10. Memantapkan Hati 2

1201 Kata
Ina dan ummi duduk berdua di sofa ruang tamu ditemani secangkir teh dan rebusan pisang yang sudah ditaburi kelapa parut dan gula. Rasanya begitu nikmat. Dulu, semasa ibunya masih hidup, Ina selalu dibuatkan pisang seperti itu oleh ibunya, bahkan terkadang juga beras ketan dan jagung dicampur padukan bersama kelapa parut dan gula. Mengingat hal itu membuat air mata Ina menitik dari peraduannya. Cepat ia menghapus jejak air matanya sebelum Ummi Dini menyadari kesedihannya. Ingatan tentang ibunya memang kerap kali menghampiri Ina, namun baru kali ini hatinya melankolis, mudah sedih dan terbawa perasaan. "Ina, jadi pulang besok, Nak?" Ummi mulai membuka percakapan di antara mereka setelah hening beberapa saat. "Insya Allah, Ummi." "Nggak besok lusa aja pulangnya? Ummi masih belum siap ditinggal kamu, Sayang." Cemberut ummi tatkala ia mendengar bahwa Ina akan kembali besok. Ummi merasa belum puas menghabiskan waktunya dengan Ina. Ina merasa tidak enak hati, ia beringsut dan mendekatkan dirinya pada ummi. Ia raih tangan ummi kemudian ia genggam lalu berkata. "Insya Allah, Ina akan datang lagi kapan pun Ummi membutuhkan Ina. Sekarang Abi dan Ummi pengganti kedua orang tua Ina, mana mungkin Ina tega meninggalkan Ummi begitu saja." Mata Ina mulai mengembun. Hatinya sesak, tiba-tiba ingatannya kembali kepada kedua orang tuanya yang telah tiada. Air mata yang mengembun itu perlahan menyeruak keluar membasahi kedua pipinya. Isakan terdengar dari bibirnya. Sungguh, ia tidak ingin terlihat rapuh seperti ini apalagi di depan Ummi Dini. Menyadari kesedihan Ina, ummi menenangkannya dengan memeluk erat Ina seakan ummi menyalurkan kekuatan melalui pelukan hangatnya. Ia usap punggung Ina halus. Ini tidak bisa dibiarkan terlalu lama. Melihat kerapuhan Ina, sepertinya ia membutuhkan topangan sebagai tempat ia bersandar. Ummi sudah bertekad bulat, sekembalinya Ina nanti ia akan langsung meminang dan menikahkannya dengan Zayyan. Itu janji ummi dalam hati. "Ssttt...! Sudah jangan bersedih lagi, Ummi minta maaf karena sudah membuatmu sedih, ya, Nak!" Ummi melepaskan pelukannya dan menatap Ina sayang. Ina menganggukkan kepalanya. "Kamu belum mengantuk?" Ummi mengalihkan pembicaraan supaya Ina tidak larut dalam kesedihan. "Belum Ummi, Ina nunggu Abang Zayyan balik, katanya ada yang ingin beliau bicarakan." Ina menjawab sembari mengusap sisa-sisa bekasan air matanya. Ummi terlihat kaget, namun ia mampu menguasai kembali raut wajahnya. Ia bertanya-tanya apa yang akan dibicarakan oleh anak bujangnya yang pendiam itu kepada Ina. Hmm... pasti ada sesuatu nih. Batin ummi dalam hati. "Ummi belum mengantuk?" lanjut Ina. "Udah mulai ngantuk ini. Ya udah, Ummi pamit tidur dulu, ya, Na, kasian Abi juga sendirian di kamar," kekeh ummi seraya bangkit meninggalkan Ina sendiri di ruang tamu. "Oh ya, Na, jika jam sepuluh Zayyan belum juga pulang kamu tidur aja, ya. Jangan sampe kamu telat tidurnya." Sebelum memasuki kamar, ummi mengingatkan Ina untuk tidur awal supaya tidak memaksakan diri menanti kepulangan Zayyan. Ina hanya membalas dengan anggukan dan senyuman. Ia kini duduk sendiri. Ia menatap teh yang masih mengepul dalam diam. Hatinya bertanya apa yang akan Zayyan bicarakan dengannya nanti. *** Sepulangnya dari masjid, Zayyan duduk istirahat sejenak di beranda depan. Matanya menatap langit-langit malam yang bertabur bintang berkelap kelip bersinar dengan indahnya. Sedangkan sang rembulan bersembunyi malu di balik awan. Zayyan menarik napasnya dalam-dalam kemudian ia keluarkan perlahan-lahan. Sudah waktunya bagi Zayyan untuk tidak ragu dan bimbang dalam melangkah mencapai impian. Malam ini ia bertekad mengutarakan apa yang terpendam dalam d**a tanpa ada yang menduga. Setelah agak lama ia merenung di beranda, kemudian ia beranjak dan membuka pintu. Betapa ia terkejut ketika matanya bersitatap dengan gadis yang sedang duduk sendiri di sofa menghadap ke arahnya. Sedangkan hati sang gadis berdesir syahdu tatkala matanya beradu dengan sang pencuri kalbu. Semburat merah pun menghiasi pipinya yang lembut bagaikan beludru. Cepat ia menundukkan kembali pandangannya supaya tidak tampak jelas gurat kekaguman yang terpatri dari wajahnya. "Assalamu'alaikum, Dek!" Zayyan memberi salam dan melangkah mendekat lalu duduk di salah satu sofa yang tidak jauh dari gadis yang tengah menunduk malu. "Wa'alaikumussalam...." Ina menjawab pelan. "Belum tidur?" "Belum...." Ina mengernyit. Mengapa Zayyan bertanya seperti itu? Apa dia lupa tentang pembicaraan yang akan Zayyan katakan tadi? Ina menghela napas pelan kemudian ia bertanya, "Bukannya tadi Abang kata ada hal yang ingin Abang bicarakan sama Ina?" Sebenarnya Zayyan tidak lupa, hanya saja dia mencoba memulai percakapannya dengan bertanya seperti itu, walau dia tahu bahwa jawaban Ina seperti yang sudah ia duga. "Gimana besok, jadi pulangnya?" "Jadi, Insya Allah." "Hhuuufftt....!!!" Zayan menghela napas berat, hatinya berasa deg-degan ingin memulai apa yang hendak ia katakan. Setelah merasa tenang ia mulai serius. Ia tatap wajah Ina lekat-lekat seolah apa yang akan ia katakan nanti adalah sesuatu yang sangat sakral. Ina tetap diam dan menunggu. Sedari tadi ia menundukkan pandangan dan tangannya tidak berhenti memilin-milin ujung hijabnya pertanda bahwa ia sedang gugup. "Apa yang akan saya katakan ini sudah saya pikir masak-masak dan juga melalui shalat Istikharah. Jadi, saya harap Dek Ina mendengar dengan baik karena saya tidak akan mengulang apa yang telah saya sampaikan." Zayyan berhenti sejenak, kemudian melanjutkan. "Ehem... sa...," "Bang, anak gadis orang nggak boleh diajak begadang...!" Seruan abi yang baru saja keluar dari kamar menghentikan kalimat yang akan Zayyan lontarkan. Abi berjalan mendekat dan turut serta duduk di sofa samping Zayyan. "Ummi mana, Bi?" tanya Zayyan. Itu hanyalah alasannya saja supaya gugupnya tadi tidak terlihat. "Ummi kamu sudah tidur," jawab abi singkat. Kemudian matanya kini beralih menatap Ina dan berkata, "Ina lebih baik kamu tidur, tidak baik untuk kesehatanmu kalau kamu begadang. Besok pagi kita akan mengantarmu pulang, jadi sekarang kamu harus istirahat supaya besok tidak lelah." Ina mengangguk pelan. Ia menurut saja apa yang dikatakan abi karena ia tidak berani membantah apalagi menyela karena ia begitu menghormati kedua orang tua Zayyan. "Abi, Abang, Ina pamit tidur dulu. Assalamu'alaikum." Ina mengangguk hormat dan beranjak dari sana seraya mengangkat cemilan dan cangkir teh sisa minumannya bersama ummi tadi. "Wa'alaikumussalam wa rahmatullah." jawab keduanya bersamaan. Setelah Ina menghilang, abi mulai menatap serius ke arah Zayyan. Zayyan yang ditatap seperti itu oleh abi merasa tidak nyaman, karena tidak biasanya abi menatapnya seserius itu kalau bukan membahas masalah pekerjaan atau pengajian. "Abi sama Ummi sudah menetapkan calon untukmu. Dan besok setelah mengantar Ina kembali ke rumahnya, Abi sama Ummi langsung akan mengkhitbah gadis itu. Karena ini adalah acara lamaran jadi hanya Abi sama Ummi saja yang datang dan melamarnya. Kamu tinggal di rumah." Zayyan diam. Gagal sudah apa yang ingin ia utarakan kepada Ina dan sekarang kedua orang tuanya malah sudah menjodohkannya dengan wanita lain. Dengan berat hati ia mengikuti kehendak orang tuanya. Zayyan merebahkan tubuhnya yang lelah. Memikirkan perihal jodoh membuat kepalanya pusing. Ting! Dentingan pesan masuk mengalihkan pikirannya. Satu nomor asing. Zayyan mengernyitkan dahinya seraya membuka pesan tersebut. Assalamu'alaikum Akhi Zayyan, maaf mengganggu Akhi malam-malam begini. Ana mau tanya, apa benar Abi ana meminta Akhi menjadi suami ana? Maaf apabila pertanyaan ana membuat Akhi tak nyaman. Selintas lalu Zayyan kembali teringat dengan perkataan abi saat itu. Tanpa bertanya ia kini tahu siapa yang mengiriminya pesan. Shafiya, anaknya Ustadz Zacky. Setelah berpikir sejenak, lantas ia pun membalasnya. Wa'alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakaatuh... Iya, tidak apa-apa, tapi maaf saya tidak mendengar hal seperti itu. Zayyan meletakkan kembali benda pipih ke tempat semula. Bolehkah ia menjawab seperti ini? Hanya saja, ia tidak ingin membuat gadis lemah lembut itu berharap sesuatu yang tidak mungkin bisa ia beri. Dengan berpura-pura tidak tahu semoga semua akan baik-baik saja.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN