Bab 2.1 Gay or No

1083 Kata
Malam yang menurut gue sedikit ekstrem jika untuk dibayangkan. Entah kenapa mentari hari ini turun begitu cepat, tidak seperti biasanya. Apa mungkin karena gue begitu takut menghadapi malam ini? Entahlah. Tapi rasa-rasanya gue memang sedikit berat untuk menghadapi malam ini. Bagaimana tidak, gue harus melewati malam-malam panjang gue bersama lelaki yang tidak gue kenal sama sekali, bahkan tidak gue cinta. Setelah resepsi pernikahan selesai, Alex meminta ijin pada kedua orang tua gue buat membawa gue ke apartemennya. Anehnya Mamah sama Papah menyetujui begitu saja permintaan Alex. Akan tetapi gue mencoba menolak ajakan Alex, dengan alasan kalo gue  belum packing apapun, dan ternyata Mamah sudah mempersiapkan ini semua sebelumnya, karena memang Alex sudah meminta ijin sebelumnya sama mereka untuk langsung mengajak gue ke apartemennya. Entah apa yang ada di dalam koper milik gue ini, gue pun, tidak tau menahu. "Hm, Mamah niat banget menyingkirkan anak semata wayangnya. Kayaknya udah gak ada yang sayang sama Zee, " celetuk gue dengan raut wajah yang tidak ikhlas. Mamah menatap ke arah gue, dengan senyuman yang menyimpul. "Mana mungkin seorang ibu gak sayang sama anaknya, lagian sekarang Alex lebih berhak atas hidup anak mamah yang cantik ini," jawabnya sembari mengusap lembut rambut panjang gue. "Benar kata mamah. Zee itu tetap anak kesayangan kami berdua, tapi bagaimana pun sekarang Zee sudah jadi istri Alex. Jadi kemanapun dia pergi, seorang istri harus selalu ada buat suaminya," timpal Ayah, yang membuat gue menghela napas pasrah. Kalo kata-kata bijak udah keluar dari mulut ayah. Gue gak bisa berbuat apa-apa lagi selain kata PASRAH. "Ini sebenarnya apartemen cowo atau cewek, sih?" Batin gue yang saat itu kagum melihat barang-barang yang tersusun  begitu rapi di dalam tempatnya, tanpa ada yang berserakan sedikit pun. Bahkan kamar milik gue aja enggak serapi apartemen milik Alex. "Kamar saya disana, kamu bisa taro koper disitu!" perintah Alex dengan menunjuk ke arah ruangan tersebut. "Maksudnya saya sekamar sama kamu?" tanya gue yang di balas tatapan datar khas miliknya.   "Memangnya kamu fikir ada pilihan lain selain disitu? Tapi terserah, kalo kamu mau tidur di ruang tengah, dapur, atau kamar mandi," sarkasnya membuat gue menarik sudut bibir gue dan mengerutkannya. "Okey," jawab gue ketus yang langsung menarik koper ke arah ruangan tersebut.   "Dan satu lagi, ada peraturan di rumah ini yang harus kamu ketahui. Jangan pernah mengotak-atik meja kerja saya, karena saya tidak suka," kata Alex yang saat itu menghentikan langkah gue. "Siap laksanakan!" Jawab gue dengan nada menyindir. "Siapa juga yang mau kepo sama meja kerja kamu, lagian saya juga enggak akan mau rapikan meja kerja orang," gumam gue.   Setelah masuk, gue pun mencari ruang kosong dalam lemari untuk menyusun baju-baju yang ada di dalam koper. Gue terkejut saat melihat baju-baju keluaran terbaru  ada di dalamnya, karena itu baju yang beberapa hari lalu gue incer, dan pengen banget.   "Ah ... mamah gue memang paling mengerti," kata gue dengan memeluk baju tersebut.   Tapi seketika itu juga kedua mata gue di bulatkan karena melihat benda yang membuat gue merinding disko ketika membayangkannya. "Gimana mungkin ada benda seperti ini di dalam koper gue," kata gue mengangkat lingerie tersebut heran.   Saat itu juga Alex membuka pintu lemari lainnya. Sontak saja kehadiran lelaki berdarah dingin itu membuat gue shok dan langsung menjauhkan benda itu dari genggaman gue.   Entah sejak kapan lelaki itu masuk ke dalam kamar, dan membuat gue harus menahan malu. Bahkan gue bisa membayangkan gimana merahnya wajah gue saat itu, dan gue yakin banget laki-laki yang sekarang masuk ke dalam kamar mandi sedang berfikiran aneh tentang gue karena melihat gue mengangkat lingerie berwarna hitam tadi.   Butuh waktu beberapa menit sampai akhirnya Alex keluar dengan penampilan yang membuat mata dan fikiran gue seakan ternoda karena penampilannya yang  seksi dan fresh. Bagaimana tidak, dia hanya mengenakan singlet dan boxer  sebagai penutup tubuhnya.   Saat itu  gue  hanya bisa menelan ludah dan mengusap lembut kening gue dengan posisi wajah sedikit ditekuk. "Astaga kenapa bisa ada bulu sebanyak itu di bagian dadanya, gue fikir cuma di tangannya aja," gumam gue dalam hati seakan salah tingkah.   Akhirnya gue memilih untuk beranjak dan pergi ke kamar mandi. Sesampainya di kamar mandi gue malah dapet panggilan telepon dari Riri dan Ghea yang sedang dihubungkan.   Baru saja gue mengangkat panggilan mereka, suara gaduh membuat telinga gue terasa bising saat mendengarnya.   "Kalian ngapain malam-malam begini telepon gue?" tanya gue heran.   "Zee, gue kira lo gak akan angkat panggilan dari kita," kata Riri.   "Riri kepo sama malam pertama lo, Zee."  Perkataan Ghea sontak membuat gue menaikan sebelah alis.   "Iya Zee, cerita dong! Secara body suami lo keren banget. Pasti roti sobeknya juga bakalan bikin lo nyaman saat bersandar sama dia," kata Riri membuat gue batuk saat mendengarnya.   Bener banget kata Riri, gue aja tadi hampir mimisan saat liat body dia, astaga gue jatuh cinta sama body dan ketampanannya. Tapi sayang, sikapnya tidak seindah penampilannya.   "Apaan sih! Kenapa otaknya kalian pada m***m banget. Heh, asal kalian tau yah. Dia itu kayaknya gak normal deh, buktinya dari pertama kenal, sampai nikah, sampai malam ini aja dia gak pernah muji kecantikan gue. Jangankan muji, natap gue aja dia enggak pernah.," kata gue tak yakin.   "What. Serius lo, Ze!" Seru Riri dan Ghea berbarengan.   "Serius, ngapain juga gue bohong."   "Gila banget sih itu menurut gue, secara lo cakep, Zee," kata Ghea. "Zee, apa mungkin laki lo gak normal?" timpal Riri yang membuat gue berfikir sejenak saat mendengarnya. "Bisa jadi itu, Ri," jawab Ghea yang membuat gue semakin kefikiran.   "Perkataan kalian bikin gue parno tau. Udah dong jangan nakuti gue terus, masa ia gue nikah sama cowo begituan."   "Zee! Gimana kalo lo tes kejantanan dia?" usul Riri yang membuat gue berfikir dan mengangkat sebelah alis. "Bener banget, gue setuju. Kayanya emang kejantanan suami lo perlu di uji," timpal Ghea.   "Maksud kalian?"    "Coba aja lo pake baju seksi di depan dia. Kalo dia masih cuek dan gak melirik lo sama sekali, itu berarti dia, Gay." Perkataan Riri benar-benar membuat gue merinding saat mendengarnya. Apa jadinya gue kalo sampai perkataan Riri itu benar adanya. Bahkan gue enggak bisa bayangkan jika keluarga dan teman gue pada tau. Bisa-bisa gue jadi bahan ejekan mereka.   "Gue setuju sama usul Riri. Kamu harus coba Zee," timpal Ghea yang membuat gue tak yakin dengan usul mereka.   "Kalian yakin? terus kalo sampai Alex ke goda gimana?" tanya gue tak yakin dengan usul mereka. Belum sempat mereka menjawab, tiba-tiba saja terdengar ketukan pintu dari arah luar  kamar mandi.   "Mau sampai kapan kamu diam di kamar mandi? Saya mau buang air kecil," kata alex yang membuat gue menghela napas kasar dan memutuskan panggilan kedua sahabat gue.   TBC    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN