Ribut menyebalkan, itu yang selalu ada di pikiran Mana. Meskipun mereka tidak ingin hubungan mereka di kantor, ketahuan, gaya lelaki itu membuatnya muak, terutama gaya sok dan sombongnya, membuat Mana menjadi tidak tahan. Meskipun Ribut tampan, dia tidak menyukai lelaki itu. Menurutnya, wajah tampan dengan minus kepribadian bukanlah lelaki idaman. Bagi Mana, Asfa, lelaki yang sangat lembut dalam bertutur dan bersikap adalah tipe idamannya, calon suami terbaik yang ingin dinikahi, menghabiskan banyak waktu dengan pria seperti itu adalah harapan Mana.
Walaupun, Asfa, adalah pamannya, dia tidak memiliki hubungan darah dengan ayahnya, sepupu Komala yang diangkat menjadi saudara oleh ornag tua Komala karena orang tuanya meninggal dunia akibat kecelakaan. Jadi, seharusnya, mereka bisa menikah. Masalahnya, semua tidak sesuai dengan keinginan dan harapannya, Mana dijodohkan dengan Ribut, atasan yang songong setengah mati itu, akan segera menjadi suaminya jika perjodohan paksa itu tidak suka diakhiri. Bagaimanapun, dia harus mencari cara agar perjodohannya dengan Ribut bisa diputuskan secara kekeluargaan. Keluarga Ribut dan Mana sangat dekat, sehingga meskipun tidak berjodoh, Mana tidak ingin hubungan ayahnya dengan Susi, ibunda Ribut, akan pudar atau hancur karena dia. Mana pasti akan sangat merasa bersalah jika hal itu terjadi. Ih, amit-amit.
“Mana.”
Panggilan itu membuat Mana segera mendongak, bangkit dari lamunannya dengan paksa, sehingga harus menyipitkan mata untuk tahu siapa yang memanggilnya.
“Na, Hari ini kita akan lembur,” ujar Ribut dengan santai.
“Hah? Kenapa, Pak? Bukannya perusahaan kita sedang tidak ada projek apapun?” Mana keheranan.
“Ada, baru saja deal. Jangan banyak membantah, kamu hanya sekretaris,” ujar Ribut sembari mengangkat satu sudut bibir, menunjukkan kesombongan akan kekuasaannya dalam menentukan keputusan membuat Mana meringis sebal. Suka atau tidak, dia harus mengiyakan, tidak ada yang bisa dilakukan, dia hanya bawahan. Di kantor, dia tidak bisa membantah Ribut, bisa dipecat nanti. Meskipun dia bisa saja mengadukan Ribut, itu tidak professional. Harga dirinya akan serasa diinjak-injak dengan kakinya sendiri jika melakukan hal tidak terpuji itu. Mana tidak mau.
“Baik, Pak.” Mana mengiyakan sembari membungkuk 45⁰ membuat Ribut berdecak pelan, tidak suka karena ejekannya tidak ditanggapi dengan serius. Padahal, dia berharap Mana akan memberikan perlawanan sengit untuknya. Namun, harapannya tidak sejalan dengan kenyataan.
“Membosankan,” dengusnya lalu masuk.
Mana hanya menghela napas lantas duduk di kursinya. Biasanya, dia tidak akan diam saja saat dipermainkan Ribut, tetapi hari ini, dia benar-benar lelah. Diketahui Asfa kalau dia dijemput Ribut pagi ini membuatnya tidak bersemangat. Asfa mungkin saja akan menganggapnya setuju dengan hal itu dan mungkin, tidak akan pernah membalas perasaannya. Mereka memang cukup dekat, tapi hanya sebatas keponakan dan paman saja. walau begitu, Mana tentu berharap lebih. Tidak ada yang bisa dilakukan untuk membuat Asfa menyukainya, tetapi terlihat dia sangat dekat, karena sampai dijemput segala oleh lelaki yang tidak pernah disukai olehnya, membuatnya sangat sebal, marah sampai tidak ingin melakukan apapun. Rasanya malas dan tidak berguna.
Mana mengerutkan kening saat Ribut memanggilnya. Padahal, lelaki itu baru saja masuk ke ruangan dan mengobrol dengannya. Atasan merepotkan, batin Mana lantas berdiri dan menghampiri Ribut di ruangannya.
“Permisi, Pak.” Mana berucap pelan lantas masuk dan mendekati Ribut yang sedang duduk di kursinya, berkutat dengan banyak kertas-kertas dan role model untuk presentasi.
“Mana, tolong copy-paste dokumen ini, rangkap 15, persiapan sebelum rapat siang ini,” perintahnya.
Mana hanya mengangguk, lantas mengambil dokumen yang dimaksud. Dia mengamati Ribut sangat fokus pada pekerjaannya, wajahnya sangat serius. Ini pertama kalinya Mana melihat Ribut bisa berwajah seperti itu, padahal selama ini, dia menganggap Ribut sebagai atasan yang sangat santai dan tidak pernah menganggap sesuatu secara serius.
“Untuk apa kamu di sana? Kamu dengar apa yang saya perintahkan?” Lelaki yang saat ini memakai kacamata itu heran melihat Mana tidak juga pergi.
“Baik, Pak. Saya permisi,” sahutnya lalu berbalik.
Sebelum meninggalkan ruangan Ribut, dia melihat lelaki atletis itu melonggarkan dasinya, sangat keren, entah sudah gila atau bagaimana, Mana beranggapan begitu untuk sesaat. Hanya sekilas saja, tidak lebih.
Mana melakukan apa yang Ribut perintahkan, lantas meletakkan dokumen yang dibutuhkan di ruang rapat, sekaligus menyiapkan segala hal untuk rapat nanti, termasuk air mineral dan minuman berkafein, untuk Ribut dan para staff. Rapat memang selalu berjalan lama, jadi dia berinisiatif mempersiapkan camilan kecil, seperti roti dan mari agar tidak ada yang kelaparan atau perutnya berbunyi saat rapat berlangsung nanti.
“Bagaimana persiapannya?” tanya Ribut begitu Mana sudah kembali ke ruangannya.
“Sudah beres, Pak. Tinggal menunggu para staff berkumpul saja, saya sudah menyampaikan pada mereka kalau Rapat akan berlangsung setelah makan siang,” terang Mana dengan formal dan sopan.
“Bagus, terima kasih.”
Mana terdiam, sangat terkejut karena Ribut mengatakan hal itu padanya. Ini sungguh di luar dugaan, bisa dianggap keajaiban. Mana sampai menggorek telinganya dengan jari kelingking untuk memastikan kalau dia tidak salah dengar.
“Kenapa? Kamu berpikir aku nggak akan bisa berterima kasih?” Ribut menatap Mana dengan jail. Dia sudah meninggalkan bahasa formal, padahal masih di kantor. Sungguh atasan yang kekanak-kanakan, Mana mengumpat dalam hati.
“Melihat ekspresimu, kamu pasti sedang ngedumel kan?” Tebakan tepat sasaran.
“Tidak, Pak. Bagaimana mungkin saya berani?” Mana menyangkal.
“Hah? Bagaimana mungkin kamu berani? Bukannya selama ini, kamu memang selalu membantahku?” Ribut tergelak, merasa lucu dengan apa yang didengarnya barusan.
“Tidak, Pak.” Mana bersikeras, tidak mau mengaku.
“Baiklah, daripada kamu membuat saya migran, kembali ke asalmu sana.” Ribut menggerak-gerakkan tangannya, isyarat kalau mengusir Mana dengan terang-terangan.
“Saya permisi, Pak.” Mana pun keluar setelah membungkukkan badan seperti biasa. Ini sangat melukai harga dirinya, tapi dia tidak mau kehilangan pekerjaan. Zaman sekarang, tidak mudah mendapatkan pekerjaan. Yang memiliki koneksi saja kadang terempas, apalagi dirinya yang tidak memiliki jaringan atau dukungan bernama “ORANG DALAM.” Sekalipun Ribut adalah tunangannya, dia tidak yakin lelaki itu akan membantunya, menyiksanya mungkin saja. Dia selalu ditindas Ribut selama ini.
Mana menghela napas panjang, bosan. Sejak tadi, dia tidak melakukan pekerjaan apapun. Ribut tidak begitu merepotkannya hari ini, padahal tadi pagi, lelaki itu seolah akan menerkamnya hidup-hidup dan membuat hidupnya tidak akan damai seharian. Sungguh di luar ekspektasi, meskipun dia juga bersyukur dengan itu. Setidaknya, dia tidak perlu darah tinggi atau hipertensi hari ini. Projek baru yang dikatakan Ribut sepertinya merupakan alasannya. Namun, dia juga tidak tahu, projek seperti apa yang dimaksud.
Siang tadi sejak rapat dimulai, sampai sekarang tak kunjung selesai. Mana tidak dikutsertakan, entah karena dia hanya sekretaris atau tidak dianggap sama sekali, dia tidak mengerti. Alasan apapun tidak berguna, Ribut tetap tidak membiarkannya masuk dan menyuruhnya menunggu di mejanya.
Mana menatap layar computer sembari meletakkan kedua tangannya di atas meja dan kepalanya tertumpu pada kedua tangannya, dia bosan, sangat bosan. Berkali-kali, dia menghela napas panjang, sudah seperti nenek-nenek tua yang kesepian dan tidak bisa melakukan apapun.
Ia melirik jam di computer, sudah jam enam malam. Perutnya sudah keroncongan. Sejak sore, dia belum makan apapun. Bahkan, tidak sempat makan siang karena Ribut menyuruhnya tetap di mejanya. Sepertinya, lelaki menyebalkan itu sengaja menyiksanya dengan cara lain hari ini. Sungguh keterlaluan, Mana membatin. Jika saja Ribut bukan atasannya, dia pasti tidak akan menurut, sudah kabur dan makan sebanyak yang diinginkannya. Akan tetapi, dia juga tidak boleh makan berlebihan. Bagaimanapun, berat badannya harus stabil dan ideal, tidak boleh terlalu kurus ataupun gemuk. Sekretaris adalah profesi yang mengandalkan fisik, penampilan dan kecerdasan. Jadi, dia harus mengimbangi semuanya. Sungguh, pekerjaan yang melelahkan. Setidaknya, bagi Mana begitu. Walau begitu, dia sangat menyukai pekerjaan ini. Sejak SMP, dia memang menginginkan profesi ini, saat dia melihat betapa keren dan cantiknya sekretaris ayahnya. Ah, sungguh kesan pertama yang sangat kuat dan melekat. Mana tersenyum sendiri, senang hanya dengan memikirkan betapa kerennya profesi sekretaris di otaknya saja. Itu sebabnya, meskipun Ribut banyak berbuat ulah dan menindasnya, dia tidak menyerah dan terus berusaha untuk bertahan di perusahaan milik Ribut ini, ralat! Milik Susi. Ribut hanya pengelola dengan jabatan tinggi, itu saja. Perusahaan ini bukan milik Ribut.
“Mana!”
Mana langsung bangkit saat Ribut datang dan memanggilnya.
“Ya, Pak?”
“Kamu sudah makan malam?”
“Belum, Pak.”
“Ayo pergi, semua sudah pulang. Kita makan malam, lalu aku akan mengantarmu.” Ribut berkata dengan santai membuat Mana tertegun sejenak.
“Apa maksudnya, Pak?” Mana bukannya tidak mengerti bahasa Indonesia, hanya saja, dia tidak percaya Ribut akan melakukan hal itu. Dia curiga, ada udang dibalik batu.
“Apa yang kamu pikirkan? Ayahmu tadi menelponku. Jadi, aku harus membuatmu kenyang sebelum mengantarmu pulang,” terang Ribut membuat Mana mengangguk-nganggukkan kepalanya sebagai tanda mengerti.
“Ayo!” Ribut berjalan lebih dulu, tidak menunggu jawaban Mana. Perempuan berambut pendek itu segera mematikan computer, mengambil tasnya dan menyusul Ribut dengan setengah berlari.
“Kamu mau makan apa?” tanya Ribut saat mereka sudah di mobil.
“Nasi goreng?”
“Malam-malam begini?” Ribut sedikit tidak percaya.
Mana mengangguk, “Kemarin-kemarin, aku hanya makan buah saja, jadi hari ini adalah ahri kemerdekaan, aku boleh makan satu makanan faforitku hari ini,” jelas Mana.
“Ah, sejenis reward?” tebak Ribut.
Mana mengangguk.
“Baiklah.”
Mobil pun mulai berjalan pergi. Mana tersenyum sembari menatap pemandangan dari kaca mobil, sementara Ribut sibuk mengemudi. Malam ini, bisa dibilang, adalah hari pertama mereka makan malam bersama. Semua staff sudah pulang sehingga tidak perlu ada yang dikhawatirkan. Tidak ada yang melihat mereka. Setidaknya, itu yang ada di pikiran Mana dan Ribut. Walau pada kenyataannya, sepasang mata, menangkap dan memergoki kebersamaan mereka, termasuk saat Mana masuk ke mobil Ribut tadi. Seulas senyuman miring, tersungging di bibir orang tersebut.
Kena kau, katanya dengan sangat antusias, seolah moment ini memang yang diincarnya sejak dulu.