Saat Mana memasuki kantin, dia melihat Ribut sedang asyik mengobrol. Sengaja, dia tidak ingin memandang tunangan yang tidak diharapkannya itu. Ribut pun terlihat melakukan hal yang sama. Mereka bertingkah sebagai dua orang yang tidak memiliki hubungan apa-apa. Walau berstatus sebagai CEO, terkadang lelaki itu mmemilih untuk makan di kantin perusahaan. Entah apa motifnya, Mana tidak terlalu tertarik dengan Ribut. Lagipula, dia selalu mengobrol dengan lelaki lain yang bukan dari perusahaan, sepertinya itu temannya. Mana tidak suka kelakuan dengan Ribut tersebut, sengaja menghemat uang dengan mengajak teman-temannya makan di kantin perusahaan.
"Siang, Na," sapa seorang perempuan dengan rambut panjang lurus bermata bulat.
"Siang juga, Dar," balas Mana pada Darmi, teman kerja sekaligus sahabat terbaiknya. Mereka berbeda departemen. Namun, sering bertemu di kantin perusahaan.
"Lihat?" kata Darmi. "Hari ini Ribut masih ganteng saja. Dokidoki saseru, deh."
Mana mendesah kasar, risih. Darmi bisa dibilang penggemar nomer satu Ribut sehingga tidak akan pernah memberitahu gadis lugu itu tentang pertunangannya dengan Ribut. Sampai mati pun, dia tidak sudi rahasia itu sampai terbongkar. Walau saat menikah, mau tidak mau dia harus memberitahu Darmi. Mana berharap Darmi tidak akan sakit hati atau melakukan hal nekad seperti memutuskan persahabatan yang sudah mereka jalani hampir lima belas tahun.
"Matanya indah, apalagi senyumnya. Bikin jatuh cinta," ujar Darmi penuh kekaguman. Sahabat Mana itu sampai menopang dagu demi bisa memandang Ribut dengan leluasa.
Mana menelan ludah. Pahit. Baginya. Ribut sama sekali tidak menarik. Lelaki itu memang cukup tampan. Namun, hanya itu. Lelaki tampan di dunia ini bertaburan dan Mana belum sinting untuk jatuh cinta pada seorang Ribut.
"Jangan berwajah begitu, dong, Na. Ribut ganteng banget kan?" Darmi meminta pendapat Mana.
Ribut yang sedang asyik mengobrol otomatis menoleh. Telinga lelaki itu terlalu peka sehingga bisa mendengar siapa saja yang tengah membicarakannya. Jantungnya mendadak berdebar-debar, tidak sabar menunggu pendapat Mana, perempuan yang selalu berekspresi ingin muntah setiap kali mereka bertatap muka. Jarak mereka memang tidak terlalu jauh.
Mana menatap datar ke arah Ribut. Perutnya stabil, tidak ingin muntah. Mungkin sudah muak sehingga menjadi kebal. Namun, dia menjadi melotot tidak suka saat tahu Ribut sedang menatapnya. Mereka bersitatap dengan perasaan yang sangat berbeda.
"Kyaa.. Ribut!" Darmi mulai heboh sendiri. Terlebih saat Ribut melambaikan tangan dengan senyuman manis yang mengikis jiwa.
"Kamu naksir Darmi, But?" tanya Reyhan, salah satu anggota kelompok Ribut. Teman sepermainan yang ikut membantu Ribut dalam mengelola perusahaan. Dia memiliki restaurant kuliner yang cabangnya sudah delapan di lima kota yang berbeda. Bisnisnya cukup lanvar sehingga dia bisa berkeliaran, mengunjungi Ribut misalkan.
"Nggak," jawab Ribut pelan. "Anggap saja fans service."
Reyhan mendengus, kesal dengan tingkah Ribut yang sok artis. Namun karena tingkat kegantengannya di bawah Ribut, lelaki manis dengan rambut pendek ala atlet itu tidak bisa memberikan keluhan.
"Jangan manyun, dong. Ntar berubah jadi Pirarucu, lho," ledek Ribut yang membuat Reyhan segera menata lagi wajahnya yang sempat kusut.
"Sembarangan! Selain lo, gue yang paling ganteng di sini," ujar Reyhan Sambong membuat Abdul dan Yaqin ber-hu ria.
"Sirik aja lo!" Reyhan merengut sebal.
"Ngaca, dong. Selain Ribut, kita semua hanya cowok buruk rupa." Yaqin berucap dengan yakin seolah tak malu menyebut diri sendiri sebagai makhluk dengan kegantengan minus.
"Itu lo! Gue nggak jelek," bantah Reyhan tidak terima.
"Iya, lo nggak jelek dan nggak ganteng." Abdul menambahkan membuat Reyhan seperti cacing kepanasan. Mulutnya mendadak gatal ingin memaki.
"Udah, jangan berantem," lerai Ribut. "Kalian semua jelek."
Reyhan, Abdul dan Yaqin menoleh bersamaan ke Ribut membuat lelaki dengan rambut pirang itu mengulas senyuman tipis menyebalkan. Ribut bukan bule, hanya tidak ingin rambutnya berwarna hitam. Dia adalah contoh CEO yang tidak umum. Mungkin, itu salah satu alasan mengapa Mana tidak menyukainya.
"Nggak ada orang ganteng yang menilai dirinya jelek, kecuali emang jelek beneran," imbuhnya membuat ketiga temannya terdiam, malas menanggapi.
"Menurut lo, Ribut ganteng nggak?" Darmi yang sempat terpana dengan kegantengan Ribut tiba-tiba sadarkan diri. Mana yang sedang asyik sendiri, memikirkan adegan Spongebob tadi pagi, menjadi keki.
Ribut dan kelompoknya memasang telinga baik-baik, penasaran dengan pendapat Mana yang terbilang anti cowok. Walau tidak mengenal Mana, ketiga temannya tahu tentang pertunangan Ribut dengan sekretarisnya, juga ketidakakura mereka. Ajaib memang saat tahu Domba dan Serigala memutuskan bertunangan.
"Ganteng," jawab Mana.
Ribut mengulas senyum penuh kebanggaan. Sedangkan ketiga temannya mendesah kecewa.
"Tapi sikapnya b*****t sekali," lanjut Mana membuat tawa ketiga temen Ribut pecah, membahana di udara membuat yang dicela sakit hati sendiri.
"Maksud lo apa?" Ribut tanpa basa-basi dan menunggu lama segera menghampiri Mana.
"Sikap lo b*****t sekali," ulang Mana santai.
"b*****t? Emang gue ngapain sampe lo bilang gitu huh? Dari orok, gue ini adalah manusia paling ganteng dengan hati seputih salju dan kekayaan semurni emas 24 karat," oceh Ribut dengan angkuh. Wajahnya bahkan memerah karena menahan marah.
"Lo lagi ngarang bebas? Di mana-mana, kata ganteng itu bergantung pendapat orang, bukan pendapat lo. Dan bagi gue, lo ganteng tapi wajahnya aja. Lain-lain minus semua. b*****t emang." Mana tidak gentar. Mata melotot Ribut tak mampu memukul mundur seorang Mana.
"Eh Masako! Lo siapa sampe berani nilai gue? Lo pikir lo penting? Lo cuma micin, yang sok penting padahal kagak!" Emosi Ribut tidak terkendali lagi.
"Masako?" Mana mengerutkan dahi. Bingung.
"Iya, Mana Santoso Komala!" Ribut menyemburkan laser dari kedua matanya seolah dia sedang berada di tengah war.
"Jangan singkat nama orang seenak jidat, dong! Dasar Ribut Semesta dari RSJ!" Mana tidak mau kalah. Perlawanan baru saja dilakukan.
"RSJ? Nama gue Ribut Semesta, nggak pake J," protes Ribut.
"Suka-suka gue, dong. Mulut gue juga," sahut Mana dengan berani.
"Nah lo kumat lagi," cibir Ribut.
"Apaan?" Mana tidak mengerti.
"Egois!"
"Biarin, daripada lo?" tukas Mana.
"Gue kenapa?" tantang Ribut.
"Lo tuh bukan matahari, bukan pusat dunia, jadi jangan sok ngartis!" Mana mendelik membuat Ribut mendecih kesal.
"Lo sirik karena gue banyak fans?" ledek Ribut.
"Hah?"
"Lo cuma bahawan, gue atasan lo. Bahasa macam apa yang kamu pakai huh? Ini di jam kantor, kamu harus menghormatiku!" Ribut menaikkan alisnya, menatap Mana dengan sombong. Bahasa keseharian yang biasa dipakai mendadak berganti menjadi semi normal.
Mana mendesah kasar, “Baru kemarin minta maaf, sekarang berulah lagi?” Ia menggeleng-gelengkan kepala, takjub. Jika bisa, mungkin Mana juga akan bertepuk tangan. Namun, dia tidak ingin mencari perhatian lebih jauh. Bisa gawat kalau semua orang tahu tentang ciuman mereka kemarin.
“Saya minta maaf, Tuan CEO yang terhormat,” ujar Mana sembari menundukkan badan 45 derajat.
Ribut terdiam, tidak menyangka Mana akan melakukan hal itu. Sayangnya, itu tidak membuatnya menjadi lebih baik. Tidak ingin image cool dan kerennya semakin berantakan, Ribut berdehem dua kali lalu menerima permintaan maaf Mana.
“Saya permisi, Tuan.” Mana segera pergi, disusul oleh Darmi.
Ribut menatap kepergian Mana dan Darmi sampai kedua perempuan itu tidak tampak lagi.
“Kamu cukup keterlaluan, But.” Reyhan berkomentar saat lelaki tampan itu kembali.
Ribut tidak menjawab, mendadak hatinya merasa tidak nyaman. Dia pun memilih pergi, meninggalkan teman-temannya. Dia pergi, mencari Mana. Saat menemukan perempuan itu, dia segera menarik Mana untuk masuk ke ruangannya.
“Ada apa?” Mana masih merasa keki.
“Aku keterlaluan padamu, aku minta maaf.”
Mana bergeming.
“Kamu tidak mau memaafkanku?”
Mana mendesah kasar, “Sejak kejadian kemarin kamu selalu meminta maaf, ada yang salah denganmu?” Mana menatap Ribut penuh selidik.
Ribut menggeleng, “Tidak. Aku hanya merasa asing pada diriku.”
“Hah?”
“Entah kenapa, aku seperti ingin menciummu lagi.” Ribut bersungguh-sungguh membuat Mana mundur dan menutup mulutnya.
“Kamu masih belum sadar? Kenapa kamu berbicara ngelantur?” Mana bingung sekaligus takut.
“Aku tidak akan menciummu tanpa izin,” ujar Ribut membuat Mana menghela napas lega.
“Aku tidak pernah setertarik ini pada bibir seseorang,” ujar Ribut membuat Mana mengernyitkan kening.
“Bukankah kamu sering berciuman? Aku juga tidak membalasmu kemarin, apa maksud kamu penasaran dengan bibirku?” Mana sama sekali tidak mengerti.
Ribut mengedikkan bahu, “Entahlah. Sampai aku menemukan jawabannya, kamu dilarang menjauh dariku!”
Mana tahu itu perintah bukan permintaan. Namun, dia enggan melakukannya.
“Kita harus professional,” saran Mana.
Ribut mendekat, meraih pinggang perempuan itu dengan satu tangan, mempersempit jarak di antara mereka.
“Apa yang kamu lakukan?” Mana sedikit panik.
“Mari kita coba,” pinta Ribut.
“Coba apa?”
“Pertunangan ini.”
“Hah?”
Mana melongo, sama sekali tidak menyangka akan begini. Namun, dia tidak memiliki pilihan. Ribut pasti akan selalu memaksanya. Lagipula, mereka juga sudah bertunangan. Namun, dia bertanya-tanya, mengapa Ribut bisa berubah dalam waktu singkat. Mana harus mencaritahu alasan Ribut melakukan ini. Bagaimanapun caranya, dia tidak peduli. Dia membutuhkan jawaban.