Ribut sudah duduk manis di sebuah kafe dengan secangkir kopi cappuccino di depannya. Dia tidak sendiri, tetapi bersama seorang perempuan yang terlihat sangat gugup dan takut. Kepalanya tertunduk dalam, terpaku pada jemari yang diremasnya sendiri dengan kuat-kuat seolah sedang berusaha menyembunyikan perasaan kalut dan kelam yang dirasakannya saat ini. Keringat perempuan itu bahkan sudah sangat banyak, membuat pakaiannya sedikit basah. Tangan dan kakinya sudah mendingin, setengah beku, karena adrenalin terus bergejolak dalam jiwa dan detak jantung yang berdebar tidak karuan mengubek-ngubek isi perut sehingga membuatnya merasa mual dan ingin muntah. Tidak! Itu bukan perasaan cinta, suka atau sejenisnya, melainkan perasaan takut seperti sedang dimangsa. Padahal, mereka hanya duduk berhadapan