Senja dan Cinta

3107 Kata
“Pokoknya jangan menyerah! Kakak tahu, untuk bisa bertahan hidup, kalian membutuhkan banyak perjuangan. Tapi jangan menyerah!” semangatnya menggebu-gebu. Anak-anak asuhannya mengacung tangan ke atas sembari berteriak 'semangat!'. Saat anak-anak itu berlarian jauh, ia masih melambaikan tangannya. Menatap punggung mereka yang kini terlihat bagai titik-titik warna warni di senja hari. Lalu bibirnya melengkung senyum tipis. Tapi senyumnya hilang ketika sinar putih menyilaukan matanya dalam sedetik. Ia menoleh dan terpaku ketika mendapati sosok lelaki yang baru saja tanpa sopan meng-ambil gambarnya. “Buat dokumentasi,” tutur lelaki itu usai menurunkan kameranya. Bibirnya menyungging senyum. Dia Fahmi. Ia kenal lelaki itu sebagai sahabat karib abangnya. Dokter koass seperti abangnya dan Aisyah. Sayangnya, nasib abangnya kurang beruntung. Ilham terpental jauh ke pelosok Jawa Timur untuk koass sementara mereka malah masih menetap di sini. “Gak apa-apa, bang,” ucapnya takut Fahmi merasa tak enak hati saat melihat ekspresi tak bersahabat wajahnya tadi. Jujur saja, sebenarnya ia kurang suka difoto secara diam-diam. “Emangnya untuk apa?” “Kau tak dengar tadi si Wirdan bicara apa saja?” lelaki itu malah bertanya. Pertanyaan yang membuat Mira tergagap. Saking takutnya tersesat lagi dan tak mau terlalu menikmati perasaan semu ini, jujur saja, ia memang tak menyimak Wirdan bicara apa saja tadi. “Kita akan mencari sponsor untuk kegiatan ini. Sekaligus kerja sama dengan anak-anak kampus lain. Kalau hanya kita yang bergerak, kegiatan yang terlaksana tak kan maksimal hasilnya,” jelas lelaki itu lalu mengembangkan senyummya. “Abang kesana dulu,” pamitnya sambil menunjuk Delia di seberang sana dengan dagunya. Ia hanya balas mengangguk. Lalu menahan nafas sesaat ketika matanya menatap Khayra sedang mengobrol ria bersama Aisyah dan Wirdan. Lelaki itu, wajahnya terlihat menyilaukan. Cahaya merah jingga dari langit senja terpantul diwajahnya hingga membuat matanya memincing. Kesialauan itu memudarkan penglihatannya. Tapi wajah itu tetap sama memesonanya. Ketika matanya mengerjab dan mencoba menatap sekali lagi, masih sama silaunya. Walau begitu, ia tak bosan. Ia tak lelah walau harus memincingkan mata lagi. Karena senja ini menyadarkannya pada satu hal. Terdengar klise ketika kata yang sama, lagi-lagi terucap dari hatinya. Ya, kata itu bernama cinta. Ketika senja melangit di sore ini, lalu cahaya kuning keemasan berubah menjadi cahaya merah jingga. Cahaya yang kini menerpa wajah lelaki itu sama seperti ketika cinta telah menabur benih dihatinya. Walau mungkin perasaan-nya tak kan terbalas atau dengan kata lain, ia mencintai dalam kesendirian tapi, ia tak peduli. Sama seperti cahaya merah jingga yang terpantul di wajah Wirdan. Untuk melihat lelaki itu saja, ia harus memicingkan matanya karena wajahnya kini terlihat sangat menyilaukan. Sama seperti, ketika ia tahu jika perasaannya tak mungkin terbalas. Namun ia tak jera untuk berhenti mencinta. Meski perasaan itu hanya ia yang rasa. Karena ia tak bisa menghenti hati yang ingin mencinta. Karena cinta begitu mencandunya. Bahkan ia tak peduli jika harus kehilangan kewarasannya. Karena cinta begitu gila. Ia menyakitkan akal yang seharusnya sehat. Ia mematahkan segala logika yang melekat pada otak manusia. Ia tergagap saat matanya tak sengaja bersitatap dengan mata Khayra. Entah kenapa, wajah sahabatnya itu mendadak keruh ketika menatapnya. Walau sedetik kemudian ia menyungging senyum. Senyum yang dipaksakan timbul dibibirnya. Gadis itu melambaikan tangan kepada Mira yang sedari tadi terpesona pada wajah silau Wirdan namun kini matanya mengerjab-erjab. Khayra telah menjauh dari Wirdan dan Aisyah. Kini malah merangkulnya dan membawanya pergi menuju rumah Tuhan. Rumah Allah. Khayra menangis dalam sujudnya untuk ke sekian kali. Tapi Mira tidak tahu, jika itu adalah tangis untuknya. Tubuh gadis itu bergetar saat bangun dari sujud. Lalu duduk dan menolehkan kepala ke kanan kemudian ke kiri dan ia terpaku. Matanya menangkap Mira yang sedang menengadahkan wajah ke atas. Bermunajat pada-Nya. Ia meneguk ludah susah payah. Lalu menengada-hkan tangan. Menumpahkan pahitnya cinta selain cinta kepada-Nya. Ia tahu, cepat atau lambat, Mira akan tahu. Ini hanya persoalan waktu. Tapi, bibir Khayra tak sanggup untuk mengatup lebih lama. Walau rasanya ia ingin mengungkapkan segala asa yang ia rasakan tadi. Perasaan pilu turut ia rasa-kan untuk gadis itu. “Jodoh itu cerminan, Mir. Ketika kita baik, ia juga. Kita semakin baik, ia juga. Kita lebih baik, ia juga. Maka, ketika kau menginginkan dia yang soleh dan cerdas maka kita harus bercermin dulu. Memantaskan diri kita jika bersanding dengannya kelak. Apakah kita ini sudah solehah? Apakah kita ini sudah cerdas? Maka jodoh bukan hanya tentang kita mencintainya, tapi juga soal kepantasan mendampinginya. Karena janji Allah, Mira. Ingat kan?” tiba-tiba ia berbicara seperti itu disaat Mira sedang melipat mukenanya. “Itu pendapatku dari kaca mata manusia. Sedangkan menurut-Nya?” matanya mengerling ke atas lalu mengendikan bahu. “Entahlah.” Gadis itu terkekeh geli. Matanya hanya menatap sekilas senyum pilu Khayra yang tak disadarinya. Tentang perasaan simpati seorang sahabat. Khayra bimbang, haruskah ia mengatakan sekarang atau tidak? Tapi seperti yang dipikirnya sejak tadi, cepat atau lambat, hasilnya akan sama. Dan kalau lah ia bisa memilih, seharusnya ia tak menghampiri dua orang itu. Seharusnya ia pergi saat gadis itu memanggil. Kini, ketidaksukaannya sebagai seorang manusia malah makin menjadi.   Aisyah asyik menggoda Fahmi. Lelaki itu menggelengkan kepalanya sambil terkekeh geli. Hingga mata gadis itu berpendar ke arah pintu masjid dan muncul lah Mira. “Mira!” tangannya melambai-lambai sementara Fahmi memilih pergi menuju mobilnya yang terparkir tak jauh dari tepian jalan. Mira mengernyit heran walau tak urung mendekat juga. “Ada apa, Mbak?” “Kau kan penanggung jawab untuk acara temu calon keluarga MJ dengan kampus yang di Bogor, jadii...” “Penanggung jawab?” ia bertanya bingung. Aisyah terkekeh geli. Ia tahu, Mira pasti bingung karena ia tak mendengar apapun yang diucapkan Wirdan tadi. “Hati ya urusan hati. Pekerjaan ya urusan pekerjaan. Jangan campur adukan hati dan pekerjaan.” Gadis itu menyindir lalu mengalihkan pembicaraan dengan menjelaskan, apa yang harus dilakukan Mira. Kepalanya pening seketika. Pertama, karena tiba-tiba dilimpahi tugas seberat itu walau ia tahu, bukan hanya dirinya. Aisyah bilang, Delia dan Khayra juga mendapatkan tugas yang sama tapi memegang kampus yang berbeda. Kedua, ia kaget akan ucapan Aisyah barusan. Jangan bilang kalau Aisyah tahu perasaannya? “Paham?” Aisyah bertanya usai menjelaskan tugas-tugasnya. Tapi kebengongan Mira lah yang menjadi jawaban. Gadis itu mengulum senyum-nya saat tak ada respon apapun dari Mira. Lalu melipat kedua tangannya di depan d**a. Ia menarik nafas. “Jangan kau samakan senja dengan cinta,” ucapnya tenang. “Tapi samakan senja dengan dia,” ia menyambung dan kali ini dagunya terarah pada lelaki yang baru keluar dari pelataran masjid. Wirdan. Mira tergagap dan mendadak gugup. Aisyah tahu perasaannya, tapi dari siapa? Khayra kah yang bercerita? Belum sempat ia bertanya, Aisyah sudah melenggang pergi. Meninggalkannya dalam ketermanguan dan ribuan tanya. “Kenapa?” Khayra muncul entah dari mana. Tangannya menepuk bahu Mira dengan lembut tapi Mira malah tergagap. Ia berdeham, menimbang-nimbang apa yang akan dilakukannya. Lalu menoleh pada Khayra yang santai memakai sepatunya. Matanya memincing, mencurigai Khayra sebagai tersangka utama pembocor perasaannya. “Dia ngomong apa sama kau?” Khayra berdesis tajam. Ia tahu jika sedari tadi Mira menatapnya. Lalu matanya menyalang tak suka pada punggung Aisyah yang sudah ditelan mobil milik Fahmi. Otaknya mulai berspekulasi yang macam-macam tentang apa yang diucapkan Aisyah pada Mira. Pikiran-pikiran negatif itu membuatnya semakin tidak suka pada gadis sempurna yang satu itu. “Mir--Mira!” ia memanggil. Menyadarkan Mira dari ketermanguan untuk ke sekian kalinya. Mira menarik nafas dalam-dalam. “Kau yang ngomong apa sama dia?” ia bertanya dengan tatapan tajam. Tangannya terkepal. Matanya berkilat-kilat emosi. Saat Wirdan lewat dan berpamitan pada mereka pun, ia tak peduli. “Aku?” Khayra bertanya bodoh. Jarinya menunjuk wajahnya sendiri tapi wajah Mira yang mengeras, membuatnya mengerti. Ada gumpalan emosi yang terkumpul dalam sekejab dan kini menelesak ingin keluar dari tubuh Mira. “Aku ngomong apa sama dia?” ia bertanya dengan nada tak terima. Keningnya berkerut-kerut membentuk lipatan-lipatan. Ia menatap tak terima. Karena kalau tak salah mendengar, ada nada menuduh dari cara bicara Mira barusan. “Kau bilang sesuatu tentang perasaanku kan?” Mira menuduh lagi. Nadanya naik perlahan-lahan. Khayra membuang nafasnya. Ia baru mengerti kemana arah bicara Mira. “Benarkan, Ra? Kau memberitahunya? Wirdan juga?” tuduhnya lagi. Dan seketika otaknya memutar kejadian tadi. Khayra yang mengobrol ria dengan Wirdan dan Aisyah. Lalu wajah gadis itu mendadak keruh tanpa sebab saat matanya tak sengaja bersitatap dengannya. Lalu senyum yang sumbang dibibir Khayra tadi menjadi pemicu kecurigaannya semakin meninggi. Tak mau tersulut emosi, Khayra memilih menekan dalam-dalam nada suaranya. Ia menarik nafas dalam-dalam. “Mbak Aisyah itu istimewa,” ia ber-desis tajam. “Jangan menuduhku macam-macam,” tambahnya lalu beranjak pergi meninggalkan Mira yang terpaku.   Berkali-kali Khayra menoleh ke kiri dan Mira masih sama. Gadis itu memalingkan wajahnya ke jendela bis. Lalu memejamkan mata. Ada sesak di dalam dadanya. Baru kali ini ia bertengkar dengan Khayra hanya karena sebuah hal yang entah bagaimana bisa disebut masalah. Tapi bukan hal besar jika masalah itu bukan bernama masalah hati. Bagaimana pun, ia kecewa. Walau ia tak tahu apakah Khayra benar-benar membocorkan rahasianya. Rahasia hati. Rahasia, bukan hal yang patut diumbar-umbar. Apalagi sampai diketahui lelaki itu. Ia malu! Namun kalimat-kalimat terakhir Khayra tadi cukup menganggunya. “Mbak Aisyah itu istimewa.” Istimewa? Jelas dia istimewa. Apalagi bila dibandingkan dengannya. Sama seperti adiknya. Mereka tidak hanya sekedar cantik tapi juga cerdas. Lalu jilbab itu....menutupi tubuh sepenuhnya. Dan semakin ia ingat itu, hatinya nyeri. Allah....kenapa ia punya begitu banyak kekurangan? Tiba-tiba ia merasa diri tak bersyukur. Tiba-tiba ia lupa. Memang dasarnya manusia seperti itu. Bukankah Allah telah memberi masing-masing manusia dengan kelebihan dan kekurangan? Agar manusia berkaca untuk mengetahui kekurangan mereka sebagai alat untuk memotivasi diri bukan sebagai alat yang membuat diri tak bersyukur? Bukan hanya kelebihan yang mengingat-kan diri untuk bersyukur, tapi juga kekurangan diri. Karena terkadang manusia khilaf dan lupa jika merasa kurang dan merasa tak mampu. “Maaf soal tadi.” Tiba-tiba Khayra muncul di sebelahnya. Gadis itu bertukar posisi dengan Delia yang sudah duduk di seberang sana. Malas menanggapi, Mira memilih untuk berpura-pura tidur. Ada amarah itu meski hanya setitik. Setitik yang sewaktu-waktu bisa membakar jiwanya sendiri. Walau sekarang lebih dominan kecewa yang menguasai hati. Hati seorang manusia biasa yang tak kan pernah sempurna. “Mir, Mira...,” ia memanggil namun tak ada jawaban. Ketika ia menoleh, ia mendapati mata Mira terkatup rapat. Ia menghela nafas. Tidur, gumamnya. Tapi bibirnya tak tahan untuk tak berucap. Telinganya tak tahan untuk tak mendengar jawaban Mira atas permintaan maafnya. Kalau saja ia mau menuruti egonya, seharusnya Mira yang meminta maaf. Karena gadis itu menuduhnya macam-macam dan hal sepele seperti ini menjadi pertikaian batin antara keduanya. “Aku gak tahu apa yang Mbak Aisyah bilang padamu. Tapi soal perasaanmu, aku tak memberitahu siapa pun.” Ia menghela. Entah Mira mendengar atau tidak, tapi nuraninya yakin jika Mira pasti mendengarnya. Gadis itu boleh berpura-pura di hadapan yang lain tapi tidak dengannya. “Tadinya aku ingin memberitahumu sesuatu tentang Bang Wirdan. Entah kau siap atau tidak mendengarnya, kini bagiku sama saja. Menunda atau pun tidak, hasilnya akan sama saja. Kau akan kecewa atau bahkan daruratnya, kau patah hati.” Telinga Mira langsung melebar sementara ia menarik nafas dalam-dalam. Jantung Mira berdegup kencang. Otaknya menduga-duga apa yang akan dikatakan oleh Khayra tentang lelaki itu. Bahkan ia nyaris membuka matanya jika tak ingat tadi, ia pura-pura tidur. “Kau mengenalku, Mir. Aku tak kenal basa basi. Berkali-kali, aku menceramahimu yang entah membuatmu muntah atau tidak, ketika men-dengarnya. Bahkan pernah sekali aku meneriakimu, untuk membuatmu sadar. Walau aku paham, kau bukan aku yang bisa bangkit hanya dengan sekali jatuh.” Ia menghela. Berbicara panjang lebar membuat-nya lelah. “Kau.....kau adalah Mira yang rapuh, yang mudah terpuruk ketika jatuh, yang larut dalam derita dan terus tenggelam di dalamnya.” Matanya melirik Mira yang masih kekeuh berpura-pura tidur. Biarlah mata itu terkatup tapi Khayra tahu, telinga dan hati itu mendengarnya. “Bang Wirdan.... dia sudah tunangan dengan Anggun.” Hilang sudah topeng baik-baik saja yang dipasangnya sepanjang perjalanan tadi. Kalau saat menuruni bis dan berpisah di angkutan umum tadi, ia masih bisa tersenyum bahkan tertawa hampa, maka kini tidak lagi. Tubuhnya meluruh ketika tiba di kamarnya. Menangis dalam sepinya kamar petak itu. Menghiasi malam yang sunyi. Rapuh dalam kesendiriannya. Kenapa? Kenapa harus sekarang? Disaat hatinya belum siap untuk pergi meninggalkan lelaki itu? Berkali-kali Khayra mendial nomornya, tapi tak sekali pun ada jawaban. Ia nyaris saja menyerah karena sejak pagi hingga sesore ini pun, tetap tak ada jawaban. Tapi saat ia ingin mengakhiri panggilannya, detik waktu dilayar canggih itu berjalan. Cepat-cepat ia pasang kembali ponsel ditelinganya. “Ada apa?” Ia tahu ada kesedihan yang disembunyikan dalam suara lembut itu. Tapi ia memilih menutup telinganya. Berpura-pura tak mendengar apapun. Berpura-pura tak peka.Tak mau bersimpati. Ini memang terdengar jahat, tapi Mira harus berdiri dengan kedua kakinya sendiri. Jika kemarin ia jatuh, itu belum seberapa sakitnya. Dan gadis itu masih bisa bangkit walau tertatih-tatih. Maka kini, akan ada rasa sakit yang mengguncang jauh lebih hebat dari sebelumnya. Tak ada yang menolongnya kecuali Allah. Percaya lah, orang patah hati itu lebih sulit disembuhkan dibanding orang patah kaki. Jika patah kaki masih bisa dilatih dengan sering-sering menggunakan kakinya. Sehingga ia bisa bergerak meski lama. Sementara orang patah hati? Ia harus berlatih melupakan segala tentangnya setiap waktunya. Karena sedikit saja cerita tentangnya merasuki hati, usaha melupakan itu akan gagal. Akhirnya, ia harus mengulang lagi. Mengulang dan mengulang hingga akhir-nya melupakan. Bukan dengan melarikan diri. Pelarian hati itu hanya dilakukan oleh orang-orang pengecut yang putus asa pada cinta. Cara beraninya adalah menantang cinta itu sendiri. Jika cinta bisa datang tanpa diundang, maka usir dia untuk pergi. Bukan membiarkannya tumbuh besar hingga menjerumuskan diri dan terus berkubang di dalamnya. Jika cinta bisa datang karena terbiasa, maka lupakan cinta dengan terbiasa. “Kau tahu, Mir, kalau aku pernah bilang tak ada yang perlu kau cemburui soal hubungan Bang Wirdan dan Anggun yang masih bersaudara meski jalinan darah itu terentang jauh mengikat mereka? Tapi nyatanya, adat yang walau dunia, katanya sudah modern, masih mengekang. Sekali pun sudah ribuan tahun berlalu, norma kepatuhan dan kepercayaan terhadap sesuatu itu tak bisa ditampik. Karena nyatanya, terkadang kita percaya pada mitos-mitos yang entah benar atau tidak realitanya.” Khayra mencoba membuat Mira mengerti titik masalahnya. Walau sebenarnya ia juga tak paham apa yang terjadi, namun dari apa yang ia dengar dari obrolan Aisyah dan Wirdan, tentang perjodohan dan godaan-godaan yang dilancarkan Aisyah untuk calon adik iparnya, ia paham. Ia harus membuat Mira mengerti, jika cintanya harus segera diakhiri. Karena Wirdan akan terus menyilaukan penglihatannya, hingga membuatnya akan terus memincingkan mata. Karena cahaya itu tak lagi indah melainkan menyakitkan. “Maka, ku tarik ucapanku yang dulu.” Ia menghela. “Menangislah kalau kau mau menangis, Mir. Aku tahu, kau lebih sakit dari pada hatiku yang turut ngilu mendengar kabar itu.” Aisyah memang tidak memberitahunya segalanya secara gamblang. Tapi mendengar lelucon yang dilemparkan Aisyah untuk Wirdan tadi, cukup membuatnya sadar. Aisyah sedang memberitahunya agar meng-hentikan perasaan sahabatnya pada Wirdan. Karena seperti yang ia katakan, bahwa Aisyah itu istimewa. Dunianya tak sehening yang orang lain rasakan. Dunianya berisik walau tanpa ada yang membuka suara. Mira diam. Tak ada respon. Tapi Khayra tahu, sebenarnya Mira mendengar, hanya saja tubuhnya sudah luruh bersama air matanya yang jatuh ke lantai. Bibirnya bergetar hingga yang keluar hanya isaknya. Gadis itu bertanya-tanya dalam sakitnya. Bertanya-tanya dalam isaknya. Bertanya-tanya dalam tangisnya. Kenapa selalu seperti ini? Disaat ia mulai bangkit dan mendekat kepada-Nya, kenapa selalu diberikan ujian? Kenapa selalu tak dimuluskan? Kenapa ia selalu ditenggelamkan? Kenapa selalu diruntuhkan? Ia memang ingin melupakan lelaki itu. Tapi tidak begini caranya. Mengikhlaskan lelaki itu dengan wanita lain? Wanita mana yang rela? “Jangan samakan senja denga cinta. Tapi samakan senja dengan dia.” “Bundo,” bibirnya bergetar. Ia berusaha menyembunyikan isak tangis yang nyaris mengambang di permukaan. “Bundo tahu soal senja dan cinta?” ia bertanya asal. Otaknya terngiang-ngiang ucapan Aisyah kemarin sore. Pertanyaan yang bagi seorang ibu, terdengar aneh. Seperti bukan anaknya. Tapi nuraninya yang sensitif itu berani bertaruh, ada sesuatu yang terjadi. Namun tak berani bertanya. Beliau tahu, Mira bukanlah anak yang mudah mengungkapkan apa yang ia rasa. Sekali pun ia ibunya. Tapi bagi-nya, sedikit apapun yang menyakitkan anaknya, ia bisa merasakannya. Walau jarak yang terbentang jauh antara mereka. Karena ketika hati yang berbicara maka jarak tak lagi jadi pembatasnya. “Senja itu mengisyaratkan waktu-waktu berakhirnya hari. Senja itu waktunya singkat dan terbatas.” Beliau mengulum senyum. Matanya melirik sang suami yang sedang mengendarai mobil. Lelaki paruh baya itu bertanya lewat matanya. Tapi beliau hanya balas mengulum senyum. Anak-nya sedang jatuh cinta rupanya. “Ketika disamakan dengan cinta, artinya mencintai diujung waktu. Mencintai dibatas waktu. Batas waktu yang singkat.” Ia menghela. “Atau yang lebih dikenal sebagai cinta sesaat.” Suara keibuannya menghibur hati Mira yang kelam. “Cinta yang seperti itu boleh-boleh saja. Tapi tidak dengan mencintai Allah. Jangan gunakan senja yang berlangsung singkat itu seperti cinta kepada Allah ya, Mir?” Ia tak menjawab. Ia hanya diam. Memahami makna senja dan cinta. Lalu senja dan dia. “Jangan mencintai-Nya diujung usia. Saat kau tua, kau baru ingat pada-Nya. Jangan seperti itu, Mir. Karena yang akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak, bukan hanya masa tua tapi juga masa mudamu.” Jika senja adalah waktu, maka waktu itu berjalan singkat. Sedangkan cinta bukan waktu. Karena cinta tak mengenal waktu. Tak ada batasan waktu untuk mencinta. Bahkan ketika raga sudah terpisah dengan ruhnya. Cinta akan terus mengalir sampai ke surga-Nya. Asalkan cinta berlandas kepada-Nya. Jika senja adalah usia dan cinta di dalam lingkupnya. Maka cinta baginya tak kan pernah cukup. Ia tak bisa mencinta ketika usia telah mencapai batas waktunya. Ketika usia telah menjelang ajalnya. Karena baginya, cinta itu selamanya. Namun, jika senja adalah dia. Maka dia hadir sesaat dalam hidupnya untuk mengajarinya tentang cinta. Pertama, tentang cinta dalam kesendirian. Karena Khayra bilang, bukan cinta namanya jika masih mengharapkan balasan. Karena cinta itu memberi bukan menerima. Tapi kini, apakah masih namanya keikhlasan jika ia menangis hanya karena Wirdan sudah tunangan dengan gadis lain? Nyatanya ia tak rela. Ia belum bisa melepas rasa cinta tanpa berharap akan dibalas rasa cinta. Kedua, mengendalikan cinta. Cinta yang mengajarkannya bagaimana mengendali-kan rasa yang ia punya. Karena cinta adalah candu. Candu yang bisa meng-hilangkan kewarasan dan mengakibatkan penyakit yang bernama 'kegilaan'. Dan ia belajar, untuk tak menjadi 'gila' dalam mencinta. Tapi kini? Ia menangis terisak-isak dalam diamnya. Masih bisakah disebut ia bisa mengendalikan cinta? Ketiga, cinta yang benar adalah cinta yang lurus kepada-Nya bukan padanya. Bukan pada Wirdan. Tapi nyatanya? Seharusnya jika memang cinta padanya berlandas cinta pada-Nya, maka ia tak perlu menangis untuknya. Tak perlu gentar kehilangannya. Namun kenyataannya? Justru sebaliknya. Maka ketika ditanya, jika senja adalah dia. Jika senja adalah Wirdan, ia tak bisa. Ia tak bisa mengikhlaskan Wirdan untuk hadir dalam waktu yang singkat lalu pergi untuk selamanya. Karena Wirdan adalah cintanya. Dan ketika cinta...harus selamanya. “Mir?” “Heum?” ia berdeham. “Ya, Bun?” “Kalau sedih, ingat Allah aja ya nak, ya? Bundo dan Ayah kan jauh, gak bisa menghibur.” Wanita paruh baya itu menghela nafasnya. Sebenarnya ia sesak dan pilu akan apa yang dirasakan Mira tanpa gadis itu membuka suara untuk bercerita. Hatinya turut merasakan sakit. “Insya Allah, besok Ayah dan Bundo ke sana.” Ia mengangguk-angguk namun air matanya masih deras mengalir. Ia sangat berterima kasih atas nasihat Bundonya. Ia memang sungkan berbagi cerita tapi Bundonya selalu paham. Selalu mengerti dirinya. Jika pilu ini tak bisa ia uraikan dengan kata-kata. Benar. Jika sedih, ingat Allah saja. Ketika ingat Dia, mana mungkin masih sedih akan segala kepahitan yang dirasa? Coba hitung nikmat bahagia yang telah Dia berikan? Masih kah bisa terhitung jumlahnya? “Bundo sama Ayah sayang Mira.” Bundo, kenapa jatuh cinta harus sesakit ini?    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN