Beberapa minggu kemudian.
Pukul 02.14 – Siang hari.
Kanaya berguling-guling di atas ranjang yang empuk dan nyaman, berusaha mencari posisi yang tepat agar badannya yang terasa pegal tidak semakin parah kondisinya.
Siang ini terasa panas, sangat amat panas. Bahkan Air Conditioner di kamarnya seperti pasrah pada panasnya dunia dan memohon untuk dipensiunkan dengan segera. Mungkin dirinya harus segera menghubungi ibu kos agar AC nya di ganti dengan yang baru agar kenyamanannya tidak semakin terusik atau jika tidak, terpaksa dia yang akan mengeluarkan kocek pribadinya demi mengganti mesin pendingin sialan itu.
Kamar Kana berada di lantai lima sebuah gedung kos-kosan yang sepertinya lebih sering disebut sebagai apartemen studio oleh banyak orang. Sebuah apartemen studio nanggung yang hanya terdiri dari lima lantai dan berada di pinggir jalan, di wilayah padat penduduk tempat banyak menjamurnya bangunan kos-kosan yang disediakan untuk para mahasiswa perantau seperti dirinya.
Dari tempat tinggalnya ini, Kana harus menaiki angkot satu kali untuk sampai di kampusnya agar jarak tempuhnya bisa lebih cepat dan irit tenaga sekaligus. Dan jika tidak menggunakan angkot ataupun kendaraan pribadi, maka dirinya harus berjalan pada rute menurun selama tiga puluh menit dan itu pasti akan sangat melelahkan tubuh sang ratu rebahan.
Apapun orang menyebutnya –yang jelas bagi Kana, kamar ini hanyalah kamar kos-kosan pada umumnya, tempat dia rebahan dan pura-pura belajar agar Batara berhenti merecoki hidupnya.
Kamar ini merupakan satu ruangan luas yang tidak bersekat. Terdiri dari kamar mandi bershower yang terletak di sebelah kanan pintu masuk, kitchen set dan kitchen island minimalis yang terletak di sebelah kiri pintu, kulkas, lemari pakaian, sebuah AC dan sebuah ranjang yang diletakkan di atas karpet halus dan membelakangi sebuah jendela besar yang bergorden hitam.
Selama tinggal di sana, Kanaya berhasil menambahkan furniture kamarnya dengan satu kaca besar, sebuah meja belajar dan dua kursi yang diletakkan berhadapan, rak buku, sofa two seat yang menghadap TV yang menempel pada dinding dan meja kecil yang terletak di depan sofa, lantai dibawah meja itu dilapisi oleh karpet tebal berbulu putih nan halus.
Lengkap, kan? Berkat Batara, dirinya bisa menyewa kamar kosan bernuansa putih yang semewah ini. Kanaya teringat masa lalu ketika dirinya hanya mampu menyewa kamar kos bulanan yang hanya terdiri dari ruang kosong mlompong tanpa isi apapun sehingga mama dan papa mesti membelikannya kasur baru yang sangat tipis dan tidak nyaman untuk ditiduri. Maklum, uang kuliah saja sudah mahal, masa mau merengek beli kasur mahal yang empuk. Kanaya tidak setega itu.
Pintu kamarnya yang tidak terkunci terbuka lebar dengan suara bar-bar yang menggemparkan. Marcella si gadis macho muncul dari sana.
“Jadi neng mau makan apa? Cepetan teteh udah mau pesen nih!.”
Kanaya memutar bola matanya saat melihat kaos pink metalik bergambar mahkota Barbie yang dikenakan wanita itu. Semanis apapun kaos itu, tetap saja tidak bisa menutupi jiwa tomboy dan bar-bar penggunanya.
“Bentar….” Kana kembali mengalihkan pusat perhatiannya pada layar ponsel yang menampilkan seorang pria bertubuh tambun sedang memakan ayam geprek level dakjal yang membuatnya huh hah huh hah hingga wajahnya yang putih bertransformasi menjadi semerah tomat sepanjang acara makan-makan itu.
“Aku pesen ayam geprek level dakjal aja, Teh!.”
“WHAT? Apa gak salah? Emang kamu sudah makan sebelumnya?.”
Kanaya menggeleng. Ia belum memasukkan apapun ke dalam perutnya sejak semalam.
“Nanti kamu sakit perut loh!.”
Kanaya berfikir, butuh sebuah rasa sakit untuk membuatnya bangkit dari ranjang dan itu hanya bisa dilakukan oleh si ayam geprek level dakjal.
“Yaudah, terserah deh!” Marcella berlalu dan kembali menutup pintu. Sebenarnya wanita itu sebaya dengan Kana, tapi pacarnya yang bernama Asep, –seorang pria yang sangat Sunda dan sopan itu selalu memanggil Marcella dengan sebutan teteh dan sangat jarang sekali memanggilnya dengan sebutan sayang, kebiasaan itu telah berhasil membuat Kana yang pada awalnya hanya berniat untuk ikut-ikutan memanggil Marcella dengan sebutan teteh, malah ternyata menjadi kebiasaan yang sulit untuk dilepaskan oleh Kana.
Kana berdeham beberapa kali, ia haus sekali, tapi tubuhnya yang kaku menolak untuk bangkit dari baringnya dan tetap menempel dengan erat pada permukaan ranjang.
Gaya gravitasi benar-benar menyulitkannya!
Sang Ratu rebahan kembali menggeser badannya, hingga kini posisi pantatnya merapat pada dinding, kakinya menjulang lurus ke atas untuk disandarkan di sana selama beberapa saat. Lalu dirinya mulai menyeret tubuhnya menjauh dari tembok, menekuk kedua lutut dan mulai bergerak.
Satu… Dua… Tiga…
Kana menaik turunkan pinggangnya ke atas dan bawah. Berulang-ulang sambil menggeram dan mendesah lega, melepaskan ketegangan otot pinggang yang kaku akibat terlalu lama berbaring.
Dalam fikirannya yang sotoy, ia bermaksud untuk melakukan olahraga pemanasan ringan dengan posisi yang sedang dia lakukan.
Semoga beratnya turun, walau hanya satu ons.
Lima belas menit kemudian ayam geprek level dakjal pun sampai di depan pintu kamarnya, Marcella muncul di depan pintu dengan sumringah lalu menuju kitchen island dan membuka plastik makanan yang dibawa oleh Asep yang bertugas untuk pergi membelikan makan siang sekaligus sarapan Kana kali ini.
Kana segera bangkit dari ranjang, sementara telinganya seperti mendengar suara tulang-belulang yang bergemelutuk seolah memprotes Kana yang telah semena-mena mengagetkan tubuhnya dengan melakukan gerakan dengan sangat tiba-tiba dan cepat tanpa peringatan sebelumnya.
Pinggangnya terasa kram. Otot-ototnya terasa kaku. Membuat Kana menggerakkan badan ke kiri dan kanan untuk meredakan semua itu. Setelah sampai di depan Marcella, Kana membuka salah satu laci yang terdapat pada kitchen island dan mengambil uang kertas berwarna biru, kemudian menyerahkannya pada Asep seraya berterima kasih pada mereka.
Sambil makan, Kanaya berpura-pura menyimak pembahasan dua sejoli itu. Pagi tadi mereka pergi ke kampus dan bimbingan skripsi dengan dosen pembimbing masing-masing. Mereka menggerutu tentang revisi dan banyaknya pohon yang harus ditebang demi mengeprint ulang setiab bab yang telah dicoret-coret dengan sadis tersebut.
Kana hanya menggeleng, sejak kapan sejoli ini perduli dengan pohon? Mereka bahkan makan nasi padang yang dibungkus dengan kertas minyak dan Koran sekaligus.
Marcella dan Asep adalah pasangan yang dimabuk cinta, saking mabuknya sampai-sampai mereka berdua menunda menyelesaikan pendidikannya dan lebih asik bermain rumah-rumahan di dalam apartemen ini. Ya, Asep adalah seorang penumpang gelap. Dia selalu tinggal disini, tepatnya di Kamar Marcella yang terletak di lantai dua. Entah kegiatan apa saja yang mereka lakukan dalam permainan rumah-rumahan itu, Kana tidak mau tahu dan tidak mau ambil pusing.
Kana hanya perlu bersyukur dirinya dipertemukan kembali dengan teman seangkatan dan sejurusannya. Kedua orang itu sebenarnya bukan teman dekat Kana pada masa awal kuliah, mereka bahkan tidak saling sapa dan berasal dari kelas yang berbeda. Tapi berkat kepepet menyelesaikan tugas akhir, mereka akhirnya merapat dan mendekat. Saling tolong menolong dan bahu-membahu memberi informasi ini dan itu. Jika tidak, mungkin Kana sudah berhenti di bulan pertama dirinya kembali ke dunia perkuliahan.
Pada awalnya Kana fikir mereka hanya sibuk main rumah-rumahan tapi setelah mengenal lebih dekat ternyata Kana baru tahu kalau mereka berdua juga sibuk bekerja, terutama Asep yang merupakan anak sulung yang membiayai hidup seorang ibu tunggal dan tiga adiknya yang masih SD dan SMP.
Sedangkan Marcella, si anak pejabat dan broken home itu sibuk mencari kegiatan positif yang mengalihkan dirinya dari rasa trauma dicaci maki oleh dosen pembimbingnya di depan umum. Syukurlah, kini Marcella mendapatkan dosen pembimbing pengganti yang lebih fleksibel karena mereka semua dikejar oleh deadline akhir masa kuliah.
Kana tiba-tiba merasa minder, dua orang di depannya ini jauh lebih baik darinya, walau mereka terlambat dan harus lulus kuliah lebih dari waktu yang ditentukan, tapi mereka melakukan banyak hal positif dalam masa vakum itu. Tidak seperti Kana yang selalu bersembunyi dalam perlindungan Batara dan hidup nyaman tanpa gangguan. Cukup bermanja-manja sedikit saja, maka Batara akan mengalirkan dana dengan begitu deras untuknya. Atau bahkan, tanpa meminta pun semua kebutuhan Kana sudah dipenuhi begitu saja.
Tahun lalu Kana dibujuk oleh Batara, menurut pria tua itu, jika Kana berhasil menyelesaikan kuliahnya maka Batara akan memberikan apapun yang Kana pinta. Saat itu motivasinya adalah tiket keliling eropa dan ternyata dengan mudahnya Batara menyetujui persyaratan yang dia berikan.
Tiket keliling eropa sialan yang membawa petaka!
Berkat tiket itu akhirnya Kana meninggalkan rumah Batara untuk kembali ke kampus dan didera rasa asing pada kondisi yang ada. Maklum saja, sudah beberapa waktu berlalu sejak terakhir dia mengunjungi tempat itu.
Kana jatuh bangun menyemangati dirinya sendiri untuk pergi ke kampus dan membaur, tapi rasanya dia ingin menyerah saja saat mengingat masih ada beberapa mata kuliah yang harus dia selesaikan, masih ada skripsi yang harus dia perjuangkan.
Kana merasa tidak sanggup!
Rasanya malu saat bergabung dengan adik-adik angkatan muda yang memandangnya penasaran dari ujung kepala hingga kaki. Wajah mereka dipenuhi pertanyaan, kenapa teteh-teteh yang satu ini masuk ke kelas mereka? Kenapa bisa terlambat lulus? Dan kenapa lainnya.
Beruntung dirinya bertemu dengan Asep dan Marcella, rasanya seperti menemukan uang sepuluh ribu dikantong celana pada tanggal tua. Rasa syukurnya sebesar itu. Kana yang tadinya ingin menyerah, akhirnya bersemangat kembali karena kehadiran dua orang itu. Walau pada akhirnya, Marcella dan Asep kembali menghilang lagi dari kampus karena kesibukan mereka yang menggunung.
Selama setahun Kana pun berhasil menyelesaikan beberapa tunggakan mata kuliah yang belum dia selesaikan. Tahun ini masih ada mata kuliah dan dua tugas utama, yaitu magang dan skripsi. Beberapa bulan sebelumnya, Kana telah berhasil menyelesaikan tugas magang sekaligus laporannya di salah satu yayasan sosial terdekat. Dan untuk semester besok, Kana hanya perlu fokus pada beberapa mata kuliah yang tersisa dan skripsi yang tak kunjung menemukan titik terang.
Rasa malas menderanya habis-habisan.
Sebelumnya Kana dipaksa mengejar ketinggalan mata kuliah yang akhirnya dia kerjakan sekenanya dengan banyak bolos dan banyak nitip absen pada adik tingkat yang telah dia supply dengan berlembar-lembar uang kertas berwarna merah. Setiap kali harus mengumpulkan tugas, maka jokinya itu akan muncul di depan pintu kamarnya dan mengambil tugas yang telah Kana kerjakan untuk dibawa ke kampus dan dikumpulkan. Ya, dia se-mager itu dan menghabiskan banyak uang Batara untuk membeli jasa bantuan sang joki kelas nan baik hati.
Lalu tahun ini dia terpaksa menyelesaikan magang dan skripsi, semakinlah runtuh semangatnya. Dia harus menemui pegawai yayasan tempatnya magang dan dosen untuk bimbingan, yang artinya Kana harus bisa memasang raut ramah penuh senyum dan pandai berbasa-basi sambil menyesuaikan diri dengan segala jenis interaksi yang terjadi. Karena jika tidak, maka mereka akan menghabisimu dengan tuduhan manusia kurang ajar dan tidak sopan. Sedangkan Kana yang sudah lama tidak bersosialisasi merasa terbebani oleh tuntutan ini.
Tapi lagi-lagi, bagaikan malaikat penyelamatnya, Marcella dan Asep kembali ke kampus untuk merampungkan skripsinya yang berkali-kali tertunda. Kehadiran mereka menyemangati Kana selayaknya fandom menyemangati para oppa!
Bahkan, ketika Marcella memutuskan untuk pindah ke kosan ini, Kana sempat-sempatnya melakukan syukuran dan bagi-bagi makanan catering pada hampir seluruh penghuni kamar kos. Sebahagia itu dirinya!
“Minggu besok neng UAS ‘kan?.” tanya Marcella. Walau tomboy, tapi wanita itu perhatian dan bersifat keibuan. Hanya gerak geriknya saja yang terkadang kelewat brutal dan tidak tahu adat.
Kana mengangguk sambil menyeka keringat di keningnya. Memilih ayam geprek level dakjal sebagai menu pertama dihari ini adalah sebuah kesalahan besar!
“Semangat ya, jangan lupa belajar. Jangan ngarepin joki terus!.” nasehatnya. Tidak seperti Kanaya, Marcella dan Asep tidak memiliki tunggakan mata kuliah yang harus diselesaikan. Mereka hanya perlu fokus menyelesaikan skripsinya saja.
“Huh.. Hahh…” Kana meraih gelas air dingin dan mereguknya cepat-cepat. “Joki mah buat disuruh nganter-nganter tugas dan nitip absen teh, bukan buat ujian. Gini-gini otakku masih bisa jalan, hehe.”
“Bagus kalau gitu, kalau bisa kamu perdalami matkul ujian yang berhubungan dengan tema skripsimu!.”
Kana kembali mengangguk. Fikirannya melayang pada judul skripsinya yang belum juga di ACC sejak bulan lalu.
“Bantu aku cari judul baru yang bisa dapat ACC kilat dari dosen dong!.”
“Yang kemarin belum dapat ACC?.” Asep terkejut mendengarnya, waktu mereka sudah sangat sempit, hanya punya satu semester ke depan, jadi seharusnya Kana segera memulai skripsinya!
“Belum…”
“Gak usah sedih, nanti malam kita kerjain bareng-bareng ya!.”
“Kenapa enggak sekarang?.”
“Kita mau cabut dongs!.” Marcella terlihat sumringah.
“Kemana? Parah, enggak ngajak-ngajak!.”
“Halah, palingan kalau diajak pun neng gak akan ikut. Kita mau ngecek kios ‘warung sarapan’, bulan depan mungkin sudah bisa operasional.”
Warung Sarapan adalah sebuah rintisan usaha yang dibangun oleh Marcella, kelak warung itu akan menyajikan berbagai menu sarapan nusantara yang bisa makan ditempat ataupun pesan antar untuk mempermudah sekaligus memanjakan mahasiswa mageran seperti dirinya.
“Wowwww… nanti aku main-main deh kalau udah launching, ya!.”
“Siap! Oh iya, nanti malam mau jam berapa?.”
“Aku mah bebas sih Teh, yang penting Teteh udah luang aja. Jangan maksain kalau masih sibuk.”
“Kira-kira jam berapa, Kang kita beresnya?.” tanya Mercella pada Asep.
“Mungkin jam Sembilan atau sepuluh, enggak apa-apa?.”
“Enggak apa-apa, yang penting jangan ganggu waktu kalian aja!.”
***
Waktu berlalu begitu cepat ketika kamu tidak melakukan apa-apa. Tidak terasa matahari sudah bersembunyi dan bulan muncul memamerkan sinarnya. Kana tidak melakukan apa-apa hari ini selain menonton ponsel, menonton TV, sedikit kegiatan pemanasan untuk melenturkan otot-ototnya yang tegang dan mandi. Pada dasarnya, itu memang kegiatan keseharian Kana. Tidak kurang dan tidak lebih.
Suara TV memenuhi ruangan kosong yang terang benderang. Si pemilik kamar sedang berjuang menyelesaikan misinya dibalik ruang toilet yang hening. Ini sudah kali kesekian Kana bolak-balik kamar mandi. Rencananya menghindari gravitasi ranjang berhasil berkat bantuan sang ayam geprek yang telah menyiksa perutnya sejak tadi.
Semoga ini terakhir kalinya, karena dia sudah membuat janji dengan Marcella dan Asep untuk mengerjakan judul baru bersama. Rencananya mereka akan melakukan itu di sebuah kedai fastfood yang menawarkan wifi gratis dan minuman-makanan cepat saji. Sebenarnya ini adalah rencana Kana dan pasangan itu setuju begitu saja. Entah mengapa, malam ini dirinya ingin menghirup udara malam yang segar sambil menghilangkan kebosanan yang hakiki.
Saat keluar kamar, Kana melihat kehebohan dari tetangga depannya. Mbak Risya sepertinya sedang mengangkut-angkut barang dibantu oleh beberapa temannya.
“Mbak pindahan?.” tanya Kana sambil memperhatikan kardus yang dipegang oleh Mbak Risya.
“Iya, Dek. Pindahan ke lantai bawah.”
“Hah? Pindahan ke lantai bawah?.”
“Iya ke lantai tiga.”
Seingatnya lantai lima adalah lantai paling hening dan sepi yang ada di gedung ini. Karena penghuninya jarang ada di tempat, sibuk berkegiatan di luar atau kamarnya hanya dijadikan sebagai tempat singgah sementara. Itulah mengapa Kana memilih lantai ini. Kana pun yakin Mbak Risya memilih lantai ini karena alasan itu, keheningan dan privasi akan terjaga dengan baik disini,dan kedua hal itu adalah hal yang paling dibutuhkan oleh seseorang seperti Mbak Risya yang sering mendapat kunjungan berkala dari bosnya yang sudah memiliki istri dan anak di rumah.
Yah tahu sendiri lah.. yah yah yah?
Kana menggaruk kepalanya yang tidak gatal, gimana jadinya kalau penghuni lantai tiga memergoki seorang lelaki yang sedang dipuncak napsu dan menggagahi wanitanya di depan pintu kamar yang belum sempat terbuka saking tidak tahannya?
Itu adalah pengalaman paling memalukan yang pernah Kana alami. Selama sebulan Mbak Risya bersikap kikuk dan malu-malu di depannya, tapi Kana berusaha sebisa mungkin untuk bersikap santai saja. Walau setiap kali mengingat kejadian itu pipinya pasti memerah dan jantungnya berdebar kencang. Tidak bisa disangkal, hormon wanita dewasanya bekerja dengan baik dan normal. Melihat adegan sepanas itu di depan mata secara live membuatnya membayangkan hal yang iya-iya!
Pria itu berusia akhir tiga puluh tahunan, seorang manajer disebuah bank besar tempat Mbak Risya bekerja. Dia selalu berpenampilan rapih dan klimis dengan kumis yang tipis. Wah, Kanaya bahkan sempat terpesona melihatnya. Tapi ketika secara tidak sengaja melihat cincin kawin yang melingkar dijarinya, Kana langsung hilang selera, bayangan indahnya tentang kebuasan pria itu saat menjamah Mbak Risya berubah dan tidak lagi menggetarkan hatinya. Kenapa Mbak Risya yang cantik tidak mengencani duda saja? Kencan dengan suami orang itu terlalu berbahaya!
“Kenapa, Mbak? Apa kamarnya bermasalah?.”
“Kurang tahu, Dek. Tiba-tiba saja kemarin ibu pengelola meminta Mbak untuk pindah karena kamar ini akan ditempati penghuni baru”.
“Loh, kok penghuni barunya terkesan memaksa gitu ya?”.
“Iya, saya sempat marah. Tapi ibu pengelola bilang beliau tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Jadi ya sudah, saya mengalah saja”.
“Yah, sayang banget. Padahal Kana senang punya tetangga seperti Mbak…”.
Yang tidak berisik dan pendiam! fikir Kana.
“Iya, Dek. Enggak apa-apa lah, kita masih bisa ketemu dan ngobrol sesekali. Toh saya pindahnya ke lantai tiga.”
“Iya, Mbak. Mbak jangan lupa main-main ke lantai lima, kita ngeteh bareng di balkon sambil jemur baju, hehe”
Kana menunjuk pintu yang berada di ujung lorong yang mengarah ke luar, pintu itu tepat di ujung lorong dekat kamar Kanaya. Di luar sana terdapat dak-dakan luas yang disediakan untuk menjemur pakaian, torren air dan tempat Kana menyimpan pot tanaman yang dia punya.
Walau sama-sama tidak banyak bicara, tapi Kana pernah menghabiskan waktu di sana bersama Mbak Risya untuk mengobrol dan menikmati udara bersama. Momen-momen obrolan singkat itulah yang akhirnya membuat Kana mengetahui apa yang sedang terjadi dan siapa pria itu sebenarnya.
Kadang Kana membiarkan dirinya menjadi tempat sampah yang mendengar curhatan hati seorang wanita selingkuhan dan setiap kali sesi itu berakhir, hatinya pasti akan terombang-ambing antara ingin memaksa Mbak Risya untuk berhenti atau malah ingin mendukung hubungan mereka.
Siapalah dia sampai bisa menilai seseorang, dirinya tidak lebih baik dari Mbak Risya atau siapapun di dunia ini.
Entahlah!
“Iya, Dek. Pasti sering ke atas, Mbak ‘kan jemurnya disini.”
Kanaya mengangguk, “Mbak butuh bantuan untuk pindahan? Biar saya bantu!.”
“Ndak perlu, Dek. Sudah hampir selesai kok. Adek ada janji ya, sudah rapih begini?”.
“Iya, Mbak. Saya mau makan di luar sama Marcella dan Asep.”
“Oalah, ini jam sepuluh malam loh, kebiasan banget kamu makan di jam-jam ndak wajar!.”
“Rencananya kita makan sekalian ngerjain skripsi gitu loh Mbak, sambil nongkrong, hehe.”
“Ya sudah, hati-hati ya, sudah malam ini.”
“Iya, Mbak. Kalau begitu saya permisi ya!.”
Setelah melihat anggukan Mbak Risya, Kana pun berlalu menuruni anak tangga satu persatu. Otaknya mulai menerka-nerka, siapakah manusia yang memaksa pindah ke depan kamarnya? Siapakah manusia yang bisa mengalahkan galaknya ibu pengelola kos hingga beliau merasa tak berdaya?
Heran juga, ibu kos yang menakutkan itu justru tidak bisa berbuat apa-apa pada orang yang akan pindah ke kamar yang ada di depanya!
Wah peduli amat deh, yang penting jangan ganggu ketenangan dan kenyamananku saja! fikir Kanaya.
***