"Tidak ada sesuatu yang lebih sulit aku obati selain dari hawa nafsuku sendiri. Terkadang aku berhasil mengalahkannya tapi di lain waktu ia mengalahkanku."
(Sufyan Ats-Tsauri)
***
Bukan hanya sekali Ina mendapatkan permintaan dari berbagai macam lelaki yang ingin mengkhitbahnya. Namun ia menolak secara halus. Sejatinya ia sedang menanti pinangan dari sosok pemuda yang diam-diam telah mencuri hatinya.
Dalam setiap shalat malamnya ia selalu menyebut nama seseorang yang ia harapkan kedatangannya. Namun sampai saat ini sosok itu belum hadir mengisi hari-harinya.
Ia mengingat kembali awal pertemuannya dengan pemuda itu. Pandangan pertama menggetarkan hatinya. Namun ia pandai dalam menutupi isi hatinya. Ia tidak memperlihatkan rasa tertariknya sama sekali.
Selama ini ia mampu menahan gejolak rindu yang hadir menusuk kalbu. Namun saat namanya selalu hadir di pendengaran, rindu itu kian mengusik hati dan jiwanya. Semakin lama semakin dalam.
"Rabbi, jika dia telah kau gariskan menjadi pelengkap agamaku, dekatkanlah hatinya dengan hatiku. Andaikata dia bukanlah yang tertulis untukku, hilangkan rasa ini dariku ya Rabb. Sungguh, hatiku sudah terpaut padanya karena dia telah mencuri hatiku. Rasa ini semakin kuat ya Allah, apalagi sekarang aku berada di dekatnya. Hamba mohon padaMu, bimbinglah hamba dalam ridhaMu dan kasihi hamba dalam RahmatMu, hanya padaMu aku mengadu dalam setiap keluh kesahku. Aku hambaMu yang lemah dan tak berdaya. Perkenankanlah pintaku ini ya Allah. Aamiin... aamiin... ya Rabbal'aalamiin."
Dalam sujud panjangnya Ina meminta harap pada Pemilik Jiwa agar memudahkan segala hajatnya. Ia baru saja selesai shalat malam. Jam di dinding menunjukkan angka tiga pagi.
Setelah Ina melipat sajadah dan mukenanya, ia meraih khimar hitam di atas kasur dan beranjak keluar dari kamar tamu yang ia tempati saat ini bersama Zahra dan dua keponakannya—Zulfa dan Syameel.
Suasana rumah tampak sepi. Ina membuka pintu kamar dan menutupnya pelan agar tidak berisik. Ia menuju dapur dan membuka kulkas lalu mengambil satu botol air mineral.
Biasanya ia selalu menyediakan air di kamarnya, tapi tidak saat ini, karena ia berada di rumah Ummi Dini, sekaligus rumah yang Zayyan tempati.
Setelah menuangkan air ke dalam gelas, Ina duduk mengistirahatkan tubuhnya sebentar. Ia larut dalam kalimah dzikir, menunduk dalam dan memainkan jemari lentiknya.
Ina tidak menyadari kedatangan seseorang yang melangkah pelan memasuki dapur. Sosok pria tinggi tegap lagi rupawan memakai baju koko dan sarung, sepertinya ia juga baru selesai shalat.
"Ehemmm...!" Pria itu berdeham pelan sebagai isyarat pemberitahuan keberadaannya.
Ina terlonjak kaget, lalu mendongak dan menatap pria itu sejenak. Kemudian menundukkan kembali wajahnya. Ia mengulum dalam bibirnya menetralisasikan degup jantung yang tiba-tiba menaikkan ritme kecepatan detakannya. Tangannya berkeringat dingin dan bergetar. Ia tidak berharap berada dalam situasi seperti ini, di mana hanya ia dan pria itu saja berdua tanpa ditemani yang lainnya.
"Ada hal yang Abang inginkan?" Melihat pria itu memegang gelas, Ina memberanikan diri bertanya. Tangannya memainkan gelas di depannya.
Pria itu diam. Tidak menyangka wanita yang telah mengisi hatinya itu akan memperhatikannya.
"Mmm... saya mau buat kopi," jawabnya tersenyum lembut.
Ina beranjak dari duduknya dan mendekati pria itu yang tak lain adalah Zayyan. Ia mengulurkan tangan dan meminta gelas di tangan Zayyan.
"Meh, sini biar Ina yang buatin kopinya."
Deg!
Dalam hati, Zayyan merasa senang karena akan merasakan kembali kopi buatan Ina.
"Apa tidak merepotkanmu?" tanya Zayyan hati-hati sebelum menyerahkan gelas di tangannya.
Ina menggeleng pelan.
Zayyan melangkah dan duduk di kursi meja makan. Matanya tidak lepas dari sosok gadis yang ada di depannya. Memerhatikan setiap gerakan serta keuletan gadis berkhimar hitam itu dalam menyeduh kopi untuknya. Mengulas senyum di bibirnya membuat hati Zayyan menghangat. Ini adalah impiannya.
"Emmm..., boleh saya bertanya?" Zayyan membuka suara, memecah keheningan yang tercipta.
"Boleh." Ina menoleh sebentar kemudian melanjutkan kembali mengaduk kopi.
Kini secangkir kopi sudah tersedia di depan Zayyan. Ia menyesap pelan. Nikmat rasanya kalau ada yang membuat kopi seperti ini setiap hari. Bibirnya tertarik ke atas membentuk sebait senyum.
"Enak?" Ina bertanya saat melihat senyum terbit di wajah Zayyan.
Zayan berdeham sembari mengangguk sebagai jawaban. Setelah itu ia melanjutkan ucapannya tadi.
"Tapi sebelum itu saya minta maaf apabila pertanyaan saya ini agak pribadi bagi Dek Ina." Mendapat persetujuan dari Ina, Zayyan melanjutkan. "Apa benar sudah ada yang mengkhitbah Dek Ina?" Sepelan mungkin Zayyan bersuara, ia takut menyinggung gadis di depannya itu.
"Ada, tapi saya menolaknya," ucap Ina setelah meneguk air putih di depannya.
"Kalau boleh saya tahu, kenapa?" Zayyan penasaran.
Sebelum menjawab, Ina menatap ke dalam manik coklat gelap Zayyan. Ia menyelami mata itu dan mendapatkan apa yang ia inginkan, kemudian menjawab, "Karena saya menunggu seseorang."
Semburat merah hadir di wajahnya ketika mengatakan itu. Ia menunduk dalam dan diam membisu. Gagal sudah pertahanannya selama ini menyimpan rasa hati yang hadir tatkala bertemu dengan sang pencuri hati.
Zayyan bingung sejenak, apa ia tidak salah dengar? Atau ia masih bermimpi? Matanya berulang kali mengerjap tidak percaya dengan pendengarannya.
Bidadari yang ia nanti menolak lamaran yang datang hanya karena menunggu seseorang?
Zayyan penasaran siapa gerangan yang berhasil mencuri hati bidadarinya itu.
Menyesal ia bertanya karena pada akhirnya kecewa yang ia rasakan jua.
"Semoga seseorang yang Dek Ina tunggu itu segera datang dan mengkhitbahmu," doanya tulus meski kecewa terbersit di hatinya. Namun, ia yakin ketentuan Allah itu pasti.
Boleh jadi apa yang ia anggap baik belum tentu menurut Allah dan begitu pula sebaliknya. Semua sudah digariskan dan ditentukan oleh Sang Pencipta. Mungkin Ina bukanlah tulang rusuknya yang akan mengisi celah-celah jari miliknya.
"Aamiin... semoga, tapi sepertinya dia tidak peka, hehehe...." Ina tertawa canggung dengan situasi saat ini. Tangannya menggaruk kepalanya yang mendadak gatal.
***
Semenjak percakapannya dengan Ina semalam, Zayyan banyak termenung. Ia tidak menyangka akan berbincang banyak dengan Ina. Selama ini ia hanya diam dan memperhatikan dari kejauhan. Namun semalam, entah keberanian dari mana sehingga Zayyan berani untuk memulai percakapan mereka.
Pagi ini suasana rumahnya masih terlihat ramai dengan suara senda gurau dari umminya, Ina dan Zahra. Sedangkan ia hanya memerhatikan dan menyimak apa saja yang mereka bincangkan dari atas sofa ruang tengah. Mereka memang berkumpul di sana setelah sarapan tadi.
"Ina jangan pulang dulu, ya, kalau kamu pulang Ummi jadi kesepian," rayu Ummi Dini saat tadi Zahra mengabarkan kalau hari ini mereka akan pulang.
Ina tersenyum hangat mendengar larangan Ummi Dini. Ia melirik Zayyan sebentar lalu beralih menatap ummi dan berkata, "Nanti Ina siapa yang antarin, Mi?"
"Tenang ... ada si Abang tuh yang antarin kamu nanti. Pokoknya kamu jangan pulang dulu, Ummi belum puas melepas kangen sama kamu, Na." Ummi bersikukuh merayu Ina supaya ia tinggal.
Ina tertawa pelan dan menganggukkan kepalanya setuju.
"Ada apa ini? Seru nampak." Abi ikut bergabung. "Abang, kenapa termenung macam tu? Ada hal yang meresahkan jiwa anak bujang Abi ini kah?" lanjut abi menggoda Zayyan setelah mendudukkan dirinya di sofa tepat di samping Zayyan.
Ummi, Ina dan Zahra yang duduk di atas ambal mengalihkan tatapan mereka kepada Zayyan. Tatapan Ina tidak seperti biasa, ada rasa gundah di sana.
"Alohai ... anak bujang Ummi ini pagi-pagi duk termenung je, jauh dari jodoh nanti." Ummi mengerling nakal menggoda Zayyan. Matanya silih berganti menatap Zayyan dan Ina.
Semalam tanpa sengaja ummi mendengar percakapan antara Zayyan dan Ina, lalu ia masuk dan menceritakan kepada suaminya. Ummi semakin terhenyak kaget setelah mendengar rencana dari suaminya. Ia merasa bahagia dan senang sekaligus dengan rencana suaminya itu.
"Hehehehe...."
Zayyan hanya terkekeh pelan. Ia tidak menanggapi ataupun menyangkalnya. Sementara Ina menunduk dalam menutupi rasa gundah di hatinya.
Zahra menatap mereka dengan kebingungan yang sangat kentara. Ia berbisik pada Ina.
"Apa ada sesuatu, Dek?"
"Nggak tahu, Kak."
Meskipun Zahra penasaran, ia tidak lagi bertanya. Tetapi melihat raut wajah sang adik, ia tersenyum simpul. Lirikan matanya beralih ke arah Zayyan yang masih tertawa pelan menanggapi gurauan Ummi Dini.
Tidak lama kemudian, Hauzan dan keluarga kecilnya pamit pulang dan meninggalkan Ina tinggal di rumah Ummi Dini.