Mana marah. Murka lebih tepatnya. Ribut tidak hanya membuat hidupnya sulit, juga sudah merampas ciuman pertamanya. Ciuman yang sudah dijaga dengan susah payah agar hanya bisa diberikannya pada suaminya nanti. Walau, tentu saja, lelaki b******k itu adalah kandidat terkuat untuk menjadi suaminya saat ini. Namun, dia tidak mencintainya dan ciuman pertama yang seharusnya penuh dengan cinta dan terasa mendebarkan, menjadi penuh dengan kebencian dan perasaan takut dan marah yang terasa bersamaan. Hal itu membuat darah Mana mendidih setiap kali peristiwa menyebalkan itu kembali terbayang.
Mana tidak bisa menerimanya. Bertemu dengan Ribut pasti akan membuatnya lepas kendali. Dia ingin berhenti bekerja di perusahaan itu. Bekerja di perusahaan Komala sepertinya tidak buruk, meskipun dia sama sekali tidak mengerti mengenai bisnis yang papanya sendiri kelola. Mereka memiliki spesialisasi yang berbeda. Mencari pengalaman adalah alasan Mana saat ditanya mengapa ingin bekerja di perusahaan lain, meski ternyata itu adalah perusahaan milik Ribut. Namun, kini sepertinya tidak ada alasan baginya untuk bertahan di sana. Ribut sudah memperjelas siapa dirinya hari ini. Lelaki itu tidak lebih dari seorang b******k.
Aku akan bertanggungjawab. Tentu kata itu bukan jaminan, mengingat reputasi Ribut yang kekanak-kanakan, hidung belang dan gosip tidak mengenakkan lainnya. Walau untuk yang pertama, Mana sangat setuju. Mungkin untuk yang kedua juga sekarang, mengingat apa yang Ribut lakukan padanya hari ini. Mana jarang menangis, tetapi lelaki itu mampu membuatnya meneteskan air mata dan terluka, itu sebabnya, Mana sangat membencinya. Terlepas dari semua siksaan Ribut selama ini, hari ini lelaki itu sangat keterlaluan.
Mana terdiam saat pintu kamarnya diketuk. Itu suara Komala. Sejak pulang sampai sekarang, Mana memang belum menemui Komala. Dia masih berupaya menata hati dan pikiran yang ambyar karena seorang Ribut. Tidak ada alasan untuk menghindari Komala. Bagaimanapun lelaki itu tidak berdosa dalam kejadian pahit yang dialami Mana hari ini. Walaupun papanya adalah orang yang membuatnya harus bertunangan dengan Ribut.
Mana keluar, menatap Komala yang mengenakan celana kolor dan kaos oblong. Lelaki paruh paya itu tersenyum lebar dengan rambut basah yang belum disisir, baru selesai mandi mungkin.
“Boleh papa bicara?” Suaranya sopan dan terdengar hati-hati. Mana tidak ingin menduga-duga, tetapi dia akan membujuk Komala untuk membatalkan pertunangannya dengan Ribut jika lelaki itu mengadu pada ayahnya. Dia tidak ingin terlihat menyedihkan.
“Di mana, Pa?” balas Mana.
“Di ruang tamu saja, santai,” jawab Komala lalu pergi lebih dulu.
Mana menutup pintu kamar lantas mengikuti Komala. Mereka berada di ruang tamu, duduk berdua, berhadapan.
“Papa dengar, kalian bertengkar,” ucap Komala memulai permbicaraan. Wajah konyol yang biasa lelaki tua itu tunjukkan tidak ada, berganti dengan wajah serius yang mendebarkan.
Mana mendesah kasar, kesal, karena Ribut sangat cepat dalam urusan mengadu. Padahal, pertengkaran mereka seharusnya tidak perlu ada yang tahu. Walaupun Komala adalah papanya, Mana enggan membahas hal sensitif seperti ciuman pertama dan lainnya dengan Komala. Mereka tidak terlalu dekat dalam membahas urusan pribadi seperti asmara.
“Kalian bertengkar kenapa?” Komala menatap penuh tanya ke arah Mana, membuat perempuan itu merasa lega sebab Ribut tidak bercerita secara detail tentang pertengkaran mereka pada Komala.
“Hanya berbeda pendapat,” jawab Mana berbohong.
Komala tertegun sejenak lantas mengembuskan napas lega, “Syukurlah, Papa kira kenapa. Ribut bilang kamu sampai berteriak dan mengatakan kalau kamu membencinya.”
Mana mengepalkan tangan, kekesalannya bertambah. Laki-laki itu ternyata bermulut besar. Selain b******k, ternyata dia juga tukang gosip.
“Sayang, kalian sudah bertunangan. Wajar jika ada konflik. Namun, jangan sampai membencinya karena itu. Mana harus belajar bertoleransi. Papa sangat berharap kamu dan Ribut bisa bersama sampai menikah,” ujar Komala panjang-lebar. Lelaki itu memang selalu mengungkapkan keinginannya dengan terang-terangan. Dia tidak peduli apakah keinginan itu bisa terwujud atau tidak, hanya sekadar mengungkapkan dengan penuh pengharapan. Mana sangat menyayangi Komala. Itu sebabnya, dia berusaha untuk tidak mengecewakannya. Walau untuk Ribut, sepertinya dia harus memikirkannya lebih jauh.
“Mana akan menyelesaikan pertengkaran ini dengan Ribut, berdua. Papa jangan khawatir.” Mana mengulas senyuman tipis, berusaha untuk membuat Komala tidak khawatir kepada hubungannya.
“Kamu tahu kan? Susi dan papa berteman akrab? Jadi, jangan membenci Ribut karena urusan sepele, Mana. Papa tahu ini perjodohan yang sangat mendadak, tetapi papa sangat yakin kalau kamu akan bahagia bersamanya,” terang Komala.
Mana hanya mengangguk kecil lantas beranjak, memeluk Komala dengan sayang.
“Jangan khawatir, Pa. Mana dan Ribut akan baik-baik saja, oke?”
Komala mengangguk kecil lantas membalas pelukan putrinya, “Thanks, dear.”
Mereka berdua berpelukan sebentar, lantas Mana pergi ke kamarnya. Dia menghubungi Ribut, meminta lelaki itu untuk bertemu. Komala pasti tidak akan tenang jika dia dan Ribut masih perang dingin. Itu sebabnya, mau tidak mau, Mana harus segera menemui Ribut.
Mereka berdua berjanji untuk bertemu di sebuah kafe di dekat rumah Mana. Perempuan itu memakai baju santai, celana jeans dengan jaket hodie berwarna kuning, rambut yang sengaja digerai dan flat shoes.
“Aku telat, tadi masih nganter mama,” ujar Ribut lantas duduk di kursi depan Mana. “Udah lama?”
Mana hanya menggeleng pelan.
Ribut mengenakan pakaian simple, celana kain hitam polos dengan kemeja biru bermotif horizontal. Rambutnya yang biasa ditarik ke atas, kini dibiarkan menutupi dahi. Ini bukan pertama kalinya Mana melihat Ribut dengan baju bebas, tetapi melihat penampilan sopan dan sederhana lelaki itu sekarang benar-benar membawa aura yang berbeda untuk Mana. Ia benci mengakuinya, tetapi Ribut terlihat “lembut” dan “hangat”.
“Kamu sangat berbeda, lebih natural dan cantik,” puji Ribut membuat Mana mengernyitkan keningnya.
“Itu pujian?” Mana sedikit curiga.
Ribut mengangguk, “Kamu cantik.”
Mana berdehem dua kali, mencoba menyingkirkan debaran hati yang tidak perlu.
“Kamu tahu alasan kenapa aku mengajakmu bertemu kan?” Mana langsung to the point.
Ribut mengangguk, “Sorry, aku sudah lancang. Aku benar-benar tidak tahu kalau itu ciuman pertamamu. Maafkan aku.”
Mana melongo, “Hah?”
Ribut terlihat terkejut dengan respons Mana, “Eh?” Dia kebingungan, merasa tidak melakukan kesalahan, tetapi dinilai salah.
“Kamu ingin aku meminta maaf kan?”
Mana berdecak pelan.
“Salah? Lalu, apa maumu?” Ribut menggaruk-garuk belakang kepalanya, tidak mengerti tentang situasi canggung yang sedang dialaminya saat ini.
Mana mendesah kasar, ingin tahu apakah Ribut hanya berpura-pura bodoh atau memang dia tidak mengerti tentang apa yang Mana inginkan.
“Haruskah aku berlutut atau semacamnya?” Ribut terlihat bersungguh-sungguh saat mengatakannya. Lelaki itu hendak berdiri, tetapi Mana segera mencegahnya. Menurutnya, Ribut tidak perlu berlutut meskipun sudah melakukan kesalahan besar kepadanya. Lagipula ada banyak orang, hanya akan membuatnya malu.
“Aku memang ingin kamu minta maaf, tetapi tidak menyangka akan secepat itu, mengingat kamu sangat keras kepala dan angkuh,” terang Mana.
“Ah.” Ribut merespons singkat.
“Itu saja? Apa ada alasan lain mengapa kamu langsung merasa salah dan meminta maaf dengan cepat padaku?”
Ribut menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, “Sejujurnya, aku sudah bercerita pada papamu tentang pertengkaran kita di kantor. Juga, bercerita pada mamaku. Mama sangat marah. Bahkan menjambak rambutku dua kali.”
Mana tergelak tanpa sadar, senang karena apa yang Ribut alami membuat lelaki itu mengembungkan pipinya.
“Puas?” Ribut melirik sebal ke arah Mana, membuat perempuan itu berusaha sekuat tenaga untuk menghentikan tawanya.
“Itu sangat di luar dugaan. Jadi, kamu bercerita tentang ciuman kita?” Mana memelankan dua kata terakhirnya.
Ribut menggeleng, “Tidak, aku hanya berkata kita bertengkar. Jika mama tahu aku menciummu paksa, mungkin aku akan dicoret dari kartu keluarga,” katanya lantas bergidik ngeri.
“Seharusnya kamu melakukannya. Jadi, kamu tidak perlu ditunangkan denganku,” usul Mana.
“Aku lebih memilih menikahimu dibanding dicoret sebagai ahli waris. Aku butuh kekayaan, kenyamanan dan semua yang mamaku berikan padaku selama ini. Walau menyenangkan bisa hidup sendiri dan mandiri, aku tidak bisa melepaskan diri dari mama. Dia sangat berharga daripada harga diriku.”
Mana terdiam, tidak menyangka kalau Ribut akan memiliki pemikiran seperti itu. Di matanya, lelaki itu sangat b******k. Sulit percaya kalau dia sangat menyayangi mamanya dibanding harga dirinya. Padahal, bagi kebanyakan lelaki, harga diri adalah harga mati.
“Aku benar-benar minta untuk kejadian tadi pagi. Kamu mau memaafkanku kan?” Ribut kembali ke inti pembicaraan.
Mana tidak segera menjawab, bimbang.
“Apa aku harus mengumumkan pertunangan kita di kantor agar kamu puas?”
Mana segera menggeleng. “Tidak perlu! Aku akan mengutukmu menjadi batu kalau kamu berani!”
Ribut tergelak, “Kamu sangat membenciku huh? Bagaimanapun hubungan ini tidak bisa disembunyikan selamanya. Cepat atau lambat, kamu dan aku akan diminta menikah. Kamu sudah 25 tahun kan? Itu usia yang ideal untuk menikah.”
“Hah? Bagaimana kamu tahu?” Mana keheranan.
“Itu yang mamaku katakan di awal-awal pembicaraan kami. Kalau kamu berusia 25 tahun dan siap untuk dinikahi.”
“Aku tidak mau menikah denganmu,” tegas Mana.
“Kamu pikir aku sudi? Namun, kita tidak memiliki pilihan bukan?” Ribut memandang lekat Mana.
“Selalu ada jalan menuju Roma, mungkin kita akan menemukan caranya nanti. Untuk saat ini, aku belum menemukannya,” jawab Mana jujur.
Ribut hanya menghela napas panjang, “Kamu lapar? Ayo kita pesan sesuatu. Setelahnya, aku akan mengantarmu pulang.”
“Kamu yang bayar?” tanya Mana.
Ribut mengangguk mengiyakan, “Sure.”
Keduanya pun memesan makanan dan minuman yang mereka inginkan. Setelahnya, sesuai janji Ribut mengantar Mana pulang, tidak hanya sampai pintu gerbang. Lelaki itu juga turun, mengantar Mana sampai ke dalam rumah dan menemui Komala untuk sekadar menyapa dan berbasa-basi sebentar. Setelahnya, lelaki itu pun pulang.
“Dia sangat sopan dan menawan bukan?” Komala memberikan senyuman penuh kebanggaan pada Mana begitu Ribut sudah pergi.
Mana hanya mengangkat kedua bahunya, “Entahlah.” Perempuan itu pun masuk, menatap cermin dan melihat matanya yang sudah tidak lagi sembab. Ribut memang seperti bunglon, mampu menyesuaikan diri dengan cepat. Itu sangat menakutkan, terutama karena Mana bukan orang yang pandai berpura-pura.