Bab 1.2 Brief meeting

976 Kata
Ada hal yang akan gue tanyakan tentang Alex pada mamah. Termasuk bagaimana bisa mamah memperkenalan lelaki berdarah dingin seperti itu pada gue, dan memintanya untuk menjadi suami.   Bahkan gue tidak bisa membayangkan, gimana jadinya hidup gue kalo harus berhadapan dengan lelaki yang berdarah dingin  itu setiap hari, apalagi seumur hidup.   Gue yakin banget, rambut  indah ini dalam sekejap akan menjadi uban.   Sampai akhirnya mobil yang gue kendarai sedari tadi mulai memasuki gang perumahan tempat tinggal. Dan tak lama, gue sempat kebingungan karena mencari lahan parkir.    Bahkan garasi yang biasanya kosong, kini sudah di penuhi dengan beberapa mobil yang berjejer rapi di dalamnya, dan juga bahu jalan.   Sempat heran saat itu, kenapa mobil sebanyak itu bisa terparkir rapih tepat di depan rumah orang tua gue. Bahkan pintu rumah yang biasanya tertutup rapat, ini malah terbuka lebar.   "Kenapa rumah rame banget? apa mungkin mamah mengadakan arisan di rumah?" Gumam gue menatap sekeliling dan memilih parkir di tempat yang sedikit jauh dari rumah.   Tanpa berfikir panjang, gue langsung masuk begitu saja tanpa ada perasaan malu, toh biasanya juga gue melakukan itu kalo mamah sedang mengadakan arisan. Dan saat itu juga ternyata orang-orang yang ada di dalamnya memperhatikan pergerakan gue. Sempat heran karena orang-orang di dalam menggunakan pakaian yang begitu formal.   "Zee ... beri salam." Ucap mamah yang saat itu menghampiri gue, dan mendesak untuk memberi salam pada mereka.   "Zee, kamu udah besar, cantik pula. Tante inget betul gimana kamu kecilnya," kata perempuan paruh baya yang membuat gue  mengulum senyum ke arahnya.   "Iya bener, Zee sekarang cantik banget, sayang," timpal lelaki yang ada  di sebelahnya.   "Zee, ini calon mertua kamu. Orang tuanya Alex," kata mamah yang membuat gue mati kutu, dan langsung menarik mamah setelahnya.   Dapur adalah tempat yang saat itu menjadi  Tujuan gue untuk bicara empat mata sama mamah. Sebenarnya malu karena harus narik-narik mamah depan orang banyak. Tapi gue yakin mereka tau maksud gue apa.   Heran juga sebenarnya sama keluarga gue, bagaimana bisa mereka mengambil keputusan besar tanpa mendengar terlebih dahulu pendapat anaknya.   Ini juga terlalu cepat untuk gue menerima semuanya, bahkan gue belum tau apa-apa tentang sosok lelaki yang mau jadi suami gue itu.   "Tolong jelasin sama Zee, maksud semua ini apa, Mah?" tanya gue membuat mamah menghela napas panjang dan meraih kedua tangan gue.   "Mamah gak bisa jelasin detailnya, karena percuma juga kamu gak akan mengerti, yang jelas hari ini kami sedang membicarakan resepsi kamu minggu depan." Perkataan mamah yang membuat gue terkejut dan langsung melepaskan genggaman tangannya.   Bagaimana bisa mamah mengambil keputusan tanpa bertanya terlebih dulu sama gue. Bahkan pernikahan yang harusnya di pikirkan secara matang-matang, ini malah seperti mainan bagi gue.   "Mamah itu apa-apaan, kenapa secepat ini, sih? Zee itu belum kenal sama Alex, Mah!"   "Sayang, Alex anaknya baik, dia juga bertanggung jawab. Mamah cuma mau kamu ada yang jagain. Mamah itu khawatir banget sama pergaulan kamu," kata mamah yang membuat gue menghela napas kasar.   Sesungguhnya perjodohan ini begitu bertentangan sama hati, karena gue enggak mau kalo di jodohkan sama orang tua. Lagi pula senakal-nakalnya gue masih bisa jaga diri.   "Mamah gak tau aja kalo Alex itu orangnya tukang memerintah, selain itu dia juga sombong, dingin kaya es batu. Zee baru ketemu sekali aja kapok berurusan sama dia lagi, apalagi kalo berhari-hari," kata gue yang membuat mamah menggelengkan kepalanya seolah tak percaya. "Tapi emang gue akui kalo dia itu ganteng banget," batin gue tersenyum getir saat membayangkannya.   "Kapok? saya malah tidak yakin apa yang kamu ucapkan."    Perkataan laki-laki itu sontak membuat pandangan gue menoleh ke arahnya.   "Tante, maaf Alex sedikit terlambat," ucap lelaki berdarah dingin yang membuat gue menaikan sebelah alis karena heran.   Bagaimana bisa lelaki yang dingin, plus jutek terhadap gue bisa seramah itu terhadap orang tua gue.   "Percitraan!" gumam gue yang membuat mamah, mendelik ke arah gue.   *******   Berkali-kali gue mencoba buat kabur dari rumah, berharap pernikahan yang di rencanakan orang tua bakalan gagal begitu saja. Tapi berkali-kali itu juga gue kelaparan, karena semua uang yang ada di dompet terkuras. Bahkan kartu ATM, dan kredit gue di blokir sama mamah. Bisa saja seorang Zelea kerja, tapi gajih karyawan untuk seorang mahasiswa yang mengejar pendidikannya tidaklah cukup buat gue di banding uang saku yang orang tua gue kasih.   Alhasil selama satu minggu gue kabur, semuanya gagal dan enggak ada yang berjalan mulus, satu kali pun. Padahal Riri sama Ghea sudah bersusah payah buat bantuin gue saat itu.   Meski akhirnya mereka menyarankan gue buat menyerah dan tetap menuruti kemauan orang tua. Atau enggak, gue bakalan di cap sebagai anak durhaka, dan di kutuk.   Gue sih ogah banget kalo harus di kutuk jadi miskin. Itu sih namanya gue di kutuk mati secara bertahap.   Tapi, gue heran sama Alex, kenapa dia  menerima perjodohan ini dengan lapang d**a, tanpa ada penolakan sedikitpun. Bahkan di jaman yang serba modern gini, dia mau-maunya di jodohkan.   Apa mungkin karena dia gak laku? Entalah.   Gue yakin banget dalam jangka satu bulan Alex gak akan tahan dengan kelakuan gue, dan langsung menyerahkan gue sama orang tua.    Gue sih gak peduli dengan status gue nantinya. Yang terpenting gue bisa hidup berkecukupan.   Percaya enggak percaya, sekarang gue sedang bersanding di pelaminan bersama lelaki berdarah dingin itu. Bahkan dengan penampilan gue yang teramat cantik seperti ini pun dia tidak memuji atau melirik ke arah gue. Sampai-sampai gue mikir kalo dia itu sebenarnya cowo normal atau enggak. Padahal jelas-jelas keluarga dan para tamu undangan muji kecantikan gue ini. Alex jadi lelaki pertama yang tidak mempedulikan kecantikan gue.  Bahkan gue juga berfikir, selain orangnya bermasalah,  mata dan hatinya ikut bermasalah.   "Duh ... pegel banget sih, kapan berakhirnya ini," sarkas gue mencoba mengalihkan pandangan Alex agar menatap ke arah gue. Bener saja, dalam sekejap dirinya menoleh ke arah gue, namun itu tidak bertahan lama. Dirinya kembali bersikap datar tanpa mempedulikan gue. "Sebenarnya gue itu nikah sama manusia atau sama jombi, sih! Jombi aja kalo liat wanita cantik pasti di sikat," sarkas gue mendelik.     TBC.   FOLLOW ME : @ayyana_haoren
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN