Bab 11 | Baik Tapi Tak Cinta

1446 Kata
Hasna bisa sedikit bernapas lega, setidaknya kekhawatirannya tidak terjadi. Namun nyatanya, begitu pembacaan solawat selesai, dia melihat Fayez beranjak sejenak lalu menoleh ke belakang dan kembali menatap tepat ke arahnya yang membuat Hasna langsung menunduk. Dia harus keluar dari sana walau rasanya begitu padat. Namun, nyatanya langkahnya kalah cepat dengan Fayez. Pria itu tau-tau sudah berada di barisan kursi tempatnya duduk. “Hasna … Ya Zaujati … Lewat sini, bukan ke situ.” Fayez berdiri di sisi kiri barisan kursi, di mana jarak kursi Hasna dengan kursi paling pojok di sisi kiri hanya sekitar delapan kursi kursi, sedangkan Hasna tadi beranjak dan berjalan ke arah kanan, di mana dia harus melewati puluhan kursi untuk bisa keluar dari barisan. Senyuman Fayez yang terkembang sempurna membuat para wanita yang ada di sana terkesima. Hasna yang sudah dipanggil seperti itu menggigit bibir dalamnya dan merasa ada kupu-kupu yang menggelitik perutnya. “Maaf ya semuanya, istri saya masih awam dengan tata tempat untuk acara tabligh akbar ini, jadi sampai nyasar ke sini. Sayang, ke sini.” Fayez mengulurkan tangannya agar Hasna bisa segera mendekatinya, karena barisan itu rata-rata diisi oleh wanita, maka Fayez menunggu di tepi dan meminta Hasna yang mendekat padanya. Hasna hanya meringis, melewati barisan orang-orang yang tadi menggunjingnya dan sekilas menatap wajah mereka yang merah padam menahan malu dan rasa bersalah pada Hasna. Lalu saat Hasna melewati mereka, salah satu wanita yang duduk di depan kursi para wanita tadi langsung menatap mereka dengan tajam dan mengatakan sesuatu yang menampar mereka. “Nikmat ya memakan daging bangkai saudara sendiri? Statusnya ustadzah, pengajar para santri, tapi kelakuannya tidak ada beda dengan pembawa gosip-gosip berita hoax. Memalukan. Untung Mba Hasna tidak langsung melabrak kalian. Nyatanya dia yang digosipkan bar-bar dan urakan lebih mulia karena mampu menjaga lisannya sekali pun kalian telah menghinanya dengan begitu menyakitkan.” Ucapan itu masih sempat didengar Hasna walaupun samar-samar, dia hanya menggelengkan kepalanya dan menghela napasnya panjang. “Mas … Kan tidak apa-apa aku duduk di sini juga, kenapa harus menjemputku? Kita jadi menjadi perhatian.” Ucap Hasna begitu sampai di depan Fayez. Fayez menggenggam tangan wanita itu dan mengamati mata Hasna, lalu menyadari sesuatu. Membawa wanita itu untuk menepi. “Kamu menangis? Apa yang membuatmu menangis, Na? Ceritakan padaku.” Tatapan Fayez kini berubah khawatir, membuat mata Hasna memanas melihat bagaimana lembutnya Fayez memperlakukannya sedang pikirannya kembali teringat ucapan para perempuan tadi, memang benar dirinya hanya batu kerikil yang hanya bisa menjadi batu sandungan untuk Fayez. “Na, kenapa? Kamu membuatku cemas.” Fayez mengusap lembut sudut mata Hasna yang kembali meneteskan air mata. “Aku hanya terharu, Mas. Kamu sebenarnya tidak perlu repot-repot mendatangiku dan menjemputku, di mana pun aku duduk, Insya Allah ilmu yang tersampaikan juga sama.” Ucap Hasna, apa yang dia katakan bukanlah kebohongan, walau malam ini ada beberapa alasan dia menangis. “Kamu tidak suka menjadi perhatian, ya? Aku minta maaf ya, aku hanya takut kamu merasa asing dan tidak nyaman karena tidak mengenal siapa pun.” Ucap Fayez lalu menggandeng tangan Hasna, dia teringat percakapannya dengan Abi Hasna yang mengatakan jika Hasna begitu introvert dan tidak banyak bicara, kepribadiannya mulai berubah sejak kepergian Uminya. Saat mendengar itu, Fayez jadi penasaran, jika dulu Hasna begitu extrovert, bisa bergaul dengan siapa saja tanpa pandang bulu, kini wanita itu berubah seolah ada banyak topeng yang harus Fayez ungkap untuk mengetahui bagaimana wanita itu saat ini. Hati Hasna kembali merasa hangat melihat tautan Fayez yang begitu erat padanya, bagaimana pria itu memperlakukannya dengan lembut dan memuliakannya di depan semua orang, memanggilnya dengan panggilan sayang seperti melindungi harga dirinya dan mematahkan semua gosip yang baru saja didengarnya, pria itu sangat baik padanya, namun tidak mencintainya. “Tidak apa-apa, Hasna. Pelan-pelan … kamu beruntung memilikinya sebagai suami.” Bisik hatinya kini terasa lebih tenang. Sesungguhnya ada hal yang mengganjal di hati Fayez dan ingin ia tanyakan kepada Hasna, namun dia memilih memendamnya, tentang kenapa Hasna tadi terlihat menghindarinya dengan berjalan ke arah yang berlawanan, padahal jelas-jelas wanita itu telah melihatnya, mungkin jawaban atas pertanyaannya akan sama, jika Hasna tidak ingin menjadi pusat perhatian. Sekali lagi, wanita yang juga baru turun dari panggung dan mendapat tempat duduk di sisi panggung itu memperhatikan semuanya, bagaimana manisnya Fayez menjemput istrinya dan memastikan istrinya ada di sampingnya, menyentuh wajahnya dan menggandeng tangannya menuju ke kursi yang sudah disediakan untuknya, lalu mengenalkan kembali istrinya kepada para tamu undangan dan juga beberapa kerabatnya. “Ya Allah, kenapa begitu menyakitkan melihat mereka? Sungguh cinta ini begitu dalam dan aku tidak kuasa melawan rasa iri atas hal yang seharusnya menjadi milikku.” Zahra membuang muka dengan air mata yang menetes membasahi wajahnya, hatinya begitu tercabik-cabik melihat bagaimana Fayez begitu baik dan penuh perhatian memperlakukan Hasna. *** “Kamu lelah, ya?” Tanya Fayez saat mereka kini telah berbaring di tempat tidur, waktu sudah menunjukkan hampir jam dua belas malam. Hasna yang memang sudah merasa lelah dan mengantuk hanya mengangguk dan tersenyum. “Ada apa, Mas? Ada yang mengganggu pikiranmu? Ayo katakan, aku tidak jadi mengantuk.” Hasna membuka matanya lebar-lebar juga senyumnya yang semakin lebar, membuat Fayez merasa gemas dan mencubit kecil hidung wanita itu. Walau sejak tadi Fayez memendam banyak pertanyaan tentang Hasna, nyatanya dia tetap tidak bisa membendungnya karena mengingat Hasna yang menangis. Apakah wanita itu menangis karenanya? Karena Hasna melihat bagaimana Fayez menatap Zahra dengan sarat makna saat di panggung, sehingga tanpa sadar Fayez menyakiti wanita itu? Niqab Hasna yang basah, menandakan wanita itu menangis bukan setetes dua tetes air mata yang jatuh, namun mungkin menahan isak tangisnya di tengah riuhnya pengajian tadi. “Apakah malam ini ada kelakuanku yang menyakitimu dan membuatmu menangis?” Tanya Fayez mengusap lembut wajah Hasna dan menatapnya begitu lekat, membuat Hasna gugup, tidak pernah mereka mengobrol dalam jarak yang sedekat ini, biasanya mereka akan mengobrol di meja makan dan langsung tidur jika sudah masuk kamar. Hasna berpikir. tapi tidak ada yang muncul di kepalanya selain bagaimana Fayez yang memperlakukannya begitu indah malam ini dan menyelamatkan marwahnya sebagai seorang istri di depan banyak orang yang merendahkannya. “Tidak ada, Mas. Sungguh … Aku justru merasa terlindungi atas perlakuanmu.” Ucap Hasna dengan yakin, namun tetap saja itu tidak menenangkan hati Fayez. “Lalu apa yang membuatmu menangis sedemkian rupa hingga niqabmu basah, Na? Apakah ada seseorang atau sesuatu yang menyakitimu?” Tanya Fayez masih dengan nada seriusnya, mendengar itu membuat hati Hasna mencelos dan kembali teringat dengan semua ucapan yang merendahkan dirinya itu. Namun, di satu sisi ia semakin jatuh hati pada Fayez karena nyatanya pria itu begitu peka dan sangat peduli padanya. “Jangan berbohong, Na, itu akan semakin memberatkanmu dan aku di hadapan Allah jika kamu berbohong. Aku tidak akan marah seburuk apapun kenyataan itu.” Ucap Fayez lagi, nadanya begitu tegas namun terselip kelembutan di sana. “Boleh aku menyimpannya untuk diriku sendiri, Mas? Jika aku mengatakannya padamu, maka aku akan membuka aib mereka, dan juga aku mengajakmu menggunjing tentang mereka. Insya Allah ini bukan perkara yang besar dan kamu tidak perlu khawatir, Mas.” Ucapan Hasna seolah menampar Fayez, sekali lagi wanita itu menunjukkan betapa indah akhlaknya yang membuat hati Fayez mencelos. Fayez bukannya menutup mata atas gosip pernikahan dirinya dan Hasna dan bagaimana dia membatalkan khitbahnya pada Zahra, gosip itu sangat santer di kalangan staff pengajar dan para santri. Mungkin tadi Hasna mendengar secara langsung gosip-gosip itu yang pasti sangat melukai hatinya. Fayez memejamkan matanya, menyadari betapa jahat dirinya, di saat istrinya terluka karena ketidakmampuannya melindunginya, dia justru sibuk menatap dengan tatapan memuja pada wanita lain yang bukan mahramnya. “Na … Maafkan aku …” Bisik Fayez yang reflek membawa Hasna ke dalam dekapannya. Hasna yang tiba-tiba dipeluk oleh Fayez merasa kaget namun bahagia di saat yang bersamaan, rasanya begitu nyaman, terlindungi dan disayang walau dia tau kenyataan yang sebenarnya. Bolehkah dia meminta agar Fayez memeluknya setiap malam? “Na … Aku minta maaf …” Bisik Fayez lagi. “Aku memaafkanmu, Mas. Aku juga salah karena membuatmu kerepotan dan tidak berusaha untuk menuju ke kursi yang seharusnya.” Bisik Hasna yang kini menepuk-nepuk d**a Fayez. Fayez meregangkan pelukannya, dan menatap lekat Hasna begitu dekat, seolah mencari sesuatu dari mata Hasna, dulu dia melihat tatapan itu menyala-nyala dan tidak ada ketenangan di sana. Fayez mengenal Hasna walau tidak dekat, dia selalu ada di sana saat Hasna dipanggil ke ruangan atas pelanggaran yang diperbuatnya, namun dia tidak pernah melihat tatapan menyesal di mata itu dulu kala, hanya ada tatapan jengah dan bola mata yang memutar kesal atas nasihat-nasihat yang diberikan kepadanya. Namun kini, semakin dalam ia menatap tatapan itu, yang Fayez rasakan adalah ketenangan, keindahan akhlak dan ketulusan yang terpancar. Wanita itu, apa yang telah dilaluinya hingga dia berubah sangat jauh, begitu dekat dengan Rabb-nya dan menjadi wanita salihah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN