Sadistic.
Suamiku seorang sexsual sadism.
Adakah yang lebih gila dari ini?
Yoon Rahee, deretan kalimat yang sama ketujuh kalinya dia lontarkan. Rahee menggeleng bodoh, ia tak paham dengan alur cerita hidupnya. Banyak sekali petanyaan yang bergelombang di otak cantiknya. Seribu kata 'kenapa' dengan akhiran tanda tanya yang menggantung indah di atas kepala. Setidaknya, Rahee ingin tahu satu jawaban atas satu pertanyaannya: Why me?
"Aku pulang."
Oh, itu Sean. Suara datarnya menyentak lamunan Rahee.
"Sudah jam dua belas, kenapa baru pulang?" tanya Rahee sambil bangkit dari dudukkannya. Ia memunguti lembaran foto laknat itu dan menyembunyikannya dari sang model bercinta.
Sejak tadi Rahee belum bergerak jauh dari kursi tamu. Ia bahkan belum sempat membersihkan tubuhnya.
"Aku sibuk, banyak pekerjaan yang harus kuurus di toko."
Kau bohong.
Rahee tersenyum meski terasa sakitnya.
"Sudah mandi?" Ia berjalan mendekati suaminya.
"Sudah."
Singkat sekali, bahkan Sean selalu menghindari tatapannya. Rahee lagi-lagi memamerkan lekukan bibirnya membentuk sabit ceria.
"Aku belum." Rahee berhenti sejenak, berpikir jika mencoba tidak ada salahnya. "Mau ikut denganku? Mandi dua kali kurasa bukan masalah," rampungnya.
Sean tersentak, ia menoleh cepat pada sumber suara, Rahee berdiri tepat di sampingnya. Mendadak kenapa seperti ini? Yoon Rahee kau berniat menggali kuburanmu sendiri? Menawarkan diri untuk mandi bersama dengan dirinya, Sean rasa Rahee sudah gila.
Tidak.
Dia tak tahu apa pun. Sean memegang teguh logikanya dalam bentuk penyangkalan, jika Rahee memang tidak tahu tentangnya.
"Mungkinkah ..." Sean menghadapkan tubuhnya berhadapan dengan sang istri, menggantung ucapannya hingga menyeret rasa penasaran di wajah wanita cantiknya, lalu ia menangkup sisi wajah Rahee dengan kedua telapaknya. "Kau menginginkanku?" bisiknya sedekutif.
Rahee bersemu, padahal Rahee tahu Sean sedang mencoba bermain-main dengan godaan perasaannya.
"Well, itu benar. Kita sudah sah menikah. Tapi anehnya, sampai hari ini aku belum menyumbangkan malam pertama?"
Jawaban yang sangat berani sekali, Nona Yoon.
Tolong, ingatkan Sean untuk tidak menghukumnya dengan tembakkan luar biasa di dalam tubuh istri cantiknya.
Sean tertawa renyah. Pemandangan baru yang Rahee saksikan dari suaminya sendiri, dalam satu alasan yang pasti hatinya berdesir seirama. Rahee tersenyum diam-diam.
"Sudah sana mandi! Bau tubuhmu sampai tercium. Kau bau sekali," kata Sean.
Rahee berdecak mendengar jawaban Sean yang jauh dari prediksinya. Ia baru tahu kalau Sean adalah sosok pria yang kuat. Dengan sekali gerakan Rahee memajukan dirinya hingga ia dapat merasakan sesuatu yang membuatnya merasa malu sendiri.
"Baiklah, terserah apa katamu." Setelahnya ia berlari pergi melepaskan diri dari jangkauan Sean.
Lelaki itu menggeram, ingin rasanya ia memberikan sedikit hukuman untuk istrinya itu. Tapi Sean tidak mau lepas kendali lagi. Ia akan bersabar, menahan, dan tersiksa seorang diri.
***
Sean merebahkan tubuhnya di atas kasur busa kamar utama, mencoba untuk terpejam demi menidurkan burung elangnya. Sangat sesak hingga dirasa ingin mencuat dan terbang dari sangkarnya.
Akibat yang ditimbulkan, saat ini pria tampan itu sedang membolak-balik tubuhnya di setiap lima detik sekali, dari yang terlentang, miring samping kanan-kiri, bahkan ia sampai tengkurap diiringi dengan erangan tertahannya. Sean frustrasi.
"Yoon Rahee! Kau nakal sekali." Suaranya teredam oleh bantal.
Oh, bunuh saja dia! Dari pada menanggung beban seberat besi dan baja ratusan kilo. Sean rasa ia tak bisa. Dia butuh pelepasan, pelampiasan, dan tampungan. Damn s**t!
"Sean, kau kenapa?" Rahee bertanya khawatir saat melihat suaminya bergerak gelisah seolah dikejar mimpi buruk.
"Jangan mendekat!" Sean mencegahnya, ia tahu Rahee belum memakai pakaiannya dengan benar. Karena baru saja ia mendengar suara decitan pintu yang terbuka dan tertutup kembali dari arah pojok ruangan.
Rahee baru selesai mandi. Terkejut sekaligus cemas menyaksikan tingkah Sean yang sangat tidak wajar dalam pikirannya.
"Kau terlihat tak nyaman? Apa sesuatu mengganggumu? Katakan, Sean, siapa tahu aku bisa bantu."
Mendengar itu Sean langsung bangkit dan duduk bersila di atas ranjang dengan bantal yang ia tumpaki di atas pangkuannya.
Menatap tajam Rahee sebagai peringatan tanda bahaya. "Cepat ambil bajumu, pilih pakaian yang benar, dan ganti di sana!" Tunjukknya mengedikkan dagu ke arah kamar mandi dalam ruangan.
"Kenapa? Biasanya juga aku ganti di sini," ujarnya sambil berjalan mendekat ke arah Sean, ia berniat untuk mengecek suhu tubuh suaminya. Wajah Sean nampak pucat dan kaku sekali.
Rahee itu bodoh atau apa? Terlalu polos atau justru sengaja? Sean memejamkan erat kelopak matanya. Mensugesti diri bahwa semuanya akan baik-baik saja.
"Rahee," bisiknya parau. Ketika telapak tangan halus wanita itu menyentuh keningnya, Sean memanggil.
Rahee bergumam sebagai balasan. Ia mengeryit ketika merasakan suhu normal dari tubuh Sean. Lelaki Oh itu membuka matanya, menatap lekat ke dalam manik cokelat sang istri. Kemudian dia berkata, "Ingatlah aku--tidak, jangan ..." jangan mengingatku, Sayang. Sean menggeleng lalu menarik cepat tangan Rahee yang masih bertengger di keningnya, dengan gerakan secepat kilat Sean mengecup bibir istrinya. "Kenalilah aku."
Hanya itu dan memang itu yang ingin Sean katakan.
Semula aku ingin kau mengingatku, tapi sekarang kau cukup mengenalku, dan tidak untuk mengingatku. Aku tak ingin dikenang, kau cukup tahu aku yang sekarang ... yang seperti ini adanya.
--Oh Sean.
Rahee mengerjap, untuk beberapa saat ia kehilangan jiwanya.
"Pakailah bajumu, Rahee. Kau bisa kedinginan jika hanya memakai sehelai handuk itu. Aku akan pergi sebentar, jangan keluar dan tunggulah aku. Hanya sebentar." Begitu katanya, menyeret kesadaran Rahee kembali ke permukaan.
"Kau akan ke mana?" Ia menarik kecil ujung kaos Sean ketika lelaki itu berhasil melangkah melewatinya.
Sean terdiam tapi tak lama setelahnya ia berbalik, menggenggam tangan Rahee dan mengecupnya lama.
"Mencari udara. Aku merasa sesak."
***
"Bagus sekali, Oh Sean! Aku bangga padamu." Itu suara Loey, siapa lagi kalau bukan dia?
Kei berdecak, bagus apanya? Dan bagian mana yang harus dia banggakan?
"Menahan hasrat itu memang biasa, dan sudah seharusnya begitu untuk seseorang sejenis dirimu." Kei menimpali sambil menunjuk Sean dengan dagunya. "Tapi jangan salah. Memendam jus leci yang siap meledak dalam tubuhmu itu sangat menyiksa. Kusarankan untuk melakukan permainan solo, itu lebih baik," sambungnya bernada 'Aku selalu benar'.
Sean mendengkus kasar, sepertinya ia salah sudah datang kemari. Jika tahu begini, Sean lebih baik memesan satu kamar hotel dengan porsi plus satu wanita cantik dan suci yang siap ia masuki. Sungguh b*****h!
"Sean, lain kali kau harus melakukannya juga dengan istrimu," saran Loey.
Sean mendelik melemparkan tatapan membunuhnya kepada pria jangkung bermata besar itu. "Saranmu terlalu bermasalah. Aku tidak setuju," katanya.
Kei mengangguk, kali ini ia bersekongkol dengan Sean.
"Rahee itu cantik, baik, halus, dan suka kelembutan. Kalau pun ada saran dariku, sebaiknya kau biarkan aku saja yang menggantikanmu untuk berbagi benih di sana. Aku memiliki bibit unggul, kau tahu?"
Plak!
"Pasta ikan! Kenapa kau memukulku?" Kei merasakan kepalanya berdenyut nyeri setelah mendapatkan satu pukulan keras pemberian Sean. "Berlebihan sekali. Aku hanya bercanda, oke?"
Kei menyerah sebelum bertekad, ia melihat pancaran mata hitam Sean yang membara karena ucapannya. Lelaki gila itu sangat sensitif, begitu pikir Kei.
"Sepertinya aku sudah salah punya teman. Kalian i***t!" hardik Sean, berdesis.
Loey melotot, memperlebar bola matanya. "Sekali lagi berkata begitu, aku laporkan pada ayahmu bahwa putra semata wayangnya sedang bersembunyi di negeri ini, bersamaku."
Skak. Sean terdiam kesal. Sedangkan Loey, dia malah tersenyum setan.
"Woho! Kartu AS-mu masih tersimpan dengan benar, Yan. Jangan macam-macam," ancam Kei dengan senyum penuh kemenangan.
"Terserah. Lebih baik aku pulang sekarang, istriku sedang menunggu," ucapnya menekan satu kata dalam kalimatnya, ia sengaja. Ingatkan mereka jika aku sudah punya seseorang yang setiap saat akan menunggu kepulanganku, dewa batinnya berbisik bangga.
Sean tersenyum mengakhiri, sebuah senyuman yang mengartikan sebuah makna tersirat jika: sendiri itu tidak asyik! Setelahnya, Sean pergi.
"Sial! Aku terlalu memanjakannya. Lihat, dia sangat berani!"
"Aku menyalahkanmu untuk itu, Loey. Sean benar-benar pandai memutarbalikkan keadaan. Aku bangga padanya!"
***
Sudah tidak lagi bisa disebut 'sebentar', sejak matahari menantang bersinar di atas kepala hingga sampai saat ini suaminya belum datang juga. Lagi-lagi Rahee sedia menunggu.
Cinta itu memang buta. Selain buta, juga tuli. Katakan saja tuna rungu, tuna wicara bahkan terdengar gila. Ketika seseorang banyak berpikir dari hati daripada menggunakan logika.
Seperti yang Rahee rasakan, ia menjadi gila karena mau-mau saja mencoba apa yang Leon katakan. Dan ia merasa bodoh, karena saat ini Sean sedang tersenyum padanya. Rahee balas tersenyum, meski yang Sean tunjukkan adalah senyuman sebelah bibir.
"Ayo bercinta!"
DEG.
Pucat pasi.
***
NOTE:
Gimana gaes? Alurnya pelan2 aja dulu ya, kita lagi nanjak nih ceritanya. Nikmati saja yang ada, Okey? Thanks
Komen jangan lupa.
Btw, ini hanya fiksi. Diambil yg positif, yang jelek lewatkan. Kalo ada typo or kurang jelas/kurang rapi, mohon maaf ya. Nanti aku perbaiki.