"Saat ini aku hanya ingin kau tahu bahwa aku menyukaimu dengan sederhana...."
( Muhammad Zayyan Altair )
***
Senja itu langit cerah. Sang surya bersinar kemerahan. Tak lama lagi akan kembali ke peraduannya. Udara berembus tenang. Zayyan baru saja selesai mengulang kitab Tafsir Jalalain yang akan ia ajarkan ba'da shalat Magrib nanti.
Matanya menatap keluar pagar rumahnya, melihat anak-anak berlarian ke sana ke mari. Ada yang berbondong-bondong menuju ke masjid. Ada pula yang baru pulang dari pengajian sore.
Zayyan tersenyum melihat semangat mereka berlomba-lomba menuju kebaikan. Semangat mereka masih membara. Ia mengingat masa kecilnya dulu persis sama dengan anak-anak itu.
Sebuah mobil SUV metalic silver berhenti tepat di depan pagar. Tampak seorang pria dewasa keluar dari sana. Ia tersenyum seraya mengucap salam.
"Assalamu'alaikum...."
"Wa'alaikumussalam...!" Zayyan beranjak dari duduknya dan melangkah ke halaman rumah membuka pintu pagar.
Senyum cerah terpancar dari wajahnya ketika ia melihat tamu yang tak lain adalah Hauzan.
"Ahlan wa sahlan ya Akhi...." Zayyan merentangkan kedua tangannya menyambut kedatangan Hauzan. "Masukin dulu mobilnya supaya kita leluasa nantinya di dalam," perintah Zayyan pada Hauzan.
Setelah melepaskan pelukannya, Hauzan masuk kembali ke dalam mobil dan melaju memasuki halaman.
Kini mobil sudah terparkir rapi di garasi. Hauzan dan keluarganya keluar dari sana. Zayyan berdiri kaku ketika matanya menangkap bayangan Ina di belakang Hauzan dan Zahra.
Kebaikan apa yang sudah ia lakukan sehingga Allah menghadirkan Bidadari yang ia rindukan?
Semua itu rahasia Sang Penguasa jagat raya. Zayyan sangat bersyukur. Meskipun begitu ia berlindung pada Allah agar hatinya di jauhi dari nafsu dan godaan syaitan yang menyesatkan umat manusia.
Ia tidak ingin rasa cintanya pada Ina melebihi rasa cintanya pada Sang Pemberi cinta.
"Assalamu'alaikum...." Zahra memberi salam diikuti oleh Ina. Syameel yang berada di gendongan Zahra menggeliat minta digendong abinya.
"Wa'alaikumussalam..., mari silakan masuk," ajak Zayyan seraya beranjak masuk ke dalam.
Setelah mereka duduk, Zayyan berlalu dari sana dan menuju ke belakang di mana umminya sedang berada.
"Ummi, kita kedatangan tamu dari Lhokseumawe. Abi mana?"
Zayyan memberitahukan kepada ummi setelah ia berada di dapur.
Sore-sore begini terkadang ummi menyibukkan diri di dapur, menyiapkan cemilan berupa rebusan atau gorengan dari pisang dan ubi.
"Siapa?" tanya ummi tanpa mengalihkan matanya dari penggorengan.
"Calon mantu kesayangan Ummi." Zayyan terkekeh dengan jawabannya sendiri.
Ummi mengerjap mata menatap Zayyan. Meyakinkan apa yang dikatakan oleh anaknya bukan hanya sekedar candaan.
"Hehehehe..., becanda, tapi Ummi kan selalu menyebut-nyebut namanya, siapa tahu Allah mengijabahkan keinginan Ummi itu."
Kalimat yang keluar dari bibir Zayyan menghadirkan senyum di wajah ummi. Sepertinya ummi sudah tahu siapa yang dimaksud oleh Zayyan sebagai calon mantunya.
Ummi mematikan kompor dan beranjak dari sana.
"Tadi Abi lagi baca-baca kitab di ruang baca, coba Abang lihat sana," kata ummi sambil berlalu dari hadapan Zayyan.
Zayyan langsung melangkah ke ruang baca, sementara ummi berjalan lurus ke ruang tamu. Menyambut tamu istimewa.
"MasyaAllah walhamdulillah, akhirnya kalian bertandang juga ke rumah Ummi." Ummi menyambut dan menyalami keluarga Hauzan satu per satu. Bahkan ummi menoel pipi Syameel saking gemasnya.
"Malam ini nginap di sini kan, ya, Nak Hauzan?" tanya ummi pada Hauzan.
Hauzan mengangguk.
"Alhamdulillah... Ummi sebenarnya kangen sekali sama kalian, apalagi dengan Nak Ina, tapi Ummi nggak bisa ke sana, Zayyan terlalu sibuk."
"Oh, ya? Sibuk apa dia, Ummi?" tanya Hauzan antusias.
"Sibuk jadi pembimbing Tahfidzul Qur'an di Mesjid."
"Assalamu'alaikum...." Tiba-tiba suara abi terdengar. Di belakangnya tampak Zayyan mengikuti.
"Wa'alaikumussalam, Abi...."
Hauzan bangun dari duduknya dan melangkah mendekati abi. Ia mencium tangan serta memeluk abi dengan erat. Abi dan Ummi Dini sudah seperti orang tuanya sendiri.
"Sudah lama datangnya, Nak Hauzan?" tanya abi setelah mereka duduk kembali.
"Baru saja, Bi. Sudah lama juga saya tidak berkunjung ke mari. Alhamdulillah, hari ini ada waktu luang, maka kami sekeluarga mengambil kesempatan itu dan datang bersilaturahim mengunjungi Abi sekeluarga di sini."
"Alhamdulliah, berarti malam ini nginap di sini kan, ya, ada hal yang ingin Abi bicarakan sama Nak Hauzan."
"InsyaAllah, Bi." Senyum Hauzan menanggapi perkataan abi.
Ummi Dini sudah beranjak dari sana. Ia ke belakang untuk menyeduh minuman dan gorengan yang tadi beliau goreng.
Sayup-sayup ummi Dini mendengar suara dari depan. Di mana suami dan anaknya berbincang-bincang dengan Hauzan, dan sesekali terdengar suara Zahra menimpali. Tidak ketinggalan pula suara Syameel berceloteh dengan bahasanya sendiri, meramaikan suasana sore ini di rumahnya yang biasanya sepi.
Ummi Dini tersenyum. Tiga cangkir kopi dan empat cangkir teh sudah selesai ia seduh. Baru hendak mengangkatnya, terdengar suara lembut menawarkan bantuannya.
"Ummi, minta biar Ina tolongin."
Ummi menoleh dan terkejut.
"Ya Allah, Nak Ina. Udah nggak apa-apa biar Ummi aja yang bawakan, masa tamu ikut menyibukkan diri, sih," tolak ummi dengan halus.
Tapi Ina tidak patah semangat. Ia terus menawarkan bantuannya dengan berkata.
"Tapi kata Ummi, Ummi menganggap Ina sebagai anak Ummi. Masa ini aja Ina tidak diperkenankan."
Ina memasang wajah cemberutnya sebagai bentuk rayuan pada Ummi Dini. Melihat Ina seperti itu ummi luluh dan menerima bantuan Ina.
Ina dan ummi tidak menyadari bahwa kegiatan mereka diperhatikan oleh seseorang yang beraninya hanya di belakang, alias mencuri-curi pandang secara diam-diam.
Setelah Ina pamit ke belakang, selang satu menit kemudian Zayyan pun mengikutinya dengan alasan, ada yang hendak ia lakukan. Demi meluahkan rasa rindu yang bercokol di hatinya selama beberapa minggu ini membuat Zayyan rela mencari alasan apapun, yang penting rasa rindunya tersalurkan walau hanya sebatas jarak.
Zayyan tahu, Ina sudah menjadi milik orang lain. Dan ini adalah untuk terakhir kalinya ia memandang Ina dari kejauhan. Ia harus memupus semua rasa itu agar ia tidak terperosok semakin dalam ke dasar jurang pengharapan.
"Iya... iya... nih, Ummi kasih ke Ina. Udah jangan cemberut gitu," gelak ummi sembari menoel dagu Ina.
Gelak tawa ummi membuyarkan lamunan Zayyan. Ia menatap sebentar kemudian berlalu dari sana. Sudah cukup ia membiarkan matanya terus berkubang dalam dosa, menatap sesuatu yang tidak halal baginya. Ia beristighfar berulang kali.
***
"Kakak, jangan pegang-pegang, jatuh pecah, marah Nenek nanti, mau?"
"Dadadadadaa...."
"Heheehe... insyaAllah, nanti kalau berhasil seperti yang diharapkan."
Dan banyak lagi suara riuh rendah yang terdengar di kediaman orang tua Zayyan. Yang biasanya sepi kini terlihat ramai dan semarak seperti malam hari raya.
Ummi Dini melihat suasana rumahnya yang ramai menyunggingkan senyuman di wajahnya. Ia merasa senang karena rumahnya tidak sepi seperti biasanya. Di mana hanya ia, suami dan anaknya saja yang mengisi seluruh bagian rumahnya.
Lama ummi menatap Ina yang sedang memangku Syameel dalam pangkuannya. Melihat Ina yang telaten menyuapi biskuit ke mulut Syameel, membuat ummi sangat berharap sekali Ina menikah dengan Zayyan.
Tidak tahu kenapa, hati ummi sudah terikat dengan kuat terhadap Ina.
Setelah makan malam bersama tadi, kini mereka duduk santai di ruang keluarga. Sedangkan abi dan Hauzan sudah mengasingkan diri di ruang baca. Zayyan tidak terlihat di sana, karena ia sudah dari sebelum magrib tadi pamit ke masjid, apalagi malam ini ia mengajar kitab Tafsir Jalalain.
"Apa yang hendak Abi bicarakan dengan saya?" Hauzan mulai bertanya dengan hati-hati.
"Ehemm..., begini, sebelumnya Abi minta maaf karena sudah lancang bertanya dan meminta kepada Nak Hauzan. Ini menyangkut Zayyan." Abi berdeham dan duduk tegak di depan Hauzan. Ada keraguan di sana.
"Tidak masalah, Bi. Apapun boleh Abi utarakan, insyaAllah kalau saya bisa akan saya bantu." Ucapan Hauzan membuat abi tenang. Ia menghela napas pelan sebelum melanjutkan.
"Begini, sebelum itu Abi mau tanya, apa benar Nak Ina sudah dipinang orang?" tanya abi hati-hati.
"Sebenarnya beberapa hari yang lalu memang ada yang hendak meminangnya, tapi saya tidak langsung menjawabnya karena semua keputusan ada pada Ina sang punya badan. Saya tidak ingin adik saya merasa terbebani atau terpaksa menerima tetapi hatinya menolak. Saya hanya ingin dia bahagia bukan tersiksa dengan pilihan yang bukan pilihan hatinya, Bi," jawab Hauzan panjang lebar.
Mendengar penjelasan dari Hauzan, abi menghela napas lega. Ada sedikit senyuman di sana.
"Berarti Nak Ina belum ada yang punya saat ini, benar, kan?" Abi memperjelas lagi agar tidak salah nantinya.
Hauzan mengangguk.
"Baiklah, karena Nak Ina belum ada yang punya, Abi akan langsung ke pokok permasalahan yang ingin Abi katakan tadi." Abi menjeda kalimatnya sejenak sebelum melanjutkan kembali.
"Abi, mewakili anak Abi sendiri ingin meminang Nak Ina menjadi istri untuk Zayyan. Apa Nak Hauzan memperkenankan?"
Abi menanti jawaban dari Hauzan dengan hati berdebar.
"Apa Zayyan tahu perihal ini, Bi?"
Abi menggeleng. "Dia tidak tahu kalau Abi hendak meminang Nak Ina secara langsung kepadamu. Tapi Abi tahu di dasar hatinya yang paling dalam dia sudah menyimpan nama Nak Ina di sana."
Ucapan abi yang terakhir itu membuat Hauzan terhenyak kaget. Ia tidak menyangka, selain dirinya ternyata abi juga mengetahui cinta dalam diam yang coba Zayyan sembunyikan selama ini.
Hauzan menyeringai mengingat kembali tingkah Zayyan selama ini. Sebenarnya ia sering memergoki Zayyan menatap adiknya dengan penuh perasaan cinta. Tetapi ia diam saja dan hanya menggoda Zayyan di saat ada kesempatan.
"Tapi jangan harap dia akan melangkah untuk memulainya duluan. Sampai kapan pun dia akan menunggu. Kalau Abi kata, sih, dia itu seperti perempuan dalam wujud laki-laki."
Abi terkekeh diikuti Hauzan. Mereka tertawa bersama. Membicarakan Zayyan di belakang seperti ini ternyata menyenangkan juga.
Sedangkan yang punya badan tidak tahu apa-apa. Ia sedang serius mengajar dan menjelaskan isi kitab Tafsir Jalalain kepada para pemuda di masjid sana.
"Iya, Bi. Padahal saya sudah membuka jalan untuknya, tapi seperti yang Abi katakan tadi, dia tetap di tempatnya," ucap Hauzan.
"Terus bagaimana proposal Abi tadi, apa Nak Hauzan menerimanya?" Serius abi bertanya.
"InsyaAllah, Bi. Saya menerima, tapi pembicaraan ini kita rahasiakan dulu dari mereka, ya, Bi," jawab Hauzan seraya meminta agar pembicaraan mereka di rahasiakan dari semua pihak.
Abi mengangguk, mengiyakan usulan Hauzan. Ada perasaan lega di wajahnya setelah membicarakan semua pada Hauzan.
Selama ini, walaupun abi diam saja, tetapi ia selalu memperhatikan anak semata wayangnya itu.
Namun tidak untuk saat ini. Setelah anaknya sakit dua hari yang lalu, abi bertekad untuk mengabulkan keinginan istrinya bermenantukan Ina.
Semoga apa yang sudah ia upayakan untuk kebahagiaan keluarga tercinta, Allah meridhai dan melancarkan segala urusannya.