09. Memantapkan Hati

1401 Kata
"Aku ingin menghilangkan jarak di antara kita, aku ingin lebih dekat denganmu, menjadi Raja yang bertahta di hatimu...." (Muhammad Zayyan Altair) *** "Sore nanti kita ke mall, ya, Na," ajak ummi pada Ina. Ina mengangguk mengiyakan ajakan ummi. Setelah kepulangan Hauzan dan keluarganya, Ina menemani Ummi Dini duduk santai di gazebo samping rumah. Mereka bercengkerama dan bersenda gurau. Sesekali terdengar tawa Ina dan ummi ke pendengaran Zayyan yang sedang sibuk memeriksa dokumen di dalam kamar yang letaknya tidak jauh dari gazebo. "Ummi senang kamu mau tinggal di sini nemenin Ummi. Kalau nggak ada kamu kan, Na, Ummi tu selalu sendiri. Ummi kesepian...," curhat ummi. Ina tersenyum dan menimpali seraya menggelayut manja di pundak Ummi Dini. "Kasiannya Ummi...." "Makanya, Ummi sangat ingin kamu jadi istrinya Abang, Na. Apa kamu mau jadi menantu Ummi?" Pipi Ina merona. Pintar sekali Ummi Dini mencari kesempatan untuk merayu Ina supaya mau menikah dengan anak bujangnya. Ummi Dini melihat ada keraguan di mata Ina. "Apa Ina nggak mau jadi anak Ummi?" Ummi Dini memperlihatkan wajah sedihnya. Bagaimanapun caranya Ina harus jadi menantunya. Ina semakin tersipu malu, tapi ia mengangguk samar kepalanya. "Alhamdulillah, Ummi sangat senang sekali kalau Ina menyetujuinya." Ummi memeluk Ina erat. Begitu mendapatkan jawaban dari Ina, ummi langsung bergegas menemui suaminya yang sedang berada di ruang baca. Ia memberitahukan kalau Ina menyetujui permintaannya, tapi ada keraguan di mata Ina. "Apa Ummi bertanya kenapa dia ragu?" "Ummi nggak sempat lagi bertanya sangking senangnya hati Ummi, Bi." "Nanti coba Ummi tanyakan dulu, jangan sampai dia merasa terpaksa karena rengekan Ummi itu." "Isshh... Abi, ni, jangan mengada, ya, siapa yang merengek coba?" Ummi memberengut tidak terima apa yang dituduhkan suaminya itu. "Ulululu... Ummi ngambek nih ceritanya? Jangan gitu dong mukanya, nanti Ummi nggak cantik lagi kalau merengut gitu," goda abi menoel dagu ummi. "Abi, sih, suka gitu sama Ummi." Abi terkekeh geli. Sementara Ummi menutup wajahnya yang tersipu malu. Meskipun usia pernikahan mereka sudah mencapai tiga puluh tahun lebih, keharmonisan rumah tangga mereka tidak berubah sama sekali. Masih sama seperti awal-awal pernikahan mereka dulu. *** Sore ini Ina menemani ummi ke mall. Mereka begitu menikmati jalan-jalan sore di seantero mall yang lumayan luas. Mall yang baru dibangun, dan letaknya pun persis di persimpangan jalan raya. Zayyan mengikuti dari belakang. Dengan paksaan ummi akhirnya ia ikut dan menemani mereka menjelajahi pusat perbelanjaan. "Bruukk...!" Tiba-tiba ada yang menabrak Ina dan merampas tas selempang yang bertengger di pundak kirinya. "Astaghfirullah...!" rintih Ina jatuh terduduk. Ia belum menyadari bahwa tasnya sudah menghilang. "Ya Allah, Ina...!" seru Ummi Dini langsung meraih Ina dari dasar lantai. Zayyan yang melihat gadis yang ia sayang terduduk dan tasnya dirampas, langsung melesat mengejar si pelaku. Matanya memicing tajam. Di keramaian seperti ini ia harus fokus tidak boleh teralih kepada yang lain, matanya nyalang menatap si pelaku yang lari menghamburkan diri bersama dengan gerombolan anak-anak muda. Begitu Zayyan sudah mendekat, dengan cepat ia menarik pergelangan tangan si pelaku. "Kembalikan tas itu!" tegasnya. "Tas apa?" Si pelaku memasang wajah polos pura-pura tidak mengerti. "Jangan menguji kesabaran saya," ujar Zayyan mulai geram. Salah satu pemuda yang bergerombolan tadi menimpali, "Ada masalah apa, Bang?" "Tidak ada, hanya masalah kecil saja antara saya dan adik saya ini," jawab Zayyan tanpa mengalihkan tatapannya dari si pelaku. Ucapan Zayyan yang tidak menyudutkannya, bahkan mengakuinya sebagai adik membuat si pelaku merasa bersalah. Sebenarnya dia tidak bermaksud merampas tas milik wanita yang pertama dilihatnya tadi, tapi dia terpaksa melakukannya demi sang adik yang sedang di landa sakit. Mereka hanya tinggal berdua tanpa kedua orang tua. Melanglang buana. Tidak ada rumah sebagai tempat pelindung dari panas dan hujan. "Owh, begitu? Baiklah, kami permisi dulu." Setelah kepergian para pemuda tadi, Zayyan kembali fokus menatap si pelaku tadi. Seorang anak lelaki kisaran umur empat belas atau lima belas tahun. "Kembalikan tas itu!" ulang Zayyan. Dengan tangan gemetar anak itu mengembalikan tas Ina kepada Zayyan. "Ini, Bang..! Maafkan saya, saya menyesal, saya terpaksa melakukannya, adik saya kelaparan dan sedang sakit, kami tidak tahu harus berbuat apa dan meminta ke siapa!" Anak lelaki itu sesegukan menangis pilu. Dia benar-benar menyesali perbuatannya. Baru pertama dia melakukan hal seperti ini. Zayyan menatap lama, kemudian ia bertanya, "Siapa namamu?" "Saya Rendy, Bang." Anak yang menyebut dirinya sebagai Rendy itu mengenalkan dirinya. "Ya sudah, sekarang kamu ikut saya," ajak Zayyan, kemudian Rendy mengikutinya dari belakang. *** Ummi dan Ina kompak mengerutkan keningnya saat melihat Zayyan datang bersama orang asing yang tidak mereka kenal. Di sebelah tangan kanannya ia menjinjing tas Ina, dan di belakangnya seorang remaja tanggung mengikuti dengan wajah menunduk dalam tak berani menatap ke depan. Hati dan pikirannya berkecamuk tak karuan. "Alhamdulillah, tas ini masih menjadi rezeki kamu, Ina." Ummi mengucap syukur ketika meraih tas di tangan Zayyan dan memberikannya kepada Ina. "Itu siapa, Bang?" Ummi bertanya kembali saat matanya beralih kepada Rendy yang masih saja menunduk. "Ini Rendy, Ummi. Ren, ini Ummi saya." Rendy melangkah mendekat menyalami dan mencium tangan ummi. "Dia akan tinggal bersama kita," ujar Zayyan pada ummi, kemudian netranya beralih pada Rendy dan berkata, " Rendy, mulai sekarang kamu dan adikmu akan tinggal bersama kami." Netra Rendy berbinar terang saat mendengar ucapan Zayyan. Dia tidak menyangka orang yang tadinya dia dzalimi berbalik menolongnya. Tapi setelahnya, air mata mengalir membasahi pipinya. Penyesalan kembali menguap. "Kak, ma ... maafkan sa ... saya. Saya yang menyebabkan Kakak jatuh tadi dan saya juga yang merampas tas Kakak. Sa ... saya menyesal, sekali lagi maafkan saya," ucapnya terbata diiringi segukan pilu penyesalan. Ina mengangguk dan tersenyum hangat sebagai jawaban. Dia melirik Zayyan yang tidak menatapnya sama sekali. "Yang penting sekarang kamu sudah menyesalinya. Ummi harap kamu tidak lagi melakukannya. Mencopet atau merampas hak milik orang lain itu tidak baik, selain merugikan orang lain kamu juga menanggung dosa, Nak. Ya sudah, ayo ikut kami saja. Kamu mau belanja apa?" "Saya mau beli obat dan makanan buat adik saya." "Di mana adik kamu?" "Ada di rumah," jawab Rendy singkat. Sebelum membeli segala keperluan yang Rendy butuhkan, mereka makan terlebih dahulu di kaefse yang terletak di lantai dasar. *** "Ehmmm... Dek Ina, bisakah nanti kita berbicara sebentar? Ada hal yang ingin saya katakan padamu," ujar Zayyan tiba-tiba ketika mereka berjalan beriringan keluar dari salah satu stand penjualan pakaian pria dan wanita. Sedangkan ummi dan Rendy berjalan di depan mereka. Baru saja mengenal, ummi sudah merasa dekat dengan anak remaja tanggung itu, bahkan ia membeli segala keperluan Rendy meskipun pertemuan pertama mereka berawal tidak baik. "InsyaAllah, bisa." Hati Ina tiba-tiba berdetak cepat tatkala Zayyan mengajaknya bicara. Padahal sedari awal perjalanan mereka dari rumah sampai ke mall tadi, tidak sekali pun Zayyan menegur dan mengajaknya berbicara. Selanjutnya mereka berjalan kembali dalam diam. Tidak ada lagi kalimat yang keluar dari mulut Zayyan, bahkan ia mempercepat langkahnya mendekati ummi dan Rendy yang sudah jauh di depan. "Ini yang kamu sebut rumah?!" Ummi tidak dapat menutupi rasa terkejutnya saat mereka sudah di depan rumah kardus yang Rendy tempati. Rendy mengangguk lemah tak berdaya. "Ini tidak boleh, kamu dan adikmu tinggal di tempat Ummi hari ini juga. Ayo, kita panggilkan adikmu. Katamu dia lagi sakit, kan?" Lagi, Rendy mengangguk sebagai jawabannya. "Ayo, Ummi juga ingin masuk melihat adik kamu di dalam." Seruan ummi tidak bisa di bantah, bahkan sang pemilik rumah sekalipun. Begitu di dalam, ummi terperangah melihat seorang gadis kecil meringkuk di selimuti sehelai kardus. Air mata ummi menitik melihat pemandangan miris di depannya. Tidak menunggu lama, ummi menyuruh menggendong gadis kecil itu dan membaringkannya di jok belakang. Sebelum mereka pulang, ummi memerintahkan Zayyan membawa mereka ke rumah sakit. Dan sore ini juga gadis kecil itu dirawat di rumah sakit ditemani oleh kakaknya, Rendy. Sepulangnya dari pusat perbelanjaan dan membawa adik Rendy ke rumah sakit, Zayyan melangkah ke kamar bersiap-siap ke masjid. Ia sudah melewati magribnya di masjid jangan sampai ia melewatkan isyanya juga, apalagi malam ini jadwalnya sebagai Murabbi. Tadi ia shalat Magrib di mushalla rumah sakit tempat adik Rendy dirawat. "Abang mau ke mana?" Ina yang hendak melangkah ke dapur menegur Zayyan yang terburu-buru keluar dari kamarnya menimbulkan pertanyaan di benak Ina. "Saya mau ke Masjid, setelah Isya nanti saya mengisi kajian kitab kuning." Zayyan menjawab seraya melanjutkan langkahnya, tapi kemudian ia berbalik. "Oh ya, saya pulang nanti kita bicara." Kemudian Zayyan berlalu dari sana tanpa menoleh lagi ke belakang. "Mmm... dia terlalu dingin," gumam Ina seraya berbalik dan melanjutkan kembali tujuannya ke dapur. Ina tidak tahu bahwa ketika ia menegur Zayyan, lelaki itu sempat terkejut dan bergegas menetralisirkan detak jantungnya sehingga ia tidak tergeragap saat menjawab pertanyaan Ina.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN