4. KEBENCIAN

1258 Kata
Pagi yang menyebalkan, setidaknya bagi Mana demikian. Ribut—tunangan yang tidak diharapkan, sekaligus cowok kutu kupret yang tidak disukainya, pagi-pagi sudah membuatnya naik darah. Lelaki itu sengaja menjemputnya di rumah lalu menurunkannya di tengah jalan. Mana dengan bodohnya percaya, untuk sesaat, kalau lelaki itu memang berniat baik. Namun, Mana tidak hanya dibuat sebal sampai di sana. Lelaki itu sengaja menunggunya, memberinya ucapan selamat pagi, padahal selama bekerja di perusahaan, lelaki itu tidak pernah menyapanya, apalagi di depan semua orang. “Sejak kapan kamu dan Boss menjadi dekat?” Riani, perempuan dengan tubuh sintal, kulit eksotis dan rambut ikal itu bertanya tanpa banyak basa-basi, membuat Mana hanya menghela napas panjang. “Kamu tidak mengerti atau bagaimana? Dia sedang mencoba mengibarkan perang. Lihat saja, setelah ini dia pasti menyiksaku dengan segala tingkah anak kecilnya,” jawab Mana geram. Riani berpikir sejenak lalu mengangguk memahami. “Ya, aku rasa kamu benar. Mengingat bagaimana hubunganmu dan boss selama ini, aku rasa kalian tidak akan pernah bersama, mustahil. ya kan?” Riani menyeringai, sementara Mana hanya tersenyum kecut. Faktanya, hal mustahil itu baru terjadi kemarin dan kepala Mana sakit setiap kali memikirkan kenyataan pahit tersebut. “Mana,” panggil Ribut membuat Mana tersenyum kaku. Batinnya menggerutu, benar kan? Dia pasti datang untuk menyiksaku lagi. “Nanti kita makan siang bersama, oke?” Ribut tersenyum lembut membuat kening Mana berkerut, heran sekaligus bingung. Apa-apaan dia ini? Batin Mana menjerit. Setelah mengucapkan hal di luar dugaan, Ribut segera pergi, meninggalkan Mana yang hanya bisa menatapnya penuh sejuta tanya, demikian pula Riani yang kemudian menatap Mana dengan penuh selidik. “Kamu benar-benar memulai sesuatu dengan Boss? Apakah tikus sudah jatuh cinta dengan Kucing?” Riani menyindir. Mana hanya mendesah kasar, “Aku tahu dia merencanakan sesuatu,” ucap Mana pelan. “Rencana untuk menggodamu? Berhenti bermimpi. Aku bahkan lebih cantik darimu.” Riani mendengus kasar lalu pergi meninggalkan Mana melongo heran. Perubahan sikap yang dramatis, mengingat mereka selalu mengobrol selama ini. Manusia memang tidak mudah ditebak. Sedikit saja terjadi perubahan, karakter mereka juga ikut terpengaruh. Mana tidak mau ambil pusing, kembali ke tempat duduknya dan melakukan pekerjaannya. Awalnya, Mana ingin cepat pergi, meninggalkan segunung pekerjaan yang masih menumpuk, jam makan siang sudah tiba, tetapi belum sempat kabur, Ribut sudah mendatanginya. “Mana, ayo makan siang bersama,” ajaknya membuat semua mata tertuju pada mereka. “Pekerjaan saya belum selesai, Boss,” tolak Mana dengan halus. “Lanjutkan nanti,” ujar Ribut dengan santai. “Tapi, Boss, saya tidak mengabaikannya. Jika tidak, saya harus lembur dan…” “Ïni perintah!” Ribut mengembangkan senyuman, tetapi manik mata hitam lelaki itu menatapnya tajam. Dia seolah tidak menerima penolakan. Mau tidak mau, Mana berdiri, berjalan di belakang lelaki itu. Namun, Ribut menarik tangannya, membiarkan perempuan itu berjalan di sampingnya. Semua perempuan di kantor—termasuk Riani mendengus melihat hal itu. Dia semakin geram denga kedekatan Mana dan Ribut yang sangat tiba-tiba baginya. Berbagai macam praduga bermunculan di kepala Riani, termasuk Mana sudah menghalalkan segala cara untuk menggoda Ribut—dengan tubuh mungkin—entahlah. Ribut dan Mana memasuki lift. Saat pintu ditutup, Mana nyaris menampar Ribut, tetapi lelaki itu dengan sigap menangkap dan menempelkan tubuh Mana ke dinding lift. “Tenang, Sayang. Aku hanya menggandeng tanganmu sebentar, bukan mencumbumu atau semacamnya? Kamu gagal mengendalikan diri huh?” Ribut menyeringai licik. Karakter kekanak-kanakannya mendadak hilang, menjadi seperti lelaki hidung belang menyebalkan. Bagi Mana Ribut seperti itu sekarang. “Apa yang kamu rencanakan huh? Bukankah kita sepakat untuk menyembunyikan pertunangan kita?” Mana menatap lekat Ribut. Matanya menjadi sedikit panas karena setengah melotot. “Santai, aku hanya mencoba mengubah citraku di depan matamu. Jika suatu saat ayahmu mampir berkunjung, dia tidak akan mendengar gosip seperti aku menyiksamu.” Ribut semakin menekan tubuh Mana membuat perempuan itu seperti tergencet. Tangan dan kakinya terkunci. Setelan sekretaris sialan yang dipakainya membuatnya semakin tidak bisa bergerak. Rasanya dia harus protes pada Menteri ketenagakerjaan soal pakaian sekretaris, di mana rok mini harus dihapuskan, diganti celana kain atau semacamnya. “Lagipula, ini yang kamu mau kan? Mustahil anak orang kaya sepertimu, tiba-tiba melamar menjadi sekretarisku dan kita berakhir bertunangan. Ini adalah rencanamu sejak awal kan?” tuduh Ribut. “Hah? Rencanaku? Jangan bodoh. Aku bekerja di sini tanpa tahu kalau kamu adalah pemiliknya. Mustahil aku mau bekerja di sini jika tahu kalau bossku adalah lelaki childish dan egois sepertimu!” bantah Mana tidak mau kalah. Ribut tergelak pelan, “Childish? Lihat siapa yang bicara? Kamu tidak lebih dari perempuan kuno yang hidup dengan terlalu serius,” balasnya. “Apa? Bukankah itu bagus? Daripada seorang lelaki yang selalu bersikap santai, tidak bertanggungjawab dan menyebalkan seperti seseorang!” Mana tidak gentar. Ribut menguatkan cengkramannya, membuat Mana merintih kesakitan. “Kamu meminta pertanggungjawabanku? Baiklah.” Lelaki itu melepaskan Mana membuat perempuan itu bernapas lega untuk sesaat. Kedua pergelangan tangannya terasa sakit, napasnya menderu karena tegang, takut dan marah. “Kita sudah bertunangan bukan?” ucap Ribut dengan tatapan menakutkan, membuat Mana menelan ludah. “Apa yang kamu pikirkan? Hentikan!” Mana tidak tahu isi kepala Ribut saat ini, tetapi entah bagaimana, dia merasa terancam dan ketakutan. “Apa yang mau kamu lakukan? Hentikan!” Mana mencoba menghalangi Ribut dengan tangannya, menghalaunya untuk menjauh dan memberikan jarak di antara mereka berdua. Ribut bergeming, hanya memberikan senyuman tipis yang membuat jantung Mana semakin ingin meloncat keluar. Lelaki itu seolah bom waktu yang siap meledak kapan dan di mana saja. Sepertinya, Mana telah salah bicara sehingga membuat emosi lelaki itu tidak terkendali. Selama ini, meski saling membenci, Ribut tidak pernah sampai menyentuhnya. Lelaki itu bahkan seperti jijik dan enggan berdekatan dengannya. Rasanya mustahil melihat mata menakutkan hidung belang di manik mata lelaki seperti itu. Bulu kuduk Mana meremang. Perempuan itu melirik lift yang tidak juga terbuka. Lift sialan. Mana tidak bisa lagi menahan diri untuk mengumpat, meskipun hanya di dalam hati. Ribut mendekat, pintu lift terbuka. Mana segera mengambil kesempatan itu untuk pergi, tetapi tangannya ditarik. Lelaki itu menahan Mana dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya menerobos masuk ke leher perempuan itu, menyibak rambutnya dengan paksa dan membuat lehernya sedikit mengejang saat terjadi gesekan di antara kulit tangan lelaki itu dengan leher Mana yang jenjang. Ribut mendekatkan wajahnya, menatap Mana yang kini juga menatapnya. Bibir tipis Mana berwarna merah muda hari ini, beraroma apel sedikit. “Aku akan bertanggungjawab,” tegas Ribut lantas mengecup perempuan itu dengan cepat dan melumatnya tiga detik kemudian. Mana mencoba menolak, tetapi Ribut bukan tandingannya. Sekali ini, ini semua mungkin karena setelan yang dipakainya hari ini. Ciuman berakhir, Ribut segera menarik Mana keluar lift, membuat perempuan itu terengah-engah dengan segala yang terjadi di antara mereka dalam waktu singkat. “Apa yang…” Mana menyeka bibirnya yang lembab, mungkin sedikit basah. “Kamu…” Mana kehilangan kata-kata. Air matanya tiba-tiba mengalir turun. “Kenapa kamu menangis?” Ribut kebingungan. Mana menatap kesal dan marah ke arah Ribut. “Itu ciuman pertamaku, b******k!” Mana menendang tulang kerin Ribut membuat lelaki itu berteriak kesakitan. “Sialan. Apa yang…” Ribut tidak menggenapi kata-katanya, air mata Mana semakin menjadi. “Aku membencimu,” ujar perempuan itu lantas memilih untuk pergi, meninggalkan Ribut yang hanya mengusap kakinya yang kesakitan. Ribut tidak berniat untuk melakukannya, ciuman itu, tetapi Mana memprovokasinya dan semua ini tentu bukan sepenuhnya salahnya. Ribut mencoba berpikir demikian, tetapi air mata Mana tentu membangkitkan rasa bersalahnya. Bagaimanapun, dia tidak pernah bermaksud menyakitinya, meskipun mereka saling membenci. Ribut segera mengejar Mana, ingin meminta maaf, tetapi perempuan itu sudah tidak ada. Pergi, pulang mungkin. Entahlah. Saat bertanya pada Riani pun, perempuan itu hanya menjawab tidak tahu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN