Siapa saja yang datang sama sekali tidak menjadi perhatian Jihan. Yang Jihan fokuskan sekarang adalah memasang tampang seolah bahagia dan menyambut tangan orang-orang yang menyalaminya.
“Selamat, ya.”
“Selamat, ya.”
Argan menjawab dengan ucapan terima kasih sementara Jihan tersenyum tipis. Berikut adalah giliran teman-teman Jihan. Dari Icy, Mbak Vera, Bang Fahri, Rina dan Ainun. Mereka membawa gandengan masing-masing tapi itu tidak menghilangkan kerlingan menggoda mereka pada Jihan.
“Selamat, ya, kalian,” ujar Icy, menyalami Argan berikutnya menyalami Jihan dan cipika-cipiki. “Doain gue cepet nyusul juga.”
“Aamiin. Terima kasih, Cy,” ucap Jihan pelan.
Icy membulatkan telunjuk dan jempolnya, barisan berlanjut dengan Bang Fahri dan seterusnya. Mereka sama-sama memberi selamat dan mendoakan kebahagiaan keduanya. Jihan selalu mengamini dalam hati. Semoga saja, bisiknya
“Kamu capek?”
Jihan langsung menoleh ke samping, menatap Argan sepersekian detik kemudian menundukkan pandangan. Sedikit kaget karena mendapati Argan tidak memanggil namanya lagi, melainkan dengan ‘kamu’. Sedikit ganjil menurut Jihan.
“Merasa aneh, ya?” Argan tertawa. “Soalnya aku berpikir, memanggil istri dengan sebutan nama terlalu ... menggelikan. Itu cukup di awalan saja, selanjutnya tidak perlu lagi. Cepat atau lambat kita harus beradaptasi, bukan? Kamu harus terbiasa denganku ke depannya, begitu pun aku.”
Tidak ada jawaban terucap berikutnya karena tamu undangan mengajak bersalaman. Argan berdiri kemudian disusul dengan Jihan. Ternyata itu adalah bawahan Argan di tempat kerjanya. Mereka menyalami Argan denga akrab begitu juga dengan Jihan.
Terakhir saat berhadapan dengan seorang perempuan bertubuh mungil, yang memiliki wajah perpaduan antara manis dan imut, Jihan menemukan tatapan tidak biasa. Perempuan itu memandangi Argan dengan sendu tapi berusaha menutupinya dengan senyuman.
“Selamat, ya, Pak. Batal ternyata jadi bujangan di usia 30 tahun.”
Celetukan itu ditanggapi Argan dengan kekehan ringan. “Sudah ketemu yang menarik di mata, Vin. Kalau nanti-nanti keduluan orang.”
Jihan tidak salah. Meskipun banyak diam, pengamatannya selalu tajam. Buktinya, Jihan menemukan mata perempuan itu berkaca-kaca. Apalagi saat perempuan itu menyalami Argan dan menepuk-nepuk punggung tangan Argan dibarengi ucapan selamat lagi.
Begitu berpindah pada Jihan, pandangan keduanya bertemu. Mungkin Argan tidak mengetahuinya tapi Jihan sangat membaca dengan jelas. Perasaan perempuan akan mudah ditebak oleh perempuan lain dan saat ini Jihan menyimpulkan kalau perempuan di depannya ini menyukai Argan.
“Selamat, ya, Mbak. Saya Elvina, anak magang di hotel yang sama dengan Pak Argan.”
Jihan mengangguk kemudian berucap pelan, “Terima kasih.”
Elvina menyunggingkan senyum setelah itu pergi dengan tergesa. Pandangan Jihan mengikuti kemana langkah Elvina. Dari punggungnya saja terlihat kalau Elvina mati-matian menahan tangis yang sebentar lagi akan pecah.
Diam-diam Jihan merasa bersalah. Jihan perempuan dan tidak ada perempuan yang ingin menyakiti kaumnya sendiri.
***
Begitu Jihan keluar dari kamar mandi, Jihan sudah membulatkan tekadnya. Jihan melangkah mendekati kasur dengan sedikit gemetar. Apa pun responnya, Jihan harus terima karena ini jalan yang Jihan pilih.
Argan yang menunggu Jihan sambil memainkan ponsel langsung meletakkan ponselnya di atas nakas. Argan menegakkan duduk kemudian tersenyum pada Jihan. Tatapannya begitu lekat, seolah tanpa bertindak saja tatapan itu bisa melakukan segalanya.
“Kenapa tidak dilepas hijabnya,” ujar Argan tenang. “Aku sudah menawarkan dari membantu menanggalkan gaun berat di tubuhmu tapi kamu terus-terusan menolak. Ayolah, Jihan, kita suami istri sekarang. Tidak perlu ada sekat lagi sekarang. Istri harus menuruti perintah suaminya dan itu akan dinilai dengan pahala yang besar.”
“Berikan saya waktu untuk terbiasa, Argan,” lirih Jihan sambil menunduk. Keberanian yang sempat hinggap tadi kini terbang kembali. Argan begitu mendominasi, Jihan tidak ada apa-apanya di mata Argan. “Saya akan berusaha.”
Argan semakin mendekat. Saat Jihan akan mundur, lengan Jihan ditangkap Argan. Tentu saja hal itu membuat Jihan tersentak dan berusaha melepaskan tapi Argan kekeh mempertahankan posisi. “Kalau terus-terusan seperti ini aku akan tersinggung, Jihan. Refleksmu berbicara seolah kamu anti disentuhku.”
“Bukan.” Jihan menggeleng dengan raut pias. “Saya ... saya tidak ter–”
“Kamu ingin mengatakan tidak terbiasa lagi. Sudahlah, tidak perlu mengulang-ulangnya. Sebaiknya kita habiskan malam ini dengan saling mengenal satu sama lain. Lepaslah hijabmu. Setiap helai rambut yang terlihat oleh suamimu maka akan bernilai pahala.”
Perasaan Jihan semakin tidak baik-baik saja. Degup jantungnya berdentum keras dan menimbulkan rasa sesak. Seperti deja vu, bedanya kali ini ikatan di antara keduanya adalah sakral di mata hukum dan agama. Tapi, bukan itu yang menjadi masalah, melainkan sesuatu yang hilang dari diri Jihan.
Di dalam kamar mandi tadi sudah Jihan pikirkan matang-matang. Jihan harus jujur, bagaimana pun Argan dan Jihan adalah pasangan suami istri. Takutnya kalau Argan mengetahui tidak dari penjelasan Jihan sendiri, Argan akan marah pada Jihan. Parahnya melontarkan pandangan jijik.
“Kamu ingin mengenal yang seperti apa, Argan?” Jihan memulai dengan suara yang bergetar. Sekujur tubuhnya berkeringat dingin dan degup jantung kian menggila, sampai membuat Jihan ingin mual. “Apa mengenal versimu sama dengan mengenal versi saya?”
Tangan Argan terulur untuk membelai pipi Jihan, namun Jihan menghindar dan menggeleng. Argan menanggapi dengan menarik napas kemudian memejamkan mata, selanjutnya kekehan kecil keluar pertanda Argan geli dengan apa yang Argan terima sekarang.
“Sepertinya berbeda. Tapi, tidak ada salahnya kalau kita melakukan kedua cara sekaligus.”
“Sebelum itu ...” Kali ini Jihan-lah yang menarik napas. Sesak, seperti ada bongkahan yang bersemayan di d**a dan kerongkongan Jihan. Rasanya tercekat sekali. “Saya ... saya ingin jujur.”
“Apa itu?” Argan tersenyum. Emosi yang sempat menguasai sekarang mengendur karena Jihan akan menuruti keinginannya. “Katakan saja, aku akan mendengarnya.”
“Saya tidak seperti yang kamu lihat, Argan. Saya ... saya mengecewakanmu.”
“Dalam hal apa? Katakanlah langsung, kalau terputus-putus seperti itu terdengar menjengkelkan, Jihan.”
Dalam dua tarikan napas lagi, Jihan mengatakannya dengan perasaan takut di ambang batas. “Saya ... tidak suci lagi.”
“Maaf, bisa diulang?” tanya Argan. Rautnya mengalami perubahan, senyum yang menghias tidak selebar tadi. “Sepertinya suaramu terlalu kecil.”
“Saya perempuan yang tidak suci. Saya tidak perawan, Argan.”
Respon pertama yang didapat adalah, pegangan yang lebih ke cekalan tadi terlepas. Argan mengambil jarak satu rentang tangan kemudian tertawa terbahak-bahak. Suaranya begitu menggema di kamar hotel yang sengaja disewa untuk menghabiskan malam pengantin mereka.
“Kamu sedang mengujiku, Jihan? Kenapa ini lucu sekali?”
Keringat semakin membanjir di telapak tangan Jihan. Senyumnya yang disunggingkan di bibir terasa begitu menyakitkan. Perlahan satu tetes, dua tetes lalu dilanjutkan untaian yang tidak terhingga. Inilah yang Jihan takutkan. Nyatanya pikiran yang bercokol di kepala sebelum-sebelumnya benar-benar terjadi.
“Ayo katakan, ini cuma lelucon, kan? Lihat baik-baik, kamu itu begitu tertutup dan tidak tersentuh, bagaimana bisa ...” Argan menilai Jihan dengan terang-terangan. “Hahaha ... aku sebagai laki-laki saja tidak pernah melakukan hal berdosa seperti itu, apalagi kamu. Aku yakin kamu sebagus yang dipikiranku. Hanya gara-gara kamu tidak ingin melakukannya sekarang, jangan menghancurkannya dengan mengarang cerita yang tidak-tidak.”
“Itu ... kebenarannya, Argan,” ucap Jihan bersamaan dengan isak tangis. “Saya tidak memilikinya lagi. Saya jujur karena saya tidak ingin membohongimu terlalu ja–”
“Oke,” potong Argan. Kali ini Argan bangkit, senyum yang tadi tidak ada lagi di sana. Perubahan yang sangat kentara. Tatapan itu sarat akan kecewa. Argan menggeleng-gelengkan kepalanya menatap Jihan. “Aku akan tidur di luar. Nikmati waktumu sendiri.”
Tanpa menghiraukan apa-apa lagi, Argan melenggang pergi. Jihan tidak menatapnya. Jihan semakin tergugu dalam tangisannya. Dipegang Jihan d**a yang terasa sesak dan Jihan menarik napas terputus-putus.
Dari awal logikanya mewanti-wanti, jika Jihan jujur maka tanggung resikonya sendiri. Dan, inilah resikonya. Argan memang tidak menatap jijik pada Jihan, tapi dengan perginya Argan, bukankah itu sama saja? Respon yang ditunjukkan secara halus, tapi dampak menyakitkan sama besarnya.
Semua orang mendambakan pasangan yang utuh. Bahkan seorang player pun menginginkan istri yang tak tersentuh oleh siapa-siapa. Mungkin ada laki-laki yang menerima kekurangan pasangannya di luaran sana tapi itu tidak terjadi pada Jihan. Apa yang selalu Jihan ditakuti terjadi sekarang. Rupanya, karma tidak akan selesai dengan mudah. Hukum tabur tuai berlaku. Apa yang Jihan lakukan di masa lalu, maka akan ditanggung Jihan di masa sekarang.
***