Satu Jam kiranya ia menahan diri dari segala cemas yang ia abaikan sejak awal. Kanaya bergantung dan berpegang teguh pada Batara agar merasa aman ditempat umum yang didatanginya. Tapi seiring berjalannya acara, Batara semakin sibuk dengan para kolega dan kenalannya. Berkali-kali Kanaya membuat alasan agar tidak perlu beramah tamah dengan mereka semua. Ia merasa asing dan tidak nyaman dengan lingkungan pergaulan Batara.
Kanaya merasa tidak percaya diri dan yang paling menyedihkan adalah ia lupa cara berbasa-basi.
“Ayo, saya kenalkan dengan group pengelola Taman Akasa”
“Ah, aku lapar. Mau ke stand makanan dulu, sok duluan nanti aku nyusul”
“Ayo, saya kenalkan dengan teman lama saya”
“Ah, aku mau minum itu, haus… sok aja aku ga usah ikut”
Dan alasan-alasan lainnya. Hingga kini Batara tengah sibuk mengobrol dengan sahabat lamanya dan melupakan keberadaan Kanaya sama sekali. Sementara gadis muda itu mulai menyendiri di ujung ruangan seraya menggenggam segelas air putihnya erat-erat. Alarm tubuhnya sudah memberi pertanda, ia merasakan keringat dingin mengalir dari kening, telapak tangan dan punggungnya, Kanaya mulai merasa cemas luar biasa atas kekosongan posisi Batara sejak lima belas menit yang lalu kepergiannya.
Rasa cemas itu semakin menumpuk, merayap dan memenuhi seluruh penjuru tubuhnya. Perutnya seperti diaduk-aduk dan ia mules luar biasa. Kanaya membanting gelasnya cukup keras dan meninggalkan ruangan dengan langkah lebar-lebar.
Tujuan utamanya adalah toilet. Bukan untuk buang hajat, tapi untuk menenangkan diri. Setelah bermenit-menit bersembunyi dan mengatur nafas, berusaha menurunkan rasa cemasnya didalam toilet, akhirnya perut Kanaya berhenti berputar dan rasa mulas itu pun berangsur menghilang. Respon tubuh Kanaya ketika cemas benar-benar menyusahkannya. Usahanya “menormalkan diri” selama ini terasa mulai sia-sia, sampai kapan ia harus merasa cemas dan panik ditempat umum seperti ini?
Kanaya mengecek jam tangan berlapis berlian pemberian Batara dihari ulang tahunnya ke dua puluh lima itu, dan ternyata sudah setengah jam lebih dirinya bersembunyi disana, Batara sang harta karun itu pasti sudah mencarinya.
Kanaya menarik nafas panjang lalu membuangnya dengan keras sekali lagi, mencoba meyakinkan diri bahwa semua masih dibawah kendali. Setelah keyakinan itu terkumpul, ia mulai melangkahkan kaki keluar toilet hanya untuk menemukan sepasang mata tajam yang telah menantinya didepan sana.
Selama sepersekian detik Kanaya tertegun mendapati tatapan penuh intimidasi dari seorang pria dengan penampilan necis yang sedang bersandar pada tembok putih yang sangat kontras dengan pakaian hitamnya. Ekspresinya datar, tapi terkesan sedang kesal karena sudut-sudut matanya menyipit. Ada banyak hal yang bisa ditafsirkan dari mata pria berambut hitam yang disisir rapih ke belakang itu, tapi butuh waktu lama bagi Kanaya untuk menjabarkannya satu persatu.
Ada rindu, penasaran, amarah dan… oh sebaiknya Kanaya tidak menelaah tatapan itu lebih dalam. Lelaki dimana-mana sama saja! Dasar m***m!
Kanaya yang merasa pernah melihat kening dan wajah indah itu –tapi lupa dimana, lebih memilih membuang muka untuk mengabaikannya dan berlalu meninggalkan pria itu dibelakang. Untuk saat ini tidak ada yang lebih penting daripada tambang berliannya yang mungkin sedang menantinya ditengah pesta.
“Can we talk?” ujar suara di belakangnya. Suara berat dan rendah. Kanaya merinding hanya dengan mendengarnya saja. (Bisa kita bicara?)
Ia menoleh dan bisa menebak bahwa pria itu berbicara padanya. Bukan pada orang lain. Karena tidak ada siapa-siapa lagi disekitar selain mereka berdua.
They say, never trust an opener ‘can we talk’ conversation from a stranger.
(Mereka bilang, jangan pernah percaya pada pembuka percakapan “bisa kita bicara?” dari orang asing).
Ganteng sih, tapi terlalu mencurigakan. Dia berdiri didepan toilet seolah memang sedang menunggu momen ini, dan kemudian tiba-tiba saja bertanya ‘can we talk’. Soooo creepy. (sangat mengerikan)
“Hmn… Sorry, but my man is waiting for me..” seharusnya penolakan halus itu bisa menjadi easy escape bagi Kanaya, tapi pria itu dengan agresif mendekatinya dan seolah mengkonfrontasinya melalui mata dengan mata dalam posisi yang sangat dekat. (Hmn, maaf, tapi priaku sedang menungguku)
“Saya bisa memberimu lebih dari yang priamu berikan” cegah pria itu sebelum Kanaya berhasil berlalu dari hadapannya.
Kanaya mengernyit, bagaimana bisa pria asing ini berkesimpulan seperti itu?
“Saya bisa memberimu seluruh unit di gedung apartemen itu jika kamu mau menjadi milik saya” Pria itu menatap Kanaya dengan bersungguh-sungguh. Rasa percaya diri menguar begitu kuat dari keyakinan dan bahasa tubuhnya yang begitu santai saat menawarkan hal itu.
Kana menelisik sosok yang berdiri di depannya ini, sosok yang memiliki kepercayaan diri yang melangit, tidak heran kalaupun dia bisa bersikap sekurang ajar ini. Lihatlah penampilannya yang memiliki pembawaan santai tapi tetap memancarkan sisi superior yang sepertinya sudah mendarah daging dalam tubuhnya. Satu setel pakaian limited edition yang mungkin hanya diciptakan untuk dirinya telah melekat sangat pas ditubuhnya, ditambah wajah indah bak tokoh-tokoh fiktif dalam dongeng masa lampau.
Pria itu seolah memiliki segalanya. Tapi apa dia bilang tadi? Memberikan seluruh unit apartemen sebagai pertukaran agar dia bisa memiliki Kana? apa dia sudah gila? Ya, dia sudah gila. Wajahnya terlalu serius dan matanya menyorot sangat tajam untuk disebut sebagai candaan.
Rupanya, Dia memang benar-benar gila!
“Wow, kamu menguping?” Kana tidak tahu apakah ini reaksi yang tepat untuk ia berikan saat ada seorang pria muda super menawan menawarimu seluruh unit di gedung apartemen Taman Akasa secara gratis hanya dengan syarat kamu mau menjadi miliknya.
Persetan! Kanaya tidak suka manusia pengganggu seperti pria aneh ini.
Pria itu mengerjap beberapa kali setelah mendengar pertanyaan Kanaya, merasa terkejut dengan responnya, “Ya, saya mendengarnya”
“Jawaban cerdas, dia tidak mengakui perbuatannya menguping dan hanya mengeluarkan satu kalimat pendek, yang jika dijabarkan akan menjadi, saya mendengar dan mendengar bukan berarti atau tidak selalu menguping” Fikir Kanaya.
“Sebenarnya, itu tawaran yang menarik. Tapi saya tidak bisa mengambilnya. Terimakasih banyak atas tawaranmu” Kanaya baru akan berbalik ketika pria itu menghentikannya lagi.
“And why? Kenapa kamu tetap bersama pria tua itu?” Kanaya menangkap desakan rasa ingin tahu sekaligus amarah terpendam dari sosok tampan yang menahan posisinya agar terus berdekatan.
Kanaya merasa seharusnya dia mulai mempertimbangan cara-cara aman untuk melarikan diri dari pria creepy ini!
“Saya orang yang setia. Itu saja” Kanaya mencoba melepaskan genggaman erat pria itu ditangannya.
“Untuk apa? Pria itu terlalu tua untukmu. Kamu memiliki saya sebagai pilihan, saya bisa memenuhi segala hasratmu pada uang dan terutama hasrat wanita muda sepertimu di atas ranjang! Tua Bangka itu pasti tidak akan mampu memuaskanmu” pria itu menyerocos dan Kanaya memutar bola matanya saat mendengar kesimpulan lain yang pria itu muntahkan, disaat itu juga bayangan kejadian beberapa waktu lalu tiba-tiba muncul dikepalanya.
Kini Kanaya ingat dimana ia pernah melihat lelaki m***m dan tidak tahu adat ini!
Dia adalah kekasih Kak Devina Jo!
Dia dan pria ini pernah saling bertatap muka dan curi pandang di dalam toilet club!
Dasar pria b******k!
Berani-beraninya dia mengurusi urusan ranjang orang lain!
Kanaya menarik nafas dan langsung menghembuskannya keras, “Pertama-tama, alasan itulah yang membuat saya memilih dia. Saya tidak perlu repot-repot mengurusi urusan ranjangnya karena tubuhnya terlalu lemah disana, lagipula tanpa perlu melakukan apa-apa aku bisa menerima unlimited amount of wealth as long as I want it…” (sejumlah kekayaan yang tidak terbatas selama saya menginginkannya)
Kanaya berhasil melepaskan pergelangan tangannya saat pria itu lengah karena terkejut mendengar jawabannya, “Jadi, buat apa saya terima kamu dan capek-capek mengurusi ranjang bau mu itu!”
"Galaknyaaaaaa!" keluh pria itu dalam hati.
Pria itu terdiam, terlalu shock untuk membalas tajamnya hinaan Kanaya, dan Kanaya memilih untuk melanjutkan, “Kedua, saya kasih saran aja yah, dengerin baik-baik, jarang-jarang saya kasih saran ke orang nih….” Wanita itu berkacak pinggang dan telunjuknya menekan-nekan tepat didada sang pria yang terlihat bengong dan bodoh didepannya ini, “Jadi silahkan, kembalilah kamu pada Devina Jo atau wanita manapun yang kamu inginkan, yang penting bukan saya…”
“Tapi saya mau kamu…” pria itu bersikeras setelah berhasil mengembalikan perhatiannya yang sempat melayang.
“Tapi saya tidak mau kamu” Kanaya tidak mau kalah. Ia membentak galak.
Lelaki ber-ego besar ini mulai merasa tersudut, ia seperti berada di ujung jurang kekalahan dalam permainan saham. He risks it all. Dia akan meresikokan segalanya demi memenangkan wanita ini. Hanya demi wanita keras kepala yang dia nanti bertahun-tahun lamanya.
“Saya bisa memberimu seluruh Taman Akasa!” ia melempar umpan yang ia yakini tidak akan mungkin ditolak oleh ikan mata duitan ini.
Mendengar hal itu membuat kesabaran Kanaya habis dan ekspresi wajahnya mulai mengeras. Matanya melebar dan nafasnya berubah tak teratur, membuat sang pria mulai siaga tingkat satu.
“You are very creepy and I hate it! GO FIND SOMEONE ELSE” teriaknya. (kamu sangat menyeramkan dan aku membencinya! Pergi temukan orang lain)
Dua manusia dengan nafas memburu, saling memandang penuh emosi dan berusaha mengintimidasi satu sama lain. Begitu intens, seolah sedang beradu kekuatan. Siapa yang akan menyerah terlebih dahulu dan memenangkan pertempuran.
“Kana!” suara panggilan yang keras itu menghentikan konfrontasi keduanya. Segala ketegangan terpaksa diredam dalam-dalam. Rasanya Kanaya ingin memberikan kecupan tanpa batas pada pria bernama Batara yang sudah bau tanah dan penuh keriput itu, karena Batara telah berhasil menemukannya disaat yang tepat dan menyelamatkannya dari pria m***m nan k*****t!
“Nah, my man is calling. Sudah waktunya saya pergi. Selamat tinggal” Kanaya si letoy tapi bisa gesit disaat tersudut itu mengambil langkah seribu. Berlari-lari kecil menuju Batara sang pahlawan yang ada di ujung jalan. Meninggalkan si m***m yang berkubang dalam kekalahan.
***