9. Jemputan Pertama

1446 Kata
Pagi ini Ribut sudah bersiap untuk melarikan diri, berniat tidak sarapan agar memiliki alasan untuk ke kantor pagi-pagi dan tidak perlu menjemput Mana hari ini. Walaupun dia sudah berkata iya pada Komala, tetapi perasaannya masih tidak sudi untuk menjemput perempuan yang mengatainya sebagai pria buruk. Walaupun Mana adalah tunangannya, itu hanya sekadar status. Bagi Ribut, dia dan Mana masihlah orang lain. Memang, dia sendiri yang ingin mencoba pertunangan ini, tetapi mengantar-jemput, itu adalah perkembangan pesat yang dianggapnya berlebihan. Ribut tidak suka jika harus memamerkan hubungan mereka di depan umum. Mana akan semakin besar kepala. Orang-orang kantor pasti akan menghormatinya saat tahu statusnya sebagai tunangan Ribut. Selain itu, Ribut tidak akan bisa menindas Mana lagi nanti. “But, nggak sarapan dulu? Mana pasti juga masih belum mandi jam segini.” Teguran itu membuat langkah Ribut berhenti seketika. Lelaki yang sudah memakai setelan jas itu berbalik, menatap Susi, mamanya yang sedang menatapnya sembari memegang roti dengan selai cokelat. Ribut hanya tersenyum tipis, “Eh, Mama. Sudah bangun, Ma?” Susi membalas senyuman Ribut lalu berjalan mendekati putranya, “Kamu bukan pecundang yang lari dari tanggungjawab kan? Komala sudah cerita kalau kamu akan mengantar-jemput Mana mulai hari ini.” Mata Susi menyipit, mencoba mengintimidasi putranya. Ribut menelan salivanya pelan lalu berdiri di belakang Susi dan memberikan pijatan lembut di pundak wanita yang sudah melahirkannya tersebut. “Wah, mana ada Ribut lari dari tanggungjawab, Ma? Haha. Nggak, kok.” Ribut mencoba tertawa, tetapi hatinya menjerit penuh nestapa. “Baguslah, sarapan dulu, Mama sudah buatkan roti panggang dan s**u cokelat kesukaanmu,” suruhnya. “Mama yang masak? Bukan pembantu?” Ribut terlihat sedikit terkejut. Susi mengangguk membenarkan, “Khusus untuk putra Mama, sengaja bangun pagi biar kamu nggak kabur,” terang Susi. “Ribut nggak kabur, kok, Ma,” tegas Ribut. “Baguslah, kalau kamu kabur, mama akan mencoretmu dari daftar ahli waris,” ancam Susi dengan nada penuh kesungguhan membuat Ribut tidak berani membantah ataupun membalasnya. Sarapan pun sarapan, ditemani Susi yang terus menatapnya. Roti yang seharusnya enak menjadi tidak terasa apapun berkat itu. Namun, Ribut sedikit beruntung, s**u cokelat buatan Susi membantunya untuk menelan. Walaupun dia masih membutuhkan segelas air untuk melegakan tenggorokannya yang terasa penuh dan lengket. Selesai sarapan, Ribut memohon diri pada Susi. Wanita itu sekali lagi mengingatkan Ribut untuk menjemput Mana dan kali ini Ribut mau tidak mau harus menepati janjinya. Baiklah, mungkin ini adalah kesempatan bagus untuk lebih mengenal Mana, begitu yang Ribut pikirkan. Walaupun, dia masih setengah hati untuk melakukannya. Tiba di rumah Mana, Ribut segera membunyikan bel rumah. Namun, sepuluh menit berlalu belum ada yang membukakan pintu. Saat Ribut ingin pergi, pintu rumah terbuka dan Mana berdiri di depannya. "Lama." Ribut mendengus sebal. Sementara Mana yang berdiri di depannya, hanya memasang wajah cemberut.             “Pembantuku pulang kampung dan aku baru selesai mandi,” terang Mana.             Ribut memperhatikan Mana lebih seksama. Perempuan muda itu memang sedikit berbeda dengan biasanya. Ia mengenakan baju rumahan, dengan rambut dan wajah tampak masih basah.             “Kenapa lihat-lihat? Nggak pernah lihat cewek habis mandi huh?” tegur Mana tidak suka ditatap.             Ribut berdecak pelan, “Sering. Kamu lupa kakakku perempuan? Mamaku juga perempuan kali, yak kali aku brojol dari lelaki,” sahutnya sebal.             Mana tidak menyahut, hanya mengerucutkan bibirnya.             “Aku nggak ditawarin masuk?” tanya Ribut kemudian, pegal karena sejak tadi berdiri.             Mana menggeleng, “Kagak.”             “Kalau gitu aku permisi, bye.” Ribut segera berbalik, hendak pergi, tetapi Mana segera mencegahnya.             “Jangan kabur gitu, dong. Nanti kamu ngomong yang nggak-nggak lagi sama papa dan mamamu,” cegah Mana.             Ribut hanya mengangkat kedua bahunya, “Entah. Kamu yang tidak kooperatif,” sahutnya dengan senyuman miring membuat Mana semakin sebal.             “Yaudah masuk. Kasihan pak satpam kalau harus bolak-balik membukakan gerbang untukmu yang labil,” gerutu Mana.             Ribut tidak peduli, hanya masuk ke dalam rumah, disusul oleh Mana kemudian. Lelaki tampan itu duduk di sofa, sementara Mana masih berdiri di dekatnya.             “Kamu ngapain datang sepagi ini? Kamu terlalu semangat atau mau ngerjain aku?" Mana tidak mengerti mengapa Ribut menjemputnya sepagi ini.             “Boss harus on time. Lagian perempuan biasanya suka lama kalau dandan kan?”             Mana menggeleng, “Nggak, tuh. Kamu aja yang berprasangka buruk,” bantahnya.             “Oke, buktikan saja. Aku akan menunggumu. Kalau lama, berarti kamu kalah dan harus mengabulkan satu permintaanku,” tantang Ribut.             “Oke, berapa batas waktunya?” Mana tidak sungkan menerima tantangan Ribut.             “Setengah jam?” Ribut menyarankan.             “Deal,” tanpa banyak bicara Mana segera setuju.             “Oke.” Ribut tersenyum puas, “Mulai.”             Mana segera berlari pergi ke kamarnya, sementara Ribut melihat jam tangannya, mencoba untuk mengukur waktu Mana.             Sembari menunggu Mana, Ribut melihat ke sekeliling. Tidak ada Komala ataupun siapapun selain dirinya. Rumah sebesar ini, walau tidak sebesar rumahnya, terlihat begitu kosong dan hampa. Dibandingkan dengan rumahnya yang selalu ramai dengan suara Dara ataupun Susi, Ribut merasa rumah ini jauh lebih sunyi dan menyesakkan. Entah bagaimana menjabarkannya. Rumah Mana terasa begitu larut dalam sunyi, terhisap dalam kediaman yang tidak bertuan. Mungkin karena tuan rumahnya sangat serius, begitu perkiraan awal Ribut.             “Hai.”             Ribut nyaris berteriak saat sapaan itu terdengar. Beruntung, dia bisa menahan diri. Walau ekspresi wajahnya masih tidak bisa menyembunyikan rasa kagetnya. Seorang lelaki muda menatapnya dengan senyuman tersungging di bibir. Dia lebih tua dari Ribut, meskipun perbedaan umur mereka tidak terlalu jauh. Ribut memperkirakan demikian.             “Maaf mengagetkanmu. Aku Asfa, paman Mana.” Lelaki itu memperkenalkan diri.             “Paman?” Alis Ribut terangkat sebelah, tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya atas pernyataan yang baru saja didengar olehnya.             Asfa tersenyum geli, “Kenapa? Kamu heran ya? Wajar, sih, banyak yang begitu. Kamu bukan yang pertama,” katanya lantas duduk di sofa. “Kamu mau menjemput Mana?”             Ribut mengangguk cepat. Hatinya takjub, meskipun terlihat muda, Asfa terlihat berkarisma dan berwibawa, membuatnya tidak bisa untuk tidak bersikap hormat pada paman Mana tersebut.             “Kamu Ribut? Tunangan Mana?” tebak Asfa.             Ribut mengangguk membenarkan.             “Maaf ya, Mana akan merepotkanmu. Kakakku memang suka seenaknya, padahal, aku mengantar-jemput Mana pun bisa. Aku akan di sini selama sebulan,” terang Asfa kemudian.             “Tidak masalah, Paman. Lagipula, aku tunangannya,” sahut Ribut mencoba membuat Asfa tidak sungkan terhadapnya.             Asfa hanya menganggukkan kepalanya, “Ah, mau minum apa? Pembantu di rumah ini sedang pulang kampung, akan aku buatkan untukmu. Tenang, sudah biasa hidup sendiri, membuat minuman bisa,” katanya menjamin.             Ribut segera menggelengkan kepala, “Tidak usah, Paman. Aku cuma sebentar. Buru-buru, ada rapat pagi ini,” terangnya.             “Selesai!” Mana berteriak. Dia kembali dengan setengah berlari, tidak ingin kehabisan waktu. “Bagaimana waktunya? Masih ada yang tersisa kan?”             Mana bengong, melihat Ribut ternyata sedang bersama Asfa. Perempuan itu terdiam, mendadak salah tingkah. Bukan karena Ribut tentunya.             “Wow. Kamu sangat cantik, girl,” puji Asfa membuat keponakannya tersenyum baper.             Girl? Mana seorang wanita, woman,  Ribut mengoceh sendiri dalam hati. Namun, dia tidak berani protes. Tanpa basa-basi, keduanya pun berpamitan pada Asfa. Entah kenapa, Ribut tidak suka melihat bagaimana Mana memandang Asfa. Walau Asfa tidak memberikan pandangan yang sama, tetap saja Ribut merasa tidak nyaman. Dia bahkan lupa untuk menanyakan Komala. Dia hanya ingin pergi secepat yang dia bisa.             “Kamu naksir pamanmu?” Ribut asal menebak.             “Bagaimana kamu tahu?”             Rasanya Ribut ingin menimpuk kepala Mana karena terlalu jujur. Dia juga tidak menyangka kalau Mana benar-benar menyukai pamannya sendiri. Perempuan itu mungkin sudah gila, begitulah anggapn Ribut sekarang. Point Mana semakin menurun saja di depannya.             Ribut tidak memberikan pernyataan apapun, hanya masuk ke dalam mobil, disusul oleh Mana. Sepanjang perjalanan, keduanya hanya bungkam, tidak ada basa-basi ataupun sekadar pembicaraan santai yang terjadi di antara mereka. Mulut mereka menutup dengan sempurna.            Saat dekat kantor, Mana memohon untuk turun. Dia ingin berjalan kaki, tetapi Ribut tidak setuju. Di parkiran, Mana tidak mau turun, masih celingak-celinguk, memastikan keadaan aman. Setelahnya, dia pergi, bahkan setengah berlari. Ribut hanya geleng-geleng kepala. Dia tahu, kedatangan mereka masih sangat pagi, meskipun matahari sudah agak meninggi. Namun, tidak ada karyawan yang datang sepagi ini, kecuali berlembur dan sedang jalan-jalan di parkiran. Ah, entahlah, parkiran untuk boss jauh dari parkiran karyawan, seharusnya Mana tidak seoon itu untuk melakukan tindakan bodoh. Namun, Ribut membiarkannya. Mana sangat konyol. Sifat seriusnya tidak selamanya buruk.             Ribut keluar dari mobilnya, berjalan santai menuju kantor. Saat melewati meja Mana, dia hanya melirik perempuan yang berpura-pura menyapanya dengan hormat itu. Walau ini sekadra formalitas yang dilakukan sekretaris pada atasannya, Ribut sangat menyukainya. Melihat Mana menunduk untuknya, suatu kepuasaan tersendiri. Dia tersenyum penuh arti, memikirkan bagaimana nanti dia harus mengerjai Mana. Juga, memikirkan tingkah konyol apa lagi yang akan dilakukan perempuan itu saat pulang kerja. Ah, Ribut sungguh tidak sabar untuk segera pulang. Suasana hatinya mendadak membaik.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN