudah mengatakan semua pada Monica, tentang perceraian dan kesepakatan kita? " Mega memulai perbincangan di tengah mereka menunggu sajian makan malam. Dengan menahan denyut nyeri di hati, dia mati-matian tersenyum pada Carlo. Namun inilah yang memang mereka sepakati. "Kurasa aku bisa menunda memberi tahunya. Apa lagi kita ada undangan pesta malam nanti. Jadi berdandanlah yang cantik." Deg. Sesaat Mega memucat mendengar kata pesta dan undangan makan malam. Dia jadi teringat kebrutalan hinaan Carlo di setiap ia berdandan untuk makan malam. 'Jangan takut, Mega. Semua sudah berlalu...,' batin Mega menenangkan dirinya. "Baiklah. Tapi kurasa kau harus memberitahunya, bisa saja dia mengira jika pernikahan kita bahagia dan dia menghilang." Pelayan menuju ke meja makan. Mereka menyiapkan soto ayam kampung yang masih hangat. Ini adalah makanan kesukaan Carlo. Namun tidak cukup sayur bagi Mega yang penggemar sayuran. "Nona, kau ingin gado - gado dari resep ibuku? " "Apakah kau membuatnya sendiri?" "Ya... " "Kalau begitu sajikan padaku Bi. Aku tidak sabar mencicipinya." Mega tersenyum ceria hanya karena makanan. Dia sebenarnya gadis yang tidak memiliki ambisi gelap yang tinggi. Kebahagiaan baginya sangat sederhana, tapi Carlo dan kecurigaannya tidak mampu melihat hal itu. "Kau tidak menyukai soto? " tanya Carlo. "Aku suka hanya saja aku tidak sedang ingin makan sayuran, bagiku soto tidak memenuhi porsi sayuran yang harus aku makan. " "Kau vegetarian? " tanya Carlo. "Oh tidak, tidak. Aku hanya tidak ingin makan daging dengan porsi berlebih. Aku lebih suka makan sayur berlebih. " Tanpa diduga perbincangan mereka berdua lancar. Untuk pertama kalinya Carlo dan Mega berbicara tanpa ada nada suara keras Carlo. Dengan demikian Mega nampak lebih hidup dan bersinar. Begitu Bi Eli datang, Mega menyerahkan biaya makanannya ke Eli. Selama dia tahun ini dia menyadari jika Carlo tidak suka melihatnya makan gratis. Alhasil Mega memberi uang makannya pada Eli. "Bi, ini uang makanku selama sebulan," ucap Mega. "Kenapa kau memberinya uang untuk makan. Aku tidak pernah---" "Maaf tuan Carlo. Aku tidak suka dipandang hina karena seolah makan makanan gratis." Deg. Memang itulah yang Carlo lakukan. Dia tak menyangka jika Mega menyadari arti tatapannya. Rasa panik menghujam Carlo. "Tidak, aku tidak pernah seperti itu. Ambil kembali uangmu," perintah Carlo putus asa. 'Ya Tuhan seberapa besar lagi dosaku,' batin Carlo menangis. "Tuan Carlo, aku ingin pindah dari sini. " Satu lagi pukulan dari Mega. "Apa?! Tapi kita belum bercerai... " tolak Carlo. "Jika demikian kau harus segera memberiku surat itu, aku ingin kekasihku datang ke tempatku dan menjadi pasangan normal. Aku rasa kau seharusnya melakukan hal yang sama denganku. " Carlo tidak bisa menjelaskan bagaimana perasaannya sekarang. Rasa marah dan kecewa membengkak di dadanya, tapi ia tidak bisa melampiaskan perasaan itu. Di samping itu dia baru saja menyesali sudah memberikan tatapan menghina hanya karena merasa Mega makan gratis. Entah iblis dari mana yang membuatnya menjadi sekejam itu. Akhirnya Carlo memulai kompromi dengan Mega. "Ka- kau boleh membawa kekasihmu, Mega. Tiga bulan lagi kita bercerai dan sebelum itu kau boleh membawa kekasihmu ke rumah. " "Kurasa itu bukan ide yang bagus Carl. Dia pasti tidak menyetujuinya. " "Tolong aku Mega. Ini demi Monica," lirih Carlo. Terkejut karena nama itu tiba- tiba keluar. Niat hati ingin memukul ego Carlo, yang terjadi dia justru yang terpukul. Seharusnya Mega tahu jika kompromi Carlo demi Monica. "Jadi kau akan memutuskan untuk berterus terang padanya? Kita bisa double date, " saran Mega. Matanya berbinar dengan wajah yang merona. Tidak diragukan lagi jika gadis itu sangat cantik. "Aku akan melakukannya. " "Itu bagus. " Mega seperti menangkap rasa ragu pada diri Carlo. Namun dia mengabaikannya karena tidak ingin memancing percakapan yang menyakiti hatinya sendiri. Mereka pun makan siang dengan tenang sambil sesekali mengobrol. Meski dalam obrolan ringan tersebut keduanya saling menyakiti namun keduanya juga berusaha tersenyum. Drrt. Drrt. Ian calling.... Mega segera mengambil telepon di meja dan menjawab panggilan. Dia bahkan lupa pamit pada Carlo karena terlalu antusias. Mega tidak menyadari jika raut Carlo berubah menjadi sendu. 'Mengapa aku merasa tidak rela Mega bersama pria lain? ' batin Carlo. Dia hanya bisa menelan semua yang ia rasakan dalam hati. Sudah sangat terlambat untuk menyesal saat ini. Dia sudah menyakiti Mega jadi dia tidak bisa menambah daftar wanita yang hatinya ia sakiti. Sebab ternyata rasa sakit akibat cinta itu begitu menyiksa dan ia baru saja merasakan hal itu. 'Andai saja aku tidak sebodoh ini dulu, ' batin Carlo. Tatapannya tidak bisa beralih ke tempat lain tapi masih terpaku pada Mega yang menjawab telepon sambil tersenyum. Sebuah senyum yang mungkin takkan lagi untuknya. Tbc.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN