Bab 1.1 Brief meeting

1058 Kata
Kalo bukan karena mamah yang maksa, dan ngebet banget buat nyuruh nemuin seseorang di restoran yang memiliki ruangan privat gini, gue sih ogah banget. Karena sebenarnya lebih suka bertemu orang di tempat keramaian, apalagi kalo orang itu cowo yang belum di kenal. Entah apa yang ada di fikiran nyokap dan bokap, sampe maksa banget untuk nemuin cowo di ruangan ini. Sudah lebih sepuluh menit dari jam yang sudah kami tetapkan, dan sudah satu gelas jus yang gue minum saat itu. Tapi parahnya lelaki itu belum juga menampakan batang hidungnya sedikit pun. Dan sekarang jam sudah menunjukan pukul tujuh malam, itu artinya gue sudah menunggu dia selama tiga puluh menit. Gue hanya bisa menghela napas panjang saat itu. Belum apa-apa dia sudah berani ngerjain gue.  Saking kesalnya gue akhirnya memilih untuk angkat kaki dari tempat ini.  Namun tiba-tiba saja ada orang yang lebih dulu membuka pintu tersebut dari arah berbeda. Saat pintu itu terbuka lebar, gue shok dengan mata yang di bulatkan saat melihat  penampakan lelaki di baliknya. Bagaimana tidak gue merasa shok setelah melihatnya, karena saat itu yang gue lihat, adalah lelaki paruh baya, yang umurnya kisaran dua puluh tahun di atas gue. Napas gue rasanya tersendat-sendat ketika  melihatnya, bahkan oksigen di ruangan itu seakan berlarian, membuat gue kehabisan napas. "Bagaimana bisa nyokap mau jodohin gue dengan lelaki tua," batin gue menggerutu kesal karena tidak terima. Sampai akhirnya lelaki tersebut sedikit membukukan tubuhnya di hadapan gue yang masih berdiri di depannya karena masih merasa tak percaya dengan apa yang gue lihat. "Non, maaf. Tuan nunggu non di mobilnya," ucap lelaki paruh baya tersebut tanpa menatap ke arah gue, dan itu membuat gue semakin keheranan tentang apa yang lelaki itu ucapkan. "Maksudnya?" tanya gue memastikan. "Untuk lebih jelasnya, non sebaiknya menemui tuan terlebih dahulu," ucapan lelaki paruh baya tersebut membuat gue semakin bertanya-tanya. Gue pun menghela napas singkat, dan menyuruhnya untuk menuntun  ke mobil yang dirinya maksud. Langkah kaki kini terhenti tepat di depan mobil Alphard berwarna hitam mengkilat. Mobil itu terbuka otomatis saat gue sudah berdiri di depannya. "Masuk!" Perintah lelaki berkemeja hitam, tanpa menoleh ke arah gue, dia hanya fokus ke beberapa lembar kertas yang ada di tangannya. Siapa lo, berani-beraninya memerintah gue. Gue pun menghela napas kasar saat mendengar perintah lelaki yang belum di ketahui identitasnya itu. Sampai akhirnya gue memilih duduk tepat di kursi yang sejajar dengan dirinya. Tatapan lelaki tersebut masih sama, dia masih fokus pada selebaran kertas yang ada di tangannya, tanpa menoleh ke arah gue, sedikit pun. Antara sibuk, atau pura-pura sibuk. Kalo kata gue sih dia pura-pura sibuk saat itu. Padahal jelas-jelas saat itu gue penasaran dengan detail wajahnya yang hanya bisa gue lihat dari sebelah arah. Saat mulut gue terbuka untuk melemparkan pertanyaan terhadap lelaki tersebut, dia malah lebih dulu menyebut nama gue dengan begitu detail. "Nama, Azelea Putri Hendra. Pekerjaan belum ada, karena masih kuliah di trimester akhir. Anak tunggal. Hobi berenang, shopping, jalan- jalan, dan pergi ke club malam. Apa itu benar?" tanya lelaki tersebut dan menoleh secara tiba-tiba dengan tatapan tajam ke arah gue. Sontak tatapan tersebut membuat gue salah tingkah dibuatnya. "Bagaimana bisa ada lelaki setampan itu, bahkan mantan-mantan gue aja kalah gantengnya dari dia," batin gue yang dibuat kagum, bahkan jiwa gue ikut meronta-ronta saat melihat wajah tampannya. Bahkan mata gue sulit dikedipkan saat itu juga. Sampai akhirnya lamunan terpecah saat dia memanggil nama  gue dengan begitu lantang. "Zelea!" "Iya saya," jawab gue sepontan. "Kamu itu dengerin saya apa tidak?" "Dengerin kok," jawab gue dengan dahi yang dikerutkan. "Jadi semua itu benar?" tanya laki-laki itu yang gue jawab anggukkan singkat ke arahnya. "Bagaimana bisa dia tau identitas detail gue. Bahkan dia juga tau kebiasaan buruk gue. Jelas-jelas gue aja gak kenal dia." Gue yang saat itu menggumam dengan menatap ke sembarang arah. "Terus kenapa kamu mau di jodohkan dengan saya?" Pertanyaan lelaki tersebut sontak membuat gue menohok ke arahnya. Bahkan yang tadinya  pengen marah karena dia sudah membuat gue menunggu terlalu lama, malah tidak bisa marah sama sekali.   "Jadi kamu cowo yang mau di kenalin mamah?" tanya gue yang membuat dia menaikan sebelah alisnya. Ini sih parah banget, kok bisa mamah nemu cowo setampan ini buat jadi suami. "Jawab dulu pertanyaan saya, baru setelahnya kamu boleh bertanya," tegasnya dengan datar. Perkataanya benar-benar membuat gue menghela napas.panjang. "Siapa juga yang mau di jodohin, lagian saya juga masih laku," jawab gue jual mahal. "Kamu yakin," tanya lelaki tersebut yang kembali menaikan sebelah alisnya. "Yakin lah. Siapa juga yang mau sama situ," jawab gue memalingkan wajah, karena kebenarannya gue enggak nolak sama sekali kalo di jodohkan dengan lelaki yang ada di hadapan gue saat ini, yang kadar kegantengannya kelewat sempurna menurut gue. "Terus kenapa kamu sendiri mau-maunya di jodohin sama saya," tanya gue yang membuat dia menatap tajam ke arah gue. "Saya tidak mau jawab pertanyaan kamu. Minggu depan kita nikah, saya juga gak mau buang-buang waktu buat persiapan pernikahan yang menurut saya gak begitu penting. Lagi pula pekerjaan saya jauh lebih penting dari pada mengurusi hal seperti itu. Dan satu lagi, jangan pernah mengatur kehidupan saya yang bersangkutan dengan pekerjaan. Kamu paham?" kata lelaki tersebut yang membuat gue menganga saat mendengarnya. Bagaimana bisa ada lelaki yang berfikiran seperti itu. Pernikahan yang harusnya adalah momen penting untuk semua orang, dia malah bilang tidak penting. Bahkan saat gue mencoba membuka suara, dan menentang ucapannya dia malah menegaskan kembali ucapannya yang sama sekali gue tidak mau dengar.   Darelle Alexio Pane, anak tunggal dari Antonio pane dan Melani pane. Berprofesi sebagai dokter kandungan termuda di sebuah rumah sakit ternama. Awalnya gue sempat heran, kenapa bisa dokter sukses mau di nerima perjodohan konyol ini. Apalagi dengan perempuan yang belum sama sekali dia kenal. Bahkan gue sempat heran saat dia tau, kebiasaan positif sampai ke negatif. Jadi ayah gue sama ayah dia itu sahabatan sewaktu mereka masih menjabat sebagai dokter, sampai akhirnya mereka membuka klinik masing-masing.   "Kamu gak bisa se enaknya begitu.Lagian saya itu maunya nikah secara megah," jawab gue enggak terima. Dia menghela napas singkat, setelahnya menatap ke arah gue. "Sekarang kamu keluar dari mobil saya." Ucapannya sontak membuat gue berdecak  kesal dibuatnya. "Maksudnya kamu ngusir saya," tanya gue yang di jawab anggukan singkat dengan tangan menyilang ke d**a. "Kamu cukup pintar, lagian saya belum punya tanggung jawab atas diri kamu, dan bukannya kamu juga bawa mobil, kan?" tanya Alex, yang membuat gue menggertakan gigi dan mendelik ke arahnya.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN