Tidak ada tatapan kekecewaan, amarah ataupun kesal yang Hasna lihat di mata Fayez, pria itu justru sangat khawatir dengan luka di kakinya, padahal Hasna merasa bersalah setengah mati karena harus membuat pria itu berselisih dengan uminya.
“Mas … Aku minta maaf ya, sungguh aku tidak sengaja, Mas.” Itu suara Hasna yang meminta maaf untuk yang kesekian kalinya, mereka telah sampai di rumah, Fayez mendudukkan Hasna di sofa dan menatap dalam wanita itu.
“Sejak perjalanan dari Ndalem sampai ke rumah kita, lebih dari dua puluh kali kamu meminta maaf, Na. Kamu tidak salah apapun, namanya juga insiden, kan bukan keinginan siapa-siapa, berhentilah meminta maaf.” Fayez berlutut dan menggenggam tangan Hasna.
“Tapi aku membuat Mas dan Umi berselisih paham, aku juga menimbulkan kegaduhan, mungkin benar kata Umi, aku memang masih menjadi pengacau seperti dulu.” Hasna sudah meneteskan air matanya, semua kata-kata Umi Ainun kembali terekam ulang di ingatannya dan membuatnya merasa kecil.
“Sstt … Na, kamu sudah berubah, sangat jauh berubah dan aku mengerti itu, hanya saja mengambil hati Umi memang butuh waktu, aku harap kamu sabar dengan itu, ya?” Fayez mengusap lembut punggung tangan Hasna,
Fayez menyadari sesuatu, jika Hasna bahkan tidak sedikit pun mengutarakan tentang ketidaksukaan Uminya kepadanya, wanita itu seolah tidak ingin membuatnya semakin berselisih paham dengan Uminya, dia memilih mengunci rapat mulutnya tanpa mau mengatakan apa yang telah dilakukan Uminya yang mungkin telah menyakiti hati wanita itu.
Fayez lalu membuka pelan-pelan kaos kaki Hasna untuk melihat luka akibat pecahan beling itu.
“Tunggu sebentar ya, aku ambil kotak P3K dulu.” Fayez lalu beranjak dari sana, sedang Hasna terus memfokuskan tatapannya pada pria itu, yang begitu lembut dan penuh perhatian merawatnya.
“Mungkin sakit sedikit, kamu tahan ya.” Bisik Fayez menatap khawatir pada wajah Hasna lalu beralih pada luka wanita itu sembari membersihkannya dengan alkohol terlebih dahulu.
Namun tidak terdengar sedikit pun ringisan dari bibir Hasna, membuat Fayez mengernyit.
“Tidak perih, Na?”
“Tidak, Mas.” Bisik Hasna dan tersenyum lembut, dalam hati dia berdoa kepada Allah, semoga Fayez lah jodohnya di dunia hingga ke surga dan semoga Allah segera karuniakan rasa cinta pria itu untuk dirinya, istrinya.
“Wah, aku meremehkanmu sepertinya, kamu tidak selemah yang kukira.” Ada kekehan dari suara Fayez, membuat Hasna ikut tertawa.
‘Karena banyak sakit yang lebih sakit yang pernah aku rasakan, Mas.’ Ucap Hasna dalam hati dengan tatapan mata yang sendu.
“Tentu saja aku sangat kuat.”
“Kamu bisa berjalan dengan baik?” Tanya Fayez setelah selesai menempelkan plester di kaki Hasna.
“Bisa, Insya Allah, Mas.” Bisik Hasna lalu mencoba berdiri dan memang dia bisa berjalan dengan baik walau sedikit terasa perih.
“Nanti aku juga mengisi sambutan, kita berangkat bersama saja ya, biasanya keluarga dekat dan tamu undangan sudah disediakan kursi di depan, kok.” Ucap Fayez menggenggam tangan Hasna.
“Mas lebih baik duluan saja, mungkin Abi membutuhkan Mas untuk ini dan itu, nanti aku menyusul, sekalian Mas solat Maghrib dan Isya di masjid seperti biasa kan? Aku solat di rumah saja dan ke sana nanti habis Isya.”
“Kamu yakin? Atau nanti setelah Isya aku jemput lagi ya?” Masih ada nada dan raut kekhawatiran di diri Fayez, karena bagaimana pun memang tidak semua keluarga menerima Hasna.
Sejak dulu, mereka lebih mengenal Zahra dan telah menggadang-gadang Zahra sebagai menantu dari keluarga besar Kyai Haji Zubair Haseeb, Abinya.
“Jangan memaksakan tapi ya, Mas. Jika sekiranya kamu sudah sibuk di sana apalagi sedang menyambut tamu, maka tidak perlu menjemputmu. Aku janji akan datang ke sana, aku juga ingin menyerap ilmu di kajian nanti malam.” Hasna balik menggenggam tangan Fayez dan memberikan senyum terbaiknya.
“Ya sudah, aku mandi dulu ya. Aku urus sendiri saja, kamu istirahat saja, kamu kan juga lelah baru pulang dari butik.” Ucap Fayez mencegah Hasna yang sudah akan menyiapkan kebutuhannya.
“Mas yakin? Aku merasa bersalah.”
“Yakin 100%, rebahan dulu sana.” Fayez menepuk-nepuk kepala Hasna pelan, membuat Hasna kembali menyunggingkan senyumnya.
“Terima kasih ya, Mas.”
“Untuk apa?”
“Sudah berada di sisiku dan menjagaku.”
“Itu sudah kewajibanku, Na.” Fayez melempar senyumnya dan kembali menepuk puncak kepala Hasna, lalu meninggalkan wanita itu.
‘Ya Allah, suamiku itu sangat baik, namun belum mencintaiku, maka lembutkanlah hatinya untuk bisa mencintaiku, Ya Allah.’ Hasna menggumam begitu lirih, kembali memohon kepada Allah yang Maha membolak-balikkan hati.
Nyatanya, Hasna menyadari, bukannya dia serakah, namun menjadi suami yang baik dan mengerti bagaimana menjaga dan melindungi istrinya saja tidak cukup jika di hatinya masih ada wanita lain, di balik perlakuan baik penuh perhatian itu, hatinya masih tercubit dengan mengingat dia tidak memiliki tempat sedikit pun di hati suaminya.
***
Hasna tidak ingin merepotkan Fayez karena dia tau jika pria itu akan sangat sibuk di setiap tabligh akbar yang digelar oleh keluarganya. Maka, tadi sebelum pria itu berangkat Hasna sudah mengatakan jika dia akan berangkat sendiri saja, Fayez pada akhirnya mengiyakan karena dia juga tidak yakin bisa pulang ke rumah, karena nanti keadaan akan sangat ramai.
Setelah menyelesaikan solat Isya dan berdzikir, Hasna mulai bersiap, dia mematut dirinya di cermin lalu entah mengapa memilih mengambil salah satu niqab miliknya.
Memang Fayez tadi sudah menjelaskan ke mana Hasna harus menuju tempat yang telah disiapkan di dekat panggung, namun melihat dari jendela rumah bagaimana ramainya jamaah di luar, Hasna tidak yakin apakah dia bisa sampai di tempat yang dimaksud pria itu dengan datang sendirian. Dia tidak ingin terlalu banyak berharap, lagi pula yang dia harapkan adalah keberkahan ilmu dari kajian malam ini di mana pun tempat dia duduk nantinya.
Hasna memilih berangkat saat mendengar di luar riuh gemuruh saling bersahutan antara suara manusia dan suara kendaraan. Beruntung tadi Fayez memberikan kartu tanda pengenal ustad/ustadzah sebagai staff pengajar kepadanya, itu memudahkannya untuk bisa masuk dan lebih dekat ke panggung, tempat yang disediakan untuk para pengajar dan para santri.
Hasna masih mengusahakan untuk menuju ke kursi VIP dan mencari-cari keberadaan Fayez, namun tempatnya berdiri saat ini terasa sesak dan penuh, sangat sulit untuk bisa maju ke depan, dan saat para panitia berteriak untuk meminta jamaah duduk, mau tidak mau Hasna duduk sembarang di tempat yang kosong.
Sekitar dua puluh menit berlalu, akhirnya suara mic dari pembawa acara yang menandakan acara sebentar lagi dibuka terdengar, netra Hasna masih sibuk mencari keberadaan Fayez, dan kini dia bisa melihat dengan jelas Fayez sudah naik ke panggung, di sisi kiri belakang panggung, bersiap untuk memberikan sambutan utamanya sebagai perwakilan dari keluarganya.
Senyum Hasna mengembang sempurna melihat bagaimana mempesona dan berwibawanya suaminya itu, suaranya tegas namun lembut, tatapannya tajam namun meneduhkan, senyumnya tipis terkembang di wajah tampannya. Semua orang menaruh perhatian penuh pada setiap kata yang terucap dari bibir Fayez.
Setelah sambutan selesai, Fayez bergeser ke kiri dan sedikit mundur ke belakang saat MC memintanya, lalu MC melanjutkan membaca agenda selanjutnya yaitu pembacaan Alquran yang dibawakan oleh Zahra.
Suara merdu Zahra yang melantunkan ayat-ayat Alquran membuat semua orang terkesima, termasuk Hasna. Zahra memang definisi wanita salihah yang nyaris sempurna.
“Lihat deh tatapan Gus Fayez pada Ustadzah Zahra, tatapan kagum dan cinta kan? Kalian setuju tidak?” Tidak sengaja Hasna mendengar percakapan seorang wanita di sebelahnya dengan teman di sebelahnya lagi.
“Iya, benar sekali. Sesungguhnya mereka serasi sekali ya, sayang sekali takdir berkata lain.”
“Sejak muda Ustadzah Zahra sudah mondok di sini, menjadi santriwati berprestasi yang menjadi tauladan bagi lainnya, bahkan Bu Nyai sangat menyayanginya, dia juga mendapat beasiswa penuh untuk kuliah kan dari pesantren dan kembali lagi mengajar di sini.”
“Benar, Bu Nyai sudah menganggapnya seperti putri kandung sendiri.”
“Sesungguhnya mereka sudah saling mencintai dalam diam jauh sebelum Gus Fayez mengajukan proposal taaruf, lho. Aku tau ini dari sahabat Ustadzah Zahra, sedih pokoknya kalo diceritakan kisah cinta mereka.”
“Mereka saling mencintai dan saling menjaga, hingga saat Gus Fayez ingin mewujudkan niat baiknya yang disambut baik juga oleh kedua keluarga, perjodohan itu justru terjadi, yang membuat semua orang patah hati.”
“Kamu tau tidak siapa wanita yang dijodohkan dengan Gus Fayez?”
“Dengar-dengar si dulu santriwati di sini, namun behh … katanya santriwati bar-bar, pembuat onar yang akhirnya dikeluarkan di tahun kedua oleh Bu Nyai.”
“Sumpah? Ya Allah, kasiannya Gus Fayez, membuang berlian demi batu kerikil.”
“Aku tidak menyangka jika istrinya adalah mantan santriwati di sini yang dikeluarkan. Ustadzah Zahra yang terluka karena cintanya kandas, pun dengan Gus Fayez yang patah hati karena tidak berhasil menikahi wanita yang dicintainya, lebih payah lagi harus menikah dengan perempuan yang tidak setara dengannya, yang sangat bertolak belakang dengannya.”
“Oh, sungguh dunia memang tidak pernah ideal untuk siapa pun.”
Itu percakapan dari mereka yang duduk di dekat Hasna, dan Hasna bisa mendengarnya dengan jelas karena duduk mereka begitu dekat, tanpa ada yang mengetahuinya, air matanya menetes, membasahi niqabnya yang berwarna navy.
Tatapannya begitu lekat pada Fayez yang memang sedang menatap Zahra seperti apa yang diucapkan para perempuan itu.
Lalu bibirnya menyungging senyum miris, betapa ruginya Fayez menikah dengannya, benar yang dikatakan mereka, dia tidak pantas untuk Fayez, Zahra adalah pendamping yang tepat untuk pria itu.
‘Ya Allah, apakah aku memang tidak pantas untuknya? Kenapa semakin sering aku mendengar kata-kata seperti itu, Ya Allah. Aku mencintainya dan ingin menjadi istri yang terbaik walau aku tidak mampu menyamai ilmunya.’ Hasna membatin dengan hati yang merepih.