Semuanya di luar prediksi.
"Sialan! Kenapa kau datang?"
Aura yang cukup mencekam, tatapan mata yang Sean kobarkan seolah mengajak sang tamu untuk berperang. Dia merasa terusik.
Sedangkan seseorang itu justru malah semakin melebarkan senyumannya. Dia senang.
"Ayolah, kita bemain. Oke?"
Sean mendengkus.
"Tidak untuk hari ini, Leon. Kau mengganggu acara soreku," desah Sean. Ia menyandarkan punggung lebarnya pada sandaran sofa.
Leon tak mengubah mimik wajahnya, dia masih tersenyum meski tak secerah sebelumnya. Melihat pakaian yang Sean kenakan tampak kusut dan anehnya semakin sedap dipandang.
"Baiklah, sepertinya aku datang di saat yang tidak tepat. Aku pulang kalau begitu."
Seperti ucapannya. Leon benar-benar pergi dan menyisakan Sean seorang diri di dalam ruangan.
Lelaki Oh itu mengembuskan napas kasar, memejamkan sejenak kelopak matanya dengan hati yang bergejolak: masuk atau keluar?
Pikirannya berkecamuk semakin memperburuk keadaan. Berlainan dengan itu, di dalam sebuah kamar. Yoon Rahee sedang berusaha melepaskan ikatan pada kedua lengannya.
"Ya Tuhan, ini penyiksaan namanya!" Bibirnya menggerutu tak jelas, ia memaki Sean yang selalu lost control. Hatinya berdegup antara lega dan takut, ia bersyukur acara bercintanya berhenti di awal jalan. Bahkan Sean baru akan memulainya dengan dasi yang dia talikan di kedua tangannya. Sungguh ironis memiliki teman hidup yang tidak bisa bercinta dengan benar.
"Akh!"
Rahee memekik, terkejut dan juga sakit, Sean datang dan tersenyum padanya. Lelaki itu mencubit keras bagian pangkal pahanya. Ini sakit, kalian tahu?
"Sepertinya kita lanjutkan ini nanti. Tidak apa-apa, kan?" tanyanya sambil membantu melepaskan ikatan tersebut.
Rahee beringsut menarik selimut untuk menutupi tubuh telanjang bagian atasnya. Lalu ia mengangguk.
"I-iya. Sean, lain kali jika kita melakukannya ... bisakah tanganku terbebas?" Tatapan mata hitam pria itu menusuk tepat di dalam retinanya, secepatnya Rahee menyela ucapannya sendiri, "Maksudku, kau--"
"Tidak." Sangat dingin sekali nada suaranya. Rahee sampai turut membeku hanya karena mendengarnya. Wanita itu menunduk dalam.
Sean bilang tidak.
Sean menolaknya.
Dalam artian, Rahee harus siap dengan apa yang akan terjadi jika sampai kata nanti itu tiba.
"Yoon Rahee." Dari cara Sean menyebutkan namanya saja terasa menguliti dan menohok relungnya. Sean sangat mengerikan jika sedang seperti ini.
Rahee menggigit kecil bagian dalam bibirnya, ia menunggu kelanjutan ucapan suaminya.
Perlahan Sean menarik dagu runcing gadisnya, menuntun hazel indah wanita itu agar mau bersirobok dengan lensa pekatnya. Lalu Sean berkata dengan nada terendah yang ia miliki, tetapi terkesan mengancam.
"Aku tak suka seseorang yang menuntut gaya bercinta padaku, termasuk yang kau ucapkan tadi. Untuk itu jangan katakan, atau kau akan tahu akibatnya," desisnya. Kemudan melangkah pergi.
Rahee termenung seorang diri selepas kepergian Sean yang berhasil menyuntikkan panah runcing di dadanya.
Rahee kecewa karena penolakan Sean barusan, tapi hatinya juga sakit karena Sean mengatakannya dengan nada seolah-olah ia bukan istrinya, dan yang lebih parahnya, pria itu sempat berdesis di pijakan terakhir. Seperti ini: "Jangan menungguku, aku tidak akan pulang malam ini." Namun, dalam rungunya lebih terdengar seperti ini: Kau tidur saja duluan, aku akan tidur dengan wanita lain sampai pagi datang.
Tolong, bantu Rahee untuk mengenyahkan pemikiran negatifnya.
Rahee tidak mau patah hati sebelum mencoba meraihnya.
Pandangannya menatap lurus ke arah pintu yang baru saja menelan tubuh jangkung suaminya. Rahee tersenyum sendu.
Namun, bukankah Sean perah bilang dia mencintaiku?
Apakah saat ini masih berlaku?
Jika iya, kumohon ... biarkan aku untuk mendengarnya sekali lagi, dengan begitu akan kukatakan padanya dengan hal serupa.
--Yoon Rahee.
***
Senja sudah lewat, saat ini Sean sedang menikmati permainannya. Sebuah tempat yang bagi dirinya adalah persinggahan untuk sekadar refreshing dan melepas pikiran kacaunya.
Sean menyodokkan batang panjang miliknya pada bulatan kecil yang menggelinding di atas permukaan datar wadahnya, hingga bola berwarna biru itu sampai masuk pada liangnya. Sungguh indah sekali, permainannya memang tak pernah tertandingi. Sean pandai memainkan billiard.
"Kau menang lagi, Dude!" sorak Leon kegirangan.
Tentu saja, permainan di sini dibumbui dengan taruhan, bagi siapa saja yang menang berhak memilih teman ranjang satu malamnya.
"Aku memang tak pernah kalah, Leon." Sean menyombongkan diri dengan senyuman miringnya.
Mereka tertawa renyah meski lebih terdengar garing. Namun tak lama setelahnya, suara seseorang menghentikan tawa mereka.
"Belum, kurasa."
Sean menoleh, mendapati orang asing yang berani menimpali ucapan angkuhnya.
"Ayo bermain lagi denganku. Siapa tahu kesialan sedang menimpamu malam ini." Begitu katanya.
Sean berdecih, bisa apa pria ini? Wajah imut dengan tubuh pendek yang dia miliki, berada jauh di bawahnya. Jadi, haruskah Sean menolak? Pria itu sedang mencoba menantangnya.
Ketika seringaian pelecehan yang Sean kobarkan, suasana berubah tegang.
"Apa yang akan kau taruhkan jika kenyataannya nanti aku yang menang?" desisnya.
Sean memang tak pernah mau kalah bahkan sebelum bertanding dia sudah mengklaim dirinya yang akan menang.
Lelaki itu tertawa kecil. "Aku Minsuk. Akan kupikirkan nanti. Jadi, bagaimana? Siap untuk kalah, Mr. Oh?"
Sean mengeryit, namun tak tampak. Pria itu mengenalnya. Dia tahu nama marganya. Oh, jelas! Siapa yang tidak mengenal seorang Oh Sean? The King of Billiard. Tentu saja Minsuk tahu.
"We will see ..." balas Sean diiringi sebuah seringaian.
Dan malam itu terlewati dengan begitu saja. Pertarungan yang mereka anggap laki.
***
"Terima kasih sudah membukakan pintunya untukku, Rahee." Kei tersenyum manis atas dasar rasa terima kasihnya. Padahal tidak ada yang Rahee lakukan selain membukakan pintu untuk pria hitam itu.
"Iya--tapi, apakah sebaiknya kita bicara di luar saja? Um ... maksudku--"
"Tidak apa-apa, Rahee. Jangan khawatir, Sean tidak akan murka jika aku yang menemani istrinya malam ini."
Oh, perkataan ambigu. Rahee berdeham lalu mempersilakan Kei untuk masuk dan duduk di sofa ruang tamu.
"Tunggu sebentar, akan kubuatkan secangkir kopi s**u untukmu."
"Baiklah, aku akan menunggu."
Sementara Rahee pergi ke dapur, Kei mengitari pandangannya menyisir hal apa saja yang Sean tempelkan di dinding. Jika kalian ingin tahu, ini adalah kali pertama ia masuk ke rumah Sean. Sebelumnya, Sean tak pernah mengizinkan siapa pun masuk ke dalam sangkarnya, padahal mereka berteman lama.
"Silakan di nikmati, Dokter Kim."
Kei tersentak namun ia langsung terkekeh. "Panggil Kei saja, ini bukan lingkungan rumah sakit dan kau sudah bukan perawatku lagi," katanya membuat Rahee tersenyum kikuk.
Kei menyeruput pelan kopi buatan Rahee, lalu ia berucap, "Foto itu ..." Kei menunjuk salah satu perhiasan dinding yang ada di sana, Rahee mengikuti arah pandangnya. "Apa kau tahu siapa wanita itu?" tanyanya kemudian.
Rahe tercenung sebentar, di sana ada Sean yang tersenyum dengan sosok wanita cantik di sisi tubuhnya.
"Aku tidak tahu, Kei. Mungkinkah itu mantan kekasihnya?" vokalnya bernada kecewa.
Jadi, Rahee belum sadar dengan seluruh isi dalam bingkai figura itu?
"Kau tak pernah memerhatikan foto-foto itu, ya?" tebak Kei.
Rahee mengangguk. "Kurasa itu hanya potret kenangan."
Kei menyetujui dengan anggukan kepalanya.
"Lain kali kau harus tahu siapa-siapa saja yang ada dalam masa lalu Sean. Apa kau tidak penasaran?" Rahee mengeryit, Kei membenarkan posisi duduknya, lalu ia berucap lagi, "Kalian kan sudah menikah, tidak ada salahnya untuk saling tahu cerita masa lalu. Benar, kan?"
"Sean tak suka privasinya terusik," keluhnya sebelum mencoba. Rahee ingat saat ia meminta untuk tangannya terbebas ketika bercinta, dari jawaban yang Sean berikan sudah jelas pria itu lebih suka dominan dan tak mau orang lain mengusik hal-hal pribadinya.
"Baiklah, kalau begitu aku beri bonus untukmu. Yang itu!" Kei menunjuk bingkai yang tadi. "Adalah ibunya."
"Benarkah?"
Kei tak lagi membalas ucapannya, dengan tiba-tiba Rahee merasa tubuhnya terselimuti oleh kehangatan yang tak seharusnya.
Kei menarik Rahee ke dalam dekapannya, ia menenggelamkan permukaan wajahnya pada cekukan leher wanita itu.
"Sebentar saja, hanya seperti ini." Begitu katanya.
Rahee bergeming, tubuhnya kaku beralasan. Tak tahu harus melakukan apa, untuk melepasnya pun ia tak tega. Tapi, sungguh! Dia tahu ini salah.
***
"Sialan! Ikan Teri itu berani sekali mengancamku!" Sean berdesis jengkel.
Leon yang duduk di sampingnya hanya memutar kedua bola matanya jengah. Jika kalian ingin tahu, sejak dua puluh menit lalu yang Sean ucapkan hanya kalimat itu-itu saja.
"Kau hanya kalah satu kali, tapi lagakmu seperti orang yang habis kebakaran jenggot. Santailah sedikit," timpal Leon.
"Dia melukai harga diriku! Dan kau tahu? Taruhan jenis apa yang membawa-bawa nama istriku?" Sean marah, ia tak suka orang lain yang mengenal istri cantiknya. Apalagi sampai meminta untuk bertemu dengannya.
"Hanya bertemu, Sean. Bukan berkencan," kata Leon. Sean mengembuskan napas kasar. "Lagi pula, sudah hukum alam bagi yang menang untuk mendapatkan hadiahnya. Bukan begitu?" rampungnya.
Sean menunduk lesu.
"Aku hanya takut Rahee akan marah ketika ia tahu dirinya menjadi korban taruhan suaminya sendiri." Nada suaranya berubah lemah, Sean sangat menyayangi istrinya. Dalam prinsip hidupnya tidak ada yang boleh melukai Rahee selain diri Sean sendiri.
Saat Leon hendak bersuara, bunyi notifikasi ponsel mengugurkan niatannya. Ternyata itu milik Sean.
Sebuah pesan masuk dari salah satu karibnya. Yang seperti ini isinya: Terima kasih, kurasa lain waktu aku akan datang lagi sekadar untuk memeluk istrimu. Baby Yan, ayo berbagi denganku♥
Brak!
"Saus tartar! Astaga, jantungku! Oh Sean, mau ke mana kau?" teriak Leon yang merasa terkejut.
Sean melempar ponsel pintarnya tepat mengenai dinding beton, kekuatannya di luar kendali, layar datar itu sampai retak dan beberapa bagian terlepas dari cassing-nya. Begitu saja Sean bangkit dengan rahangnya mengeras penuh murka.
Dalam perasaan berkecamuk Sean memutuskan untuk kembali pulang. Padahal ini masih terlalu sore untuk dikata larut.
***
"Sean, kau pulang?" tanya Rahee yang nampak kebingungan. Kini ia sedang berdiri di depan kulkas tertutup. Ia habis minum dan dikejutkan dengan suara derap langkah yang begitu mengintimidasi.
Rahee mengerutkan dahinya, wajah Sean nampak suram. Tatapannya pun sangat tajam dan menuntut. Apa ia bersalah? Pikir Rahee.
"Buka!" perintah Sean. Bahkan saat berbicara saja pria Oh itu masih merapatkan giginya.
Rahee mundur selangkah, "S-Sean, kau--apa yang harus kubuka?" tanyanya gugup.
Semakin wanita itu bergerak menjauh, maka semakin lebar pula langkah Sean untuk mendekatinya, hingga kini ia menangkapnya.
Rahee menelan gumpalan saliva dengan susah payah. Sean terlihat sangat tampan meski sedang marah begini.
Entah apa yang di pikirkan Sean, pria itu malah menuipi wajah istrinya. Kemudian ia berucap, "Wajahmu merah. Rahee, ayo buka pakaianmu!"
"Huh?"
"Buka bajumu!"
Rahee berkedip, ia terkesiap ketika Sean membentaknya barusan. Tapi bukan itu yang membuatnya merasa terkejut, justru dua kata yang Sean lontarkan sungguh sangat memengaruhi debaran jantungnya.
Namun, tak bertahan lama. Kini Rahee dikejutkan lagi dengan tingkah suaminya. Dalam sekali hentakkan Sean berhasil menarik baju Rahee dan merobeknya hingga terbelah dua.
"Sean! Apa yang kautidak jangan! Oh Sean, lepaskan! Turunkan aku!"
Sean membopong tubuh istrinya dalam gendongan seperti karung beras yang ia panggul di bahu kanannya.
Rahee memekik ketika telapak tangan kurang ajar Sean menepuk bokongnya. Bahkan berkali-kali Sean meremas kasar bagian tersebut.
"Apa yang kau lakukan?"
"Aku lapar, Sayang."
"Kalau begitu turunkan! Aku akan memasak untukmu."
"Tidak. Seleraku lebih ingin memakanmu."
Lagi-lagi Rahee memekik, kali ini ia merasa benturan yang cukup keras antara punggungnya dengan kasur busa. Sean menghempaskan tubuhnya tanpa membiarkan ia merasa santai dan tenang, lelaki itu terlihat seperti serigala jantan yang sangat kelaparan menemukan mangsanya.
Tangan kekar suaminya tak pernah tinggal diam, bahkan kini pakaiannya sudah tercecer di lantai. Namun, pria itu masih utuh dengan kemeja dan celana bahannya.
Rahee menggeleng.
"Tidak, Sean." Suara lembut Rahee menghentikan pergerakan Sean.
Perlahan Rahee mengulurkan tangannya dan menyentuh permukaan wajah tampan itu. Sangat lembut sekali, Rahee mengusapnya diiringi dengan senyuman manis yang cukup menggetarkan hati Sean.
"Sean, aku sudah tahu."
Sean diam masih larut dengan senyuman istrinya.
"Aku tahu kau, untuk itu ... tolong, izinkan aku untuk mengenalmu, penyakitmu, dan masa lalumu."
Suara merdu Rahee menggelitik dadanya. Darahnya berdesir untuk beberapa saat. Ketika kesadarannya pulih tentang apa yang Rahee ucapkan, Sean bangkit hendak meninggalkan Rahee dan membawa segenggam bongkahan luka di hatinya. Masa lalu, penyakit dan apalah itu. Sean tak mau membicarakannya.
Namun, niatannya terurungkan di kala vokal indah itu menerobos rungunya.
"Touch me, Sean." Sangat pelan dan beralasan, Sean tertegun. "Dan biarkan aku untuk mengajarimu bagaimana cara bercinta dengan benar."
Aku menginginkanmu.
--Yoon Rahee.
***
NOTE:
Part depan di warning
See you.