8. Galaknyaaaa, Keluh Kama.

3723 Kata
“Kita sudah terlambat tiga puluh menit, Pak”. Ari melirik melalui kaca spion yang terdapat di bagian dalam mobil. Mencoba memberi peringatan pada Kama yang sedang duduk diam sambil bersandar dalam posisi ternyaman yang mampu ia lakukan di kursi penumpang. Matanya tertutup dan kedua pergelangan tangannya tersembunyi di dalam saku celana. “Pasti mustahil menghindari omelan papa, kan?”. Ari terdiam karena tidak memiliki alternatif alasan yang bisa direkomendasikannya pada Kama. Selama dua hari belakangan, Kama dan keluarga besarnya menghabiskan waktu santai di salah satu hunian di Taman Akasa. Waktu berkualitas yang mereka nikmati sambil berbincang-bincang dan makan bersama. Saling merangkul dan mendekap. Melampiaskan rasa rindu yang menumpuk akibat sedikitnya waktu luang yang mereka punya. Selama momen itu berlangsung, Kama lebih banyak menghabiskan waktunya di area belakang dari hunian tempat mereka menginap, pada bagian itu Kama bisa menikmati pemandangan birunya langit yang tercermin pada jernihnya danau, hijaunya pepohonan yang daunnya berayun manja diterpa angin dan bukit-bukit yang menjulang tinggi nun jauh di sana. Kama pun bisa menikmati udara sejuk dan segar khas daerah perbukitan yang hampir setiap waktu menyapanya setiap saat. Salah satu hunian ternyaman untuk disinggahi bersama orang-orang tersayang di Taman Akasa. Berjam-jam Kama menghabiskan waktu disana. b******u dengan segala emosinya dalam keheningan. Ari bahkan tidak cukup berani untuk mengganggu waktu tenang bosnya itu. Berkat kabar buruk yang ia terima hari ini, Kama memilih untuk mengundur-undur jadwal keberangkatannya menuju acara perayaan hari jadi Taman Akasa dan memilih bertahan di tengah alam terbuka. Awalnya hanya lima menit, lalu lima menit lagi, hingga berpuluh-puluh menit berlalu tak terasa. Akhirnya Kama kehabisan waktu untuk bersiap-siap dengan layak dan memutuskan untuk mengenakan apapun yang disiapkan oleh tangan kanannya. Kemeja dan jas formal berwarna hitam yang sangat pas ditubuhnya. “Mungkin saat ini Tuan Akasa masih sibuk meladeni tamu, semoga beliau tidak menyadari keterlambatan Pak Bos”. Ari mencoba menenangkan.  Kama mengangguk mengamini perkataan Ari tanpa membuka mata sedikitpun, ia masih setia dengan posisi nyamanya di bangku penumpang. Dirinya berharap jangan sampai papa mengetahui keterlambatannya untuk datang ke acara ulang tahun Taman Akasa, karena manusia disiplin yang satu itu tidak akan mau menerima alasan keterlambatan apapun, apalagi jika mengingat jarak tempatnya bermalam dan hotel tempat acara berlangsung hanya sepuluh menit berkendara saja. *** Ruangan pesta itu sudah dipenuhi tamu undangan, ia berdiri tegak disisi Papa dan Mamanya yang masih mengobrol dengan tamu undangan silih berganti. Sesekali Kama menimpali, tapi lebih sering mendengarkan dan mengamati para tetua yang sedang berdiskusi. Matanya yang tajam menatap lurus dengan wajah datar tidak berekspresi sama sekali. Terkadang senyum manisnya muncul ke permukaan hanya untuk beberapa detik dan kemudian hilang kembali ditelan oleh rasa bosan yang tak terperi.   Kama adalah anak bungsu dari tiga bersaudara, ia memiliki dua kakak yang terlahir kembar, laki-laki dan perempuan. Tapi di antara keduanya tidak ada satupun yang bisa diandalkan dalam urusan bersosialisasi, berpesta dan muncul di muka publik seperti dirinya. Dia –dulunya- adalah satu-satunya anak yang dianugerahi kemampuan membaur, supel dan mudah berteman. Jadi, tidak heran jika kini tidak ada satupun dari para tamu undangan yang repot-repot mempertanyakan keberadaan Dhika dan Dwika, karena mereka sudah terbiasa dengan ketidakhadiran dua anak kembar itu dan sudah cukup puas dengan kehadiran Kama saja. Dua introvert menyebalkan itu pasti sedang mencumbu pasangannya masing-masing, sementara Kama dikorbankan untuk menjadi tumbal yang harus menghadapi berbagai jenis pertanyaan yang melanggar batas privasi dari Om, Tante atau Kolega yang terlalu perduli dengan urusan hidupnya. Tentang kapan ia berencana menikah, siapa yang akan dia nikahi dan bahkan tentang semua skandal dan rumor yang bertebaran tentangnya tak luput dipertanyakan oleh mereka. Dulu Kama sangat senang datang ke acara seperti ini, dia akan berkeliling, membangun relasi dan membuat obrolan dengan banyak orang. Tapi, semakin ia dewasa, semakin ia irit bicara, semakin malas ia hadir disana. Kama sudah kehilangan minat pada keramaian yang ada. “Pak Bos”. Ari memanggil Kama dengan nada rendah, orang yang bekerja sebagai tangan kanannya itu membuat ekspresi wajah yang Kama hafal, ekspresi yang memberi sinyal bahwa ada sesuatu yang serius dan rahasia yang harus ia sampaikan. Kama pamit pada Papa dan merangkul Ari menjauh dari sana. “Didekat pintu masuk, disamping Tuan Batara”. Mata Kama mengikuti instruksi Ari dan mencari nama yang tidak asing baginya itu. Batara Tampubolon, salah satu kolega dan investor mereka. “Saya merasa wanita itu mirip dengan wanita yang anda cari” tambah Ari. Kama terpaku melihat Batara berdiri bersisian dengan seorang wanita yang tidak hanya mirip, tetapi memang benar adalah wanita yang ia cari selama ini. Wanita yang memiliki kebiasaan menghilang dan muncul kembali. Akhirnya, Kama menemukan wanita itu lagi! Inilah takdir, inilah yang Kama yakini sebagai takdir. “Hubungi Ferdian, suruh dia datang secepatnya!”. perintah Kama tegas dan cepat, memberikan tatapan tajam menusuk agar anak buahnya itu benar-benar memastikan perintahnya terlaksana. Kama melesat meninggalkan Ari yang saat itu sedang mengutak atik ponselnya dan memulai panggilan teleponnya pada  Ferdian, Kama begitu bersemangat melangkahkan kakinya menuju tempat wanita itu berada. Baru kali ini Kama merasakan suntikan harapan pada setiap langkah yang ia ambil. Semakin banyak langkah sang kaki, semakin penuh harapan itu terisi. Hatinya pun seperti disusupi sesuatu yang tak kasat mata, yang pada akhirnya berhasil membuatnya tersenyum lebar tanpa paksaan untuk pertama kalinya malam ini. Seluruh tubuhnya seolah  memancarkan aura kebahagian yang tidak akan pernah mampu ia tutupi. Ia begitu bungah dan berseri-seri. Tak sedetikpun Kama melepaskan tatapan dari objek yang selama ini ia cari-cari, takut jika ia bekedip sekali saja, maka wanita itu akan hilang tanpa ia sadari. Semakin ia tatap, semakin ia yakin bahwa ada sesuatu yang magis, yang sulit dijelaskan dari keterkaitannya dengan  wanita yang satu ini. Akhirnya… akhirnya Tuhan memberikannya kesempatan lagi! Kama memperhatikan wajah jutek dari wanita yang sedang menatap malas ke arah pembawa acara di atas panggung, dirinya yakin bahkan sang pembawa acara akan menciut saat melihat wajah jutek yang terpampang itu. Ditambah kini, mulut wanita itu mulai mencebik membuat dirinya terlihat semakin menyebalkan tapi sekaligus menggemaskan. Aneh sekali, ‘kan? Jarang-jarang ada orang yang bisa membuat Kama menyandingkan kata menyebalkan dan menggemaskan dalam satu kalimat yang sama.  Langkah Kama yang cepat dan penuh semangat itu mengendur tiba-tiba. Mata Kama terpaku ketika dilihatnya Batara menarik lengan wanita itu hingga melingkar dilengan Batara, dilanjutkan dengan telapak tangan Batara yang bebas mulai terangkat lalu membelai pipi gembul wanita itu dan dengan kurang ajarnya belaian tangan Batara mendarat di dagunya, menjepit dagu itu dengan dua jari sambil menggoyangkan ke kiri dan kanan dengan gemas.  Senyum bahagia muncul dari bibir keduanya. Senyum yang tidak Kama sukai. Apa hubungan mereka berdua? Kening Kama berkerut dalam, aura bahagia itu lenyap seketika, digantikan oleh aura dingin dan tatapan tajam bagai elang yang sedang memangsa makan malamnya yang hampir diambil saingannya. Selama ini Kama tidak pernah takut untuk bersaing dengan siapapun, tapi dia tidak pernah tertarik untuk terjun dalam persaingan mendapatkan wanita, tidak perlu repot-repot bersaing, wanita manapun akan tunduk di bawah pesonanya. Kama tercipta untuk menjadi pemenang disetiap pertarungan, tidak perlu dirinya membahas uang atau mencatut nama Atmajaya di belakangnya, Kama sudah pasti menang hanya dengan paket lengkap kelebihan fisik dan wibawa yang sulit ditolak. Tapi demi wanita ini, Kama siap bersaing mempertaruhkan apapun. Kama siap masuk arena pertempuran untuk memilikinya. Tidak perduli seberapa banyak upaya yang harus ia keluarkan. Kama mau dia. Hanya dia. Langkah Kama akhirnya mencapai tujuan. Tapi Kama memilih untuk berdiri tepat di belakang mereka. Dalam jarak yang membuat Kama bisa mendengar semua percakapan yang terjadi di antara keduanya. Saat itu Kama merasa beruntung karena ia mampu mengendalikan emosi dan keinginan terdalamnya untuk menarik tangan wanita itu dan membawanya menjauh dari ruangan pesta. Ia masih cukup waras untuk tidak merusak momen pesta ini dengan keributan. Batara Tampubolon adalah sahabat mendiang kakeknya sekaligus rekanan bisnis yang penting. Kama tidak bisa sembarangan mencari masalah tepat di depan wajah lelaki tua itu. Beberapa orang yang ada di sana mengenali Kama dan mencoba mendekat, tetapi Kama mengabaikan mereka, membuat mereka berpamitan dengan sendirinya. Diantara banyaknya suara yang mengisi ruangan itu, Kama hanya memfokuskan telinganya pada percakapan Batara dan wanita yang menemaninya. “Should be nice and comfy ya, kalau punya unit disini?”.  Suara wanita itu terdengar halus dan menyenangkan sekaligus. Sangat berbeda dengan suara berisik yang Kama dengar di toilet club beberapa minggu sebelumnya, ketika wanita itu berteriak dan mengumpat tanpa ampun pada orang yang saat itu diteleponnya. “Villa maksud kamu? Saya sudah punya”. Jawab Batara, suaranya terdengar angkuh, membuat Kama sebal. “Oh really? That’s nice. Kalau apartemennya?”. Wanita itu terdengar sangat tertarik dengan jawaban Batara, sekilas Kama bisa menangkap ekspresi senang dan lesung pipi yang terkembang disana. Manis sekali. “Kenapa? Kamu mau?”.  Alis kanan Kama terangkat tinggi ketika pertanyaan itu dilontarkan. Sementara salah satu tangannya yang memegang gelas minuman mulai mengetat erat. Ingin sekali Kama menyela di antara mereka dan berkata, bahwa dirinya juga bisa memberi segala hal yang wanita itu pinta. Wanita itu menoleh sepenuhnya dan bahkan memutar tubuhnya untuk menghadap Batara, senyum cerianya mengembang dan nada suara yang sebelumnya terdengar halus, berubah menjadi manja dan memohon, yang berhasil membuat kedua alis Kama terangkat tinggi. “Villa is too creepy kalau buat aku sendiri, jadi aku mau apartemennya aja, ya?” Kama berharap setelah ini dirinya bisa mendapatkan kesempatan untuk mendengar suara wanita ini memohon dibawah kuasanya agar bisa mendapatkan apapun yang dia inginkan. Kama tidak keberatan. Sama sekali tidak. Kedua kepalan tangan Kama mengetat dan nafasnya tertahan ketika dilihatnya Batara merunduk dan kembali menarik dagu wanita itu hingga membuat pandangan mereka sejajar. Wanita itu bertubuh pendek, hanya setinggi d**a Kama. Mata Kama turun untuk memastikan apakah wanita itu memakai high heels atau tidak, dan Kama merasa keputusannya itu adalah sebuah kesalahan. Nafas Kama yang sebelumnya tertahan berubah menjadi tercekat saat matanya menelusuri bagian belakang tubuh wanita itu. Lekukan yang ia suka terpampang disana, terang-terangan memprovokasi Kama yang berada di belakangnya. Sepatu converse, jeans dan kaos putih yang ketat yang memamerkan semua kelemahan Kama terhadap wanita. Kama jadi teringat malam dimana pertama kali mereka berjumpa di toilet club. Wanita itu berhasil membuat Kama mengerahkan seluruh pertahanan diri dan moralnya untuk tidak menelusuri tubuhnya yang dibalut oleh gaun hitam ketat  yang melekat pada tubuh berlekuknya dengan erat. Penampilan yang pada akhirnya berhasil membuat Kama menyerah kalah dan berujung dengan memperhatikan seluruh pesona itu dalam fokus penuh. Sejak malam itu, Kama dihantui oleh ingatan tentang bagaimana pinggul dan d**a wanita itu bergerak saat meninggalkan toilet dengan tergesa, Kama menelan ludah seperti orang bodoh setiap kali mengingatnya. “Kuncinya hanya tiga, Be my sweet little girl, berhenti membantah dan nurut, you okay with that?” . Kama hampir tersedak ludahnya sendiri, sepanjang interaksinya dengan  Batara –yang sangat minim selama ini, Kama tidak pernah sekalipun mendengar lelaki tua itu berkata lembut dan halus seperti yang diucapkannya sekarang. Lelaki itu adalah orang yang berwatak tegas dan juga berbicara dengan nada keras sesuai khas asal muasal daerah tempatnya berasal. Batara pun terkenal dengan kesetiaanya pada mendiang sang istri hingga tidak pernah mencari penggantinya selama menduda. Setia, my ass! Lihat nih, sekarang pria tua Bangka ini justru ketahuan bermain-main dengan wanita yang jauh lebih pantas menjadi cucunya! “Asiaaaap, pak bos!”. Kesabaran Kama habis tak bersisa saat melihat bagaimana wanita itu mengecupkan bibir ranumnya dipipi kusut Batara, tidak hanya sekali, tapi berkali-kali! Kama hampir bergerak maju untuk memisahkan kedua orang tidak tahu malu di depannya itu, merangsek memukuli tubuh sepuh yang pasti akan babak belur dibawah amukannya, tapi beruntung Ari sudah berdiri kembali di sisi Kama dan menahannya. Kama mendesah tak sabar. Bagaimana mungkin, lelaki bau tanah itu meminta seorang wanita muda untuk mengecup pipinya secara terang-terangan di tempat terbuka seperti ini? skandal macam apa yang ingin dia ciptakan untuk merusak reputasinya? Sehebat apa wanita ini sampai membuat Batara yang terkenal kolot, memegang teguh prinsip-prinsip tradisional dan merupakan orang yang sulit didekati karena watak kerasnya bisa berubah sedrastis ini? Kama memutar kepalanya, mencari-cari Jonathan, pria b******k yang adalah cucu  semata wayang Batara. Apa Jonathan tahu kalau kini kakeknya bermain-main dengan wanita muda seperti ini? Kama menemukan Jonathan berdiri jauh darinya, sedang serius mengobrol sambil didampingi seorang wanita yang tak kalah b******k dari Jonathan. Kama berdoa kedua pasangan Tampubolon itu berpisah dan tidak pernah bersatu untuk selamanya. *** Kama memperhatikan wanita itu menyendiri di ujung ruangan, sibuk memandangi gelas yang ada ditangannya. Gelas yang isinya masih penuh dan bahkan kristalnya tidak pernah menyentuh bibirnya sekalipun. Wanita itu terlihat gelisah dan tidak nyaman berada di keramaian. Bahasa tubuhnya menyiratkan kedua hal itu. Sejak tadi Ari berdiri di sisinya, memastikan Kama tidak mengganggu wanita itu ditengah pesta yang sangat ramai ini. Ari berkata bahwa, walaupun sekarang Batara sibuk mengobrol dengan kawan lamanya, tetapi pria tua itu tidak melepaskan pengawasannya terhadap wanita itu sedikitpun. Jadi, dari pada mencari gara-gara dengan lelaki keras seperti Batara, lebih baik tuannya ini bermain aman dan menunggu kesempatan dalam diam. Selain itu, siapapun bisa melihat bagaimana mata Kama bersinar penuh “rasa ingin” pada wanita yang sedang menyendiri itu. Ingin memiliki, ingin memeluk dan ingin lainnya. Karena itu Ari berfikir, Jangan sampai Batara menangkap sinyal keberadaan predator yang sedang mengincar wanitanya. Hal ini bisa menjadi bahaya besar. Tidak hanya bagi Kama tetapi juga bagi hubungan baik kedua keluarga. Semua orang tahu sebesar apa Atmajaya group dan kemampuannya, sementara Batara Tampubolon tidak bisa dibandingkan dengan liga bisnis keluarganya. Tapi entah kenapa, Batara memiliki pengaruh besar di kalangan bisnis mereka. Lelaki tua itu memiliki kharisma yang membuat semua orang akan manut dan mempertimbangkan setiap nasihat bijaknya. Lelaki itu ditakuti, sekaligus dihormati. Besarnya jumlah orang yang mempercayainya, sebesar itu pula kehancuran yang akan kau dapat jika kau mulai berselisih jalan dan paham dengannya.  Oleh karena itu, Kama sabar menunggu kesempatan luang itu. Dan kesempatan itupun datang segera setelah Kama hampir kehilangan kesabarannya. Wanita itu bergerak keluar ruang pesta dan Kama segera menggerakkan kakinya, mengekori dalam jarak aman kemanapun wanita itu melangkah. Sementara Ari dengan senang hati mengikuti tuannya, berharap bisa menjadi saksi ketika akhirnya Sang Arjuna bisa berkomunikasi dengan orang yang dia cari selama ini. *** Tanpa perlu bertanya sekalipun, Kama sudah tahu tempat tujuan wanita itu. Ladies Room. Ia mencatat kebiasaan itu baik-baik di dalam kepalanya. Wanitanya tidak menyukai atau tidak nyaman berada di keramaian. Wanitanya akan mencari toilet untuk menenangkan diri atau mengomel-ngomel, melampiaskan perasaanya. Kama memilih untuk tidak memaksa masuk ke dalam ladies room dan menunggu wanita itu menyelesaikan urusannya di dalam sana. Bermenit-menit Kama lalui dalam penantian di depan ladies room, mengabaikan pandangan mata dari para wanita yang keluar silih berganti dengan tatapan aneh, seolah menuduhnya  pria tampan nan c***l yang menunggui toilet wanita. Tapi Kama tidak perduli dengan mereka semua, yang ia perdulikan adalah badai yang sedang berkecamuk liar di dalam dirinya. Kini wanita itu berada dalam jangkauannya, membuat Kama mendapatkan sebuah kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya dimasa lalu. Tapi sayangnya, wanita itu muncul dalam sosok yang berbeda, sosok yang tak pernah Kama bayangkan sebelumnya. Dia telah berubah, tidak seperti yang Kama kenal sebelumnya. Mungkin ini wajah aslinya. Mungkin semua spekulasinya  selama ini telah salah. Atau mungkin ini adalah hasil dari kelalaian Kama. Jika saja dulu Kama tahu lebih cepat tentang kesulitan yang sedang dihadapinya, tentang apa yang terjadi dalam hidupnya, apa yang terjadi pada kedua orangtuanya. Mungkin wanita ini bisa terselamatkan dan akhirnya Kama bisa bertemu dengan wanita yang dahulu dia kenal. Kama teringat bagaimana dengan mudahnya wanita ini menolak tawaran pria muda di club malam dengan alasan full-booked hanya untuk berakhir bersama lelaki tua nan kaya raya yang bahkan memiliki usia terpaut jauh darinya. Bagaimana bisa? Hal itu membuat Kama tak habis fikir. Ia tidak terima dan murka dibuatnya. Sebesar itu pengaruh uang dalam hidupnya. Sebesar itu ia telah berubah. Wanita ini lebih rela berakhir dengan kakek renta yang bahkan tidak pantas untuk mendampinginya. Apa wanita ini berharap menjadi istri muda yang akan mewarisi harta Batara? Apa dirinya fikir, dia mampu mengalahkan Nathaniel dan Jonathan dalam pertarungan memperebutkan warisan!? Brengsek, wanita dimana-mana sama saja. UANG, UANG DAN UANG! Kama bersumpah akan mengembalikan wanita itu sebagaimana dirinya yang dulu pernah Kama kenal. Mengingatkan dia tentang siapa dirinya yang sebenarnya. Seorang gadis manis yang memiliki prinsip! *** Wanita itu akhirnya keluar dari dalam toilet dan cukup terkejut melihat keberadaan lelaki yang sedang menatapnya begitu tajam. Tanpa gentar, dia balas menatap Kama dengan sama tajamnya, menelusuri Kama seperti sedang mengingat-ingat tentang sesuatu yang entah apa itu. Diantara tatapan tajamnya, Kama mendapati kilatan kekaguman yang terpancar dari mata wanita itu. Tapi sayangnya tatapan itu hanya bertahan selama beberapa detik dan wanita itu memilih untuk berlalu dari hadapan Kama, seolah pemandangan yang baru saja dia lihat ini hanyalah sebuah patung yang indah tapi tidak cukup menarik untuk dijamah. “Can we talk?”. Wanita itu menoleh dan menatap sengit, seolah pria yang menghentikan jalannya ini adalah wabah yang sedang menyebar ganas dan mesti dihindari. Sikap enggan dan penuh kecurigaan terpancar dari bahasa tubuhnya yang tidak ditutup-tutupi sama sekali. Kama yang masih terbakar oleh kemarahannya, segera merangsek maju untuk menahan kepergian wanita itu. Dirinya berdiri begitu dekat hingga tatapan mata mereka menjadi semakin intens, wajah mereka berhadap-hadapan dan dari jarak sedekat itu, Kama bisa menghidu aroma yang membangkitkan selera “makan”nya. Aroma feminin yang begitu menggoda. “Hmn… Sorry, but my man is waiting for me..”. Jawabnya singkat dan jelas.  Seolah tidak terpengaruh dengan kehadiran Kama yang mendesaknya, wanita itu kembali membuang muka dengan sikap acuh yang sangat menyinggung. Tiba-tiba saja bayangan tentang bagaimana bibir ranum itu mengecup pipi Batara secara bertubi-tubi di dalam ruang pesta, dan mungkin telah mengecup puluhan pria lain yang pernah membookingnya, memenuhi benak Kama. Meluapkan stok kemarahan dan ketidakrelaan yang dia tahan selama ini. “Saya bisa memberimu lebih dari yang priamu berikan.” Cegah Kama dengan terburu-buru sambil mengatakan kalimat pertama yang muncul dalam kepalanya. Kalimat yang kemudian dia sesali setelah melihat bagaimana wajah wanita itu bereaksi. Tapi herannya, otaknya seolah beku dan justru Kama mulai melanjutkan, “Saya bisa memberimu seluruh unit di gedung apartemen itu jika kamu mau menjadi milik saya.” Kama memperhatikan bagaimana ekspresi pada wajah itu berubah-ubah setiap detiknya, ia menelitinya dengan baik, bagaimana ekspresinya memancarkan rasa heran, rasa tersinggung dan rasa marah disaat yang bersamaan. Salah satu alisnya naik dan matanya turun untuk menyusuri penampilan Kama secara keseluruhan. Seolah-olah sedang menilai dan memberikan hujatan sekaligus. Dimata wanita itu, kini Kama tidak hanya terlihat seperti wabah, tapi lebih seperti musibah! “Wow, kamu menguping?”. Sahut wanita itu kemudian. Kama terdiam sesaat, matanya mengerjap beberapa kali karena tidak menyangka jika wanita di depannya ini justru lebih tertarik membahas sumber informasinya, daripada isi informasi yang baru saja dia sampaikan. Bagi wanita mata duitan seperti dia, tawaran seluruh unit gedung apartemen seharusnya lebih menarik daripada kenyataan bahwa dirinya menguping, bukan? “Ya, saya mendengarnya” . Jawab Kama sekenanya. “Sebenarnya, itu tawaran yang menarik. Tapi saya tidak bisa mengambilnya. Terimakasih banyak atas tawaranmu”. jawab wanita itu, lagi-lagi berhasil membuat Kama tersinggung. Apa dia gila! Dia sudah menolak tawaran satu tower apartemen Taman Akasa yang terkenal mewah dan eksklusif di tengah kota? Otak Kama memprotes. “And why? Kenapa kamu tetap bersama pria tua itu?”. Kama mulai tidak sabar dan emosinya hampir mengambil alih. Tidak mungkin ‘kan dia kalah saing dengan Batara? “Saya orang yang setia. Itu saja”. wanita itu berusaha melepaskan genggaman tangan Kama yang melingkar pada pergelangan tangannya. “Untuk apa? Pria itu terlalu tua untukmu. Kamu memiliki saya sebagai pilihan, saya bisa memenuhi segala hasratmu pada uang dan terutama hasrat wanita muda sepertimu di atas ranjang! Tua Bangka itu pasti tidak akan mampu memuaskanmu”. Wajah wanita itu terlihat memerah dan matanya membulat marah. Dari mata itu, sebuah kilatan pengertian muncul hingga membuatnya seperti teringat akan sesuatu yang telah terlupakan. “Pertama-tama, alasan itulah yang membuat saya memilih dia. Saya tidak perlu repot-repot mengurusi urusan ranjangnya karena tubuhnya sudah terlalu lemah di sana, lagipula tanpa perlu melakukan apa-apa saya bisa menerima unlimited amount of wealth as long as I want it…” Kama terdiam mendengar penuturan itu. Jadi, sebenarnya hubungan macam apa yang Batara miliki dengan wanita yang siap meledak dan mengamuk ini? Gak mungkin Cuma grepe-grepe doang, kan? Mubadzir banget! Kama membatin. “Jadi, buat apa saya terima kamu dan capek-capek mengurusi ranjang bau mu itu!”. hinaan itu terlontar penuh emosi dengan nada yang meningkat satu oktaf dari sebelumnya.   “Galaknyaaaaaa!”. Kama mengeluh dalam hati. Rasa ketersinggungannya sudah kebal sejak tadi, tapi hinaan yang didengarnya ini berhasil membungkam dirinya saat ini. Wanita itu melanjutkan sabdanya dan di antara kemarahannya, dia bahkan menyebut-nyebut nama Devina Jo ditengah saran yang dia berikan, membuat Kama tidak bisa berdalih apapun. Kesalahannya yang sudah bermain-main dengan wanita, kesalahannya yang sudah lupa tempat, kesalahannya jika wanita ini menuduhnya sebagai lelaki m***m yang menakutkan. Semua salahnya! “Tapi saya mau kamu…”. Kama bersikeras. “Tapi saya tidak mau kamu”. Wanita itu bersikeras. Kama seperti berada ditengah-tengah bargaining dengan calon investornya. Seperti berada dalam pertarungan saham. Seperti berada ditengah laut dan siap tenggelam. He risk it all! Otaknya yang sudah buntu membuat Kama menggila hingga berani menawarkan seluruh Taman Akasa kepada si wanita galak. Bukannya persetujuan dan kecupan terimakasih, tapi justru kemarahan yang menjadi-jadi yang didapatnya. “You are very creepy and I hate it! GO FIND SOMEONE ELSE”   teriaknya. Nafas Kama memburu, terperangah menatap wanita itu. Dituduh sebagai lelaki creepy dan diusir untuk mencari wanita lain tidak pernah terjadi sekalipun dalam hidupnya! Sial! Wanita mata duitan, permainan macam apa yang kau mainkan, hah? Menolak semua tawaran ini agar mangsa mu bisa masuk lebih jauh ke dalam permainanmu atau bagaimana? Tapi, apa benar dia mata duitan? Kenapa dia semarah ini ketika ditawari sebuah “tambang emas”? Panggilan Batara yang keras dan terdengar galak mengalihkan perhatian Kama, secara terpaksa Kama melepaskan wanita itu pergi dan melarikan diri. Saat ini wajah Batara sangat menakutkan dan terlihat tidak suka melihat wanitanya berbincang dengan pria lain. Wajah garang itu berhasil membuat Kama berfikir ulang jika ingin mencari gara-gara dengan si kakek tua. Tidak, tidak saat ini. Tidak ditengah acara penting keluarganya! Fikirnya.   Kama mengeluarkan ponsel dan menekan nomor Ferdian. “IKUTI, JANGAN SAMPAI LEPAS!.” Kama mendesiskan perintahnya dengan penuh penekanan dan kemarahan. Membuat Ferdian menciut di seberang sana dan Ari yang baru saja keluar dari persembunyiannya bergidik ngeri melihat gelapnya aura Kama.  ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN