"Alasan macam apa tadi itu, Pa?" tanya Mana seraya melebarkan mata bulatnya ke arah Komala.
Anak gadis satu-satunya dari Komala itu ingin menuntut penjelasan. Namun, Komala yang memang ingin menjadi kerabat Koala karena demen rebahan itu hanya memalingkan wajah, enggan menjawab pertanyaan yang sudah jelas baginya.
"Pa!" Mana bersikeras membuat Komala hanya menguap kasar.
"Matamu ntar keluar, lho. Durhaka melotot ke orangtua," tegur Komala santai membuat Mana mengerjab beberapa kali untuk menstabilkan diameter matanya.
"Papa nggak malu bilang gitu ke Ribut? Orangtua mana yang meminta anaknya dianterin dengan alasan pengen rebahan? Mager juga harus ada waktunya, Pa," protes Mana gregetan. “Lagipula, Mana sudah dewasa. Tidak ada alasan bagi papa untuk memaksa Mana diantar-jemput oleh Ribut, Pa.” Mana tidak terima.
"Salah ya?" Komala memasang wajah polos ala anak Panda.
Mana mendengus. Seandainya bukan orangtua kandungnya, Mana mungkin sudah melancarkan serangan. Sayang, kenyataan selalu berakhir menyakitkan. Lelaki di depannya adalah ayahnya. Mereka terikat pertalian darah yang tidak bisa diputuskan, bukankah darah memang selalu lebih kental daripada air?
"Papa hanya berusaha jujur," kata Komala beralasan. "Lagian, Mana dan Ribut sudah bertunangan kan? Apa salahnya kalian menjadi lebih akrab dengan berangkat dan pulang bekerja bersama?" Komala tersenyum miring.
Mana melongo. Tidak percaya dengan apa yang Komala sampaikan. Memang, selama ini dia selalu diantar papanya ke kantor, pulang pun sering begitu juga. Namun, dia juga pernah berangkat dan pulang sendiri.
"Mana nggak pernah minta, Papa yang nggak ngasih izin Mana ke kantor sendiri," bantah Mana tegas. “Kalaupun ngasih izin, itu karena papa sedang ada urusan gawat yang nggak bisa ditinggal kan?”
"Emang iya?" Koma tidak percaya atau pura-pura bodoh.
"Iya." Mana berdecak pelan.
"Lupa." Komala cengengesan membuat Mana hanya bisa mengelus d**a.
"Papa udah tua beneran? Kok gitu aja amnesia?" dengus Mana kesal.
"Iya, tua beneran, masak bohongan? Kenapa? Papa kelihatan masih muda banget ya?" sahut Komala membuat Mana semakin kesal.
"Kalau dibilang gitu, jangan dijawab. Itu lagi disindir," protes Mana.
"Oh, nyindir? Nggak ngerasa, tuh," sahut Komala lagi.
Mana mengembuskan napas berat. Malas untuk berdebat dengan Komala yang memang tidak mudah dikalahkan. Butuh usaha dan pengalaman yang banyak untuk menumbangkan argumentasi Komala yang suka ngawur.
"Ini demi kebaikan Mana, kok. Lagipula dengan di antar-jemput Ribut, kalian berdua bisa lebih dekat kan?" Komala beralasan. "Iya, kan?"
Mana tidak menjawab, sudah telanjur malas.
Komala mendekat, mencolek lengan Mana membuat putrinya menoleh ke arahnya dengan wajah datar.
"Ya kan?" Komala maksa.
"Whatever." Mana ngambek.
"Ada apa, nih? Marahan ya?"
Teguran itu membuat Mana segera berlari mendekati seorang lelaki muda yang langsung duduk di sofa.
“Paman, Papa kumat," adu Mana.
"Kumat?" Dahi lelaki muda itu mengernyit lalu menoleh ke arah Komala.
"Mana stress," ujar Komala sembari membuat garis miring di dahinya, isyarat kalau anaknya memang sedang stress.
"Oi!!" Mana meledak. "Papa jahat!"
Komala hanya tertawa lalu meraih gelas di atas meja. "Habis," katanya saat mendapati gelas air minumnya kosong.
"Trus?" tanya Mana pura-pura tidak mengerti.
"Ambilin, dong. Air hangat ya. Sedang musim flu, nanti Papa sakit," katanya.
"Sudah nyuruh, minta air hangat lagi," keluh Mana.
Komala hanya nyengir.
"Minum apa?" tanya Komala pada lelaki muda di depannya.
"Teh tawar saja, Kak," jawabnya.
"Oke, Mana, buatin!" suruh Komala.
Mana mengembungkan pipi, kesal, tetapi tidak melawan. Dia segera pergi menuju dapur, menyiapkan air hangat dan teh tawar untuk paman kesayangannya.
Tak lama kemudian, Mana kembali dengan dua gelas berisi pesanan Komala dan pamannya. Selesai meletakkan gelas, Mana duduk di samping lelaki muda tadi. Namun, belum juga duduk, Komala sudah menegurnya.
"Ingat, udah tunangan, nggak boleh genit," tegur Komala.
"Cuma duduk, Pa," kilah Mana lalu duduk.
"Gimana pekerjaanmu? Lancar?" tanya lelaki muda itu ramah.
"Lancar, kok," katanya. "Walau atasannya menyebalkan." Mana sengaja mengerucutkan bibirnya.
"Menyebalkan? Atasanmu bagaimana? Haruskah Mana pindah saja ke perusahaan paman dan menjadi sekretarisku?" Lelaki muda itu lalu mencubit gemas pipi Mana.
"Ingat Ribut, Oi!" Komala kembali menegur.
"Ribut? Siapa, Kak?" tanya lelaki muda itu. Dia belum tahu soal pertunangan Mana yang memang dilaksanakan secara mendadak dan tanpa mengundang siapa pun.
"Mana sudah bertunangan," jelas Komala.
"Sama anak teman Kakak?" tebaknya.
Komala mengangguk.
"Paman juga tahu?" tanya Mana heran.
"Sejak kecil, Kak Komal memang sering cerita," jawabnya. "Wah, kalau gitu, Paman nggak bisa deket-deket Mana lagi, dong? Mana sudah taken."
Lelaki muda itu tertawa sementara Mana hanya menatap tajam ke arah Komala.
"Apa?" tanya Komala bingung.
"Salah Papa, nih," gerutu Mana kesal.
Sejak dulu, Mana memang mengagumi lelaki muda yang duduk di dekatnya saat ini. Bagi kebanyakan anak gadis, mungkin ayah adalah cinta pertama mereka. Namun, bagi Mana tidak demikian. Apalagi menurutnya, Komala jauh dari sosok lelaki ideal Mana. Lelaki itu adalah cinta pertamanya. Meskipun berstatus sebagai paman, umur mereka hanya berbeda 6 tahun saja.
"Mana nggak suka Ribut, kok. Mana terpaksa!" Mana melakukan pembelaan. "Mana sukanya sama Paman!"
Komala dan lelaki muda itu terdiam lalu keduanya tertawa.
"Serius! Mana nggak mau sama Ribut! Maunya sama paman!" Mana bersikeras.
"Jangan," ucap lelaki muda itu lembut. "Paman enggan menikah."
Mana terdiam.
"Kenapa?"
Lelaki muda itu tidak menjawab, hanya menoleh pada Komala membuat Mana penasaran.
"Kenapa, Pa?" Mana meminta Komala memberikan jawaban.
Komala mengedikkan bahu, "Entah."
"Pelit, ih," ucap Mana kesal.
"Nanti kamu nangis tujuh hari tujuh malam kalau tahu, nggak usahlah," sanggah Komala.
"Nggak akan! Ayo, dong, kasih tahu," rengek Mana.
"Dia suka lelaki," jawab Komala yang membuat Mana langsung menjerit. Gadis muda itu seketika bangun dan meninju gelas di depannya hingga jatuh dan pecah menjadi serpihan beling.
"Wow," ucap Komala takjub. "Mana makin kuat."
"Kacau," ucap lelaki muda itu sembari membersihkan gelas yang pecah dan membuangnya ke tempat sampah. Setelahnya, dia kembali duduk.
"Papamu bercanda," terangnya. "Mana masih sudah mengendalikan emosi ya?"
Mana hanya tertunduk malu.
"Jangan gitu," tegurnya sembari mengelus lembut pucuk kepala Mana.
"Salah Papa, tuh," kecam Mana.
Komala hanya memalingkan wajah, enggan menanggapi.
"Kesel ih, tiap hari bikin emosi. Papa itu nggak ada kelebihan lain selain bikin Mana emosi." Mana mulai mengomel.
"Nggak, kok," sanggah lelaki muda itu. "Bagi Paman, papamu paling the best. Paman fans nomer satu papamu."
"Hah? Kok bisa?"
Mana menoleh tidak percaya ke arah Komala, memandang lelaki tua itu dari ujung kepala hingga kaki. Dia cukup lama mengamati, tetapi belum juga mengerti mengapa paman yang dikaguminya bisa kagum pada sosok papanya yang sama sekali tidak bisa dipuji.
"Kenapa paman sangat ngefans sama Papa?" tanya Mana, penasaran. Dia menyerah berpikir sendiri.
"Cerita hidupnya, sangat luar biasa," sahut lelaki muda bernama Aksa itu. "Bisa dibilang, meski tidak semua langsung melihat, dengar cerita dari keluarga yang lain saja, paman udah ngefans."
Mana menautkan alis. Heran.
"Cerita hidup Papa luar biasa? Seluar biasa apa sampai lelaki tua yang suka mager ini jadi idola paman?" sindir Mana sembari menyipitkan mata ke arah Komala.
Komala hanya tertawa geli mendengar sindiran putrinya, tetapi tidak berniat memberikan jawaban sendiri, khawatir dianggap tinggi hati.
"Kalau papamu, usia 13 tahun udah mikir mau usaha apa dan gimana ngembanginnya. Sedangkan paman, usia segitu, lagi lari-lari buat finding nemo," jelas Aksa, paman Mana yang lahir satu April, 1990. Tahun ini, lelaki itu genap berusia 31 tahun.
Mana hanya terdiam, enggan menanggapi Komala yang tiba-tiba terbahak. Seandainya ada vas bunga dihadapannya sekarang, dia pasti sudah menghantam dirinya sendiri. Durhaka, jika kepala Komala yang dihantamnya. Lagipula, mengenai bisnis, Komala memang terlihat sangat serius. Namun, mengakui orang tua suka mager itu sangat hebat seperti menelan biji kedongdong untuk Mana. Terlebih, papanya adalah penyebab mengapa dia bisa bertunangan dengan lelaki menyebalkan macam Ribut. Sialnya, mulai besok, dia harus diantar-jemput Ribut. Sungguh, Mana ingin hijrah ke planet lain jika bisa. Sayang, Mana tidak seberani itu. Dia masih enggan meninggalkan Komala. Bagaimanapun, mereka hanya tinggal berdua dan mengandalkan satu sama lain.