Bab 10 | Nikmatnya Bangkai Daging Saudara Sendiri

1178 Kata
Lalu entah sengaja atau tidak, Fayez kini menatap ke arahnya, tatapannya begitu lekat sebagaimana Hasna menatapnya, keduanya bertatapan untuk sepersekian detik sebelum Hasna memutus kontak mata itu dan menundukkan wajahnya dengan tangan yang saling mengepal saat dia kembali mendengar dua perempuan di sebelahnya melanjutkan gosip mereka. “Menurutmu, apakah Gus Fayez dan Ustadzah Zahra sudah ikhlas dan saling menerima takdir?” “Menurutku tidak, lihat saja tadi tatapan Gus Fayez kepada Ustadzah Zahra, cinta mereka begitu kuat dan tidak mungkin semudah itu melupakan dan mengikhlaskan dalam hitungan hari, walaupun mungkin iman mereka lebih baik dari kita, tapi perkara ikhlas dan cinta itu dua hal yang sangat berat dan di sanalah setan mengambil celah untuk menjerumuskan.” “Sungguh menyedihkan, mereka saling tersakiti dan tidak bisa memiliki, padahal mereka menjemput cinta dengan cara yang baik, namun Allah menguji mereka. Pasti sakit sekali menjadi Gus Fayez harus mengikhlaskan wanita yang dia cintai, menikah dengan wanita yang jauh dibanding Ustadzah Zahra, menikah dengan wanita yang tidak dia cintai dan bahkan mungkin tidak dia kenal dengan baik. Oh, beratnya ujian mereka.” “Tapi menurutmu bagaimana yang menjadi istrinya? Apa dia senang bisa menikah dengan Gus Fayez?” “Tentu saja! Mana mungkin dia tidak senang bisa menikah dengan husband material fiddunya wal akhirah seperti Gus Fayez? Dia yang tidak se-salihah dan sebaik akhlak Ustadzah Zahra begitu beruntung memiliki Gus Fayez, walau tidak dicintai oleh suaminya seharusnya dia tetap bersyukur bisa memiliki suami yang bisa menuntunnya ke surga!” Obrolan mereka terus berlanjut dan tanpa sadar menyakiti hati wanita yang menjadi topik utama gosip mereka hari ini. Begitulah manusia, terutama para kaum hawa, begitu mudah lisannya menyakiti orang lain tanpa dia sadari, bukankah sesungguhnya sumber dari dosa itu paling banyak berasal dari lisan dan hati yang kotor? Namun kebanyakan manusia tidak pernah menyadarinya jika setan telah berhasil menjerumuskannya untuk terus memakan bangkai daging saudaranya sendiri, semakin banyak mereka memakan daging bangkai saudaranya sendiri maka terasa semakin nikmat. Naudzubillah. Hasna memejamkan matanya dan menekan dadanya yang terus berdenyut sakit, dia terus mengucap istighfar untuk meredakan perasaannya yang berkecamuk, kembali memantapkan niatnya jika malam ini dia datang untuk menuntut ilmu, maka dia hanya perlu mengabaikan suara-suara yang tidak mengandung ilmu di dalamnya. Dia menarik napasnya panjang dan menyunggingkan senyum di balik niqabnya, dia tersenyum untuk dirinya sendiri, untuk menguatkan dan meyakinkan dirinya jika Allah selalu bersamanya dan akan menghapus semua kesedihan di hatinya. Kini dia ingin mengembalikan niatnya datang ke kajian malam ini hanya karena Alla Ta’ala. ‘Kasihan sekali Gus Fayez, membuang berlian demi batu kerikil.’ Tapi kenyatannya, kata-kata itu terus terngiang di kepala Hasna, menikamnya begitu dalam ke hatinya, orang lain memandangnya begitu rendah, apakah Fayez juga memikirkan hal yang sama? “Ya Allah, maafkan aku yang masih kalah untuk mengontrol perasaanku atas apa yang orang lain katakan tentangku, dan ampunilah mereka Ya Allah, sesungguhnya mereka ke sini untuk menuntut ilmu, sama sepertiku.” Hasna berdoa dalam hati dan memohon ampun dengan penuh penyesalan. Nyatanya, hatinya masih begitu lemah dan mudah terpengaruh atas ucapan-ucapan orang lain yang tidak dikenalnya dan tidak memiliki pengaruh apapun dalam hidupnya. Tapi, bukankah mengendalikan perasaan untuk tidak tersakiti atas apa yang dilakukan oleh orang lain yang jelas-jelas merendahkan kita memang begitu berat? *** Begitu menyelesaikan solat Isya, Fayez terlihat langsung beranjak setelah melantunkan dzikir singkat, ada sesuatu yang membuat hatinya gelisah, apalagi jika bukan memikirkan tentang Hasna. Nyatanya, tanpa pria itu sadari, tentang Hasna mulai memenuhi pikiran dan hatinya. “Alif …” Panggil Fayez saat melihat pria itu yang cukup dekat dengannya dan ikut bekerja dengannya beberapa tahun ke belakang selain menjadi pengurus pondok pesantren juga. “Iya, Gus.” “Aku minta tolong, tolong ajak istrimu dan jemput istriku ya untuk ke sini, Aku takut dia tidak bisa sampai ke tempat duduk depan karena kepadatan jamaah yang datang. Ini pertama kali untuknya, soalnya.” “Siap … Siap … Gus, saya cari istri saya dulu lalu jalan ke rumah Gus Fayez sekarang.” “Terima kasih ya, Lif.” “Sama-sama, Gus.” Tatapan Fayez terus mencari dan memperhatikan setiap tamu yang datang dan satu persatu kursi yang dikhususkan untuk tamu khusus dan para keluarga juga kerabat mulai terisi, namun dia tidak melihat Hasna datang padahal acara sebentar lagi akan dimulai. Dia kembali mengecek ponselnya dan mendial nomor Hasna, namun masih belum juga diangkat. Dia sudah mengirim pesan jika Alif dan istrinya akan menjemputnya. “Kenapa aku tidak kepikiran dari awal? Fayez … Bagaimana kamu membiarkan istrimu datang sendiri malam-malam di tempat yang dia masih awam. Astaghfirullah …” Fayez menggumam dengan penyesalan di hatinya. “Gus …” Itu panggilan Alif yang datang dengan istrinya namun dia tidak melihat Hasna bersama mereka. “Kami sudah mengetuk rumah Gus Fayez,, namun sepertinya Mba Hasna sudah berangkat, lampu rumah juga sudah mati.” Alif menyampaikan laporannya, membuat Fayez mengangguk mengerti. “Ya sudah, tidak apa-apa, terima kasih, ya …” Ucap Fayez dengan nada tenang, tidak lama setelah itu dia mendengar MC memanggilnya untuk memberikan sambutan. Selama memberikan sambutan, matanya begitu awas untuk mencari di mana keberadaan Hasna, dia telah memberikan kartu tanda pengenal pesantren pada wanita itu, seharusnya wanita itu tidak jauh-jauh berada di antara para santri atau para pengajar, namun dia masih belum bisa menemukan wanita itu. Saat sambutan selesai yang dilanjutkan dengan Zahra yang naik ke atas panggung dan melantunkan suara merdunya untuk membacakan ayat-ayat Alquran, perhatian Fayez sedikit teralihkan, dia menatap Zahra walau dia tau itu tidak boleh, namun godaan setan nyatanya mengalahkannya. Dia menatap lekat pada wanita yang nyaris menjadi istrinya itu, parasnya sempurna, wanita yang salihah, mampu menjaga dirinya, wanita muslimah yang menjadi idaman para kaum adam termasuk dirinya. ‘Astaghfirullah, Fayez.’ Fayez langsung beristighfar dalam hati saat hatinya menyadarkan jika semua yang dia lakukan itu adalah dosa. Dia telah bertekad untuk melupakan Zahra dan belajar mencintai Hasna, memuliakan wanita yang telah menjadi istrinya itu. Kenapa dia begitu jahat kepada Hasna? Lalu netranya kembali mencari keberadaan Hasna, hingga pada saat dia akan turun dari panggung, netranya bertatapan dengan tatapan yang meneduhkan dan sangat Fayez kenali, itulah Hasna. Sekali pun Hasna memakai niqab, namun Fayez mengenali sepenuhnya tatapan istrinya itu. Dia lalu turun dari panggung, tentu saja yang menjadi tujuannya yaitu menjemput Hasna dan duduk di tempat yang seharusnya. Hasna menyadari jika tadi saat dia menatap Fayez, Fayez juga menatapnya dan pria itu memberikan tatapan terkejutnya. Tangan Hasna saling bertaut dan berkeringat dingin, dia ingin pindah, bukannya dia berekspektasi tinggi jika Fayez akan menjemputnya, dia hanya ingin menyiapkan kemungkinan terburuk. Jika Fayez menjemputnya di kursinya sekarang, mungkin para perempuan yang membicarakannya tadi akan merasa sangat malu karena ternyata yang sejak tadi mereka bicarakan ada begitu dekat dengan mereka, selain itu kedatangan Fayez pasti akan menjadi perhatian. Hasna terus memperhatikan Fayez dengan sembunyi-sembunyi yang turun dari panggung, takut jika tatapan mereka kembali bertemu, dia melihat seseorang mengajak Fayez mengobrol dan pria itu memimpin jalan untuk mempersilahkan tamu itu duduk di depan bertepatan dengan acara inti yang akan dimulai setelah pembacaan solawat kepada Rasulullah SAW. Pun dia masih mendengar para wanita itu masih sibuk membicarakan takdir yang terjadi antara dirinya, Fayez dan Zahra.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN