Argan baru tiba di basemen namun ada yang memanggilnya. Saat berbalik, Argan menemukan Elvina, anak magang di hotel tempat Argan bekerja. Tubuh mungil Elvina sangat mudah dikenali ditambah dengan pakaian tertutup dan hijab yang khas membuat orang-orang mudah mengingatnya.
“Ya, Vin?” tanya Argan. Pernikahannya tiga hari lagi tapi Argan masih belum menemukan cela untuk cuti. Makanya malam ini Argan lembur supaya kerjaannya cepat selesai. “Kamu lari-lari ke sini?”
“Iya, Pak,” jawab Elvina terengah-engah, sambil berusaha menormalkan napasnya. “Bapak mau pulang? Vina bisa numpang nggak, Pak? Kita satu arah, kok. Please, ya, Pak. Vina ngantuk, kalau pulang naik ojek online takutnya Vina jatuh.”
Tawa kecil Argan keluar. “Tidak perlu dijelaskan panjang lebar seperti itu, Vin. Ayo naik,” suruh Argan, setelah itu Argan menekan remot dan mobilnya berbunyi. Sementara Argan masuk di jok pengemudi dan Elvina masuk di sebelahnya. “Lembur juga tadi, Vin?”
Elvina menggeleng sambil memasang sabuk pengamannya. “Tadi bantu bersih-bersih beberapa kamar, Pak. Ternyata kebablasan sampai sekarang terus badan Vina jadi capek dan ngantuk juga.”
Argan mulai melajukan mobil keluar dari basemen. Tatapannya fokus ke depan dan sesekali melirik Elvina. “Sudah makan malam?”
“Belum. Boleh mampir dulu, Pak. Kemana aja gitu, soalnya Vina lapar.”
Tidak hanya sekali atau dua kali Argan berinteraksi denga Elvina tapi lumayan sering. Anak ini ceria dan mudah bergaul, dalam jangka waktu empat bulan, hampir semua pekerja hotel mengenal Elvina. Dari jabatan paling rendah sampai yang tertinggi, seperti Argan, selalu disapa dan diajak mengoceh. Bisa dibilang, Elvina mudah sekali beradaptasi dengan lingkungan sekitar.
“Tapi kalau bungkus gimana? Saya tidak bisa lama-lama, mama saya sudah mengomel. Lembur ini saja sudah diceramahi sepanjang rel kereta api.”
Elvina cekikikan. “Padahal udah besar, ya, Pak, masih aja diomelin. Ya sudah, Vina pesan online saja nanti.”
“Terima kasih,” lirik Argan dibarengi senyum tipis.
“Vina yang harus ucapin terima kasih sama Bapak,” ujar Vina serius. Saat ini mobil berhenti karena lampu merah. “Pak Argan, Vina boleh nanya?”
“Silahkan.” Waktu beberapa detik tersisa dipergunakan Argan untuk memasang headset bluetooth lalu menghubungi Jihan. Hari ini Argan tidak mengirimi pesan lain selain mengingatkan untuk salat dan juga membaca-baca buku tentang pernikahan. Karena Argan ingin setelah menikah nanti, Jihan tahu apa-apa saja tugasnya sebagai seorang istri.
“Apa benar Bap–”
“Sebentar, ya, Vin” potong Argan saat panggilannya diangkat. Senyum Argan mengembang, bersamaan dengan itu lampu merah berganti hijau dan Argan kembali melajukan mobilnya. “Assalamu’alaikum, lagi apa?”
“Wa’alaikumsalam. Tidak ada, hanya bersiap tidur.”
“Bagaimana hari ini?”
“Baik.”
“Jangan terlalu capek. Simpan tenaga untuk nanti.”
“Iya, terima kasih.”
Argan terkekeh. Jawaban singkat khas Jihan sangat akrab sekali di kuping Argan sekarang. “Tidak ada pertanyaan balik untukku? Jihan harus terbiasa. Ayolah, apa perlu aku ingatkan berkali-kali?”
“Maaf. Pelan-pelan saya akan terbiasa.”
“Formalnya juga dihilangkan, ya. Tidak nyaman sekali mengobrol dengan bahasa kaku seperti itu.”
“Iya.”
“Aku lagi di jalan, akan pulang,” beritahu Argan. “Jihan sudah makan malam?”
“Sudah. Hati-hati menyetirnya.”
“Karena mendapat perhatian dari Jihan, aku jadi memelankan laju mobil sekarang.” Tidak ada tanggapan di seberang sana. Argan sesaat berkonsentrasi membelokkan mobil kemudian melanjutkan, “Ya sudah, hanya itu saja yang ingin kutanyakan. Selamat malam, assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”
Setelah panggilan berakhir, Argan melepas headset bluetooth kemudian meletakkannya di dashboard. Sekarang berasa sekali heningnya, saat Argan menoleh ke samping, Argan menemukan Elvina terpaku padanya dengan mulut membentuk garis lurus.
“Saya kira kamu tertidur, Vin.”
“Bapak tadi telponan sama siapa?” tanya Elvina lirih.
“Oh itu,” Argan tersenyum tipis kemudian beralih menatap depan lagi. “Calon istri saya.”
“Jadi, berita itu benar?”
“Bisa dibilang begitu. Kenapa, Vin?”
Argan belum menyadari perubahan raut wajah Elvina. Fokus Argan sekarang ini pada jalan-jalan yang dilalui kemudian bertanya tanpa melihat Elvina langsung, “Kost kamu yang mana?”
“Turunin di sini saja, Pak.”
“Hm?” Argan langsung menoleh. “Kenapa?” tanyanya heran.
Elvina berusaha menjaga nada bicaranya agar terkesan biasa. “Udah deket, kok.”
“Benar tidak apa-apa?”
“Iya.Vina mau mampir di minimarket sana sebentar.”
“Ya sudah kalau kamu keras kepala.” Argan menepikan mobilnya. “Tapi, benar tidak apa-apa turun di sini?”
“Iya, Bapak cerewet, deh.” Elvina terkekeh kering dibarengi dengan melepaskan sabuk pengaman. “Terima kasih, ya, Pak. Salam juga buat papa dan mama Bapak di rumah. Hati-hati.”
“Kamu juga. Kalau begitu, saya lanjut jalan, Vin.”
Elvina mengangguk. Setelah menutup pintu mobil, Elvina melambaikan tangan, yang ditanggapi Argan dengan membunyikan klakson. Sepertinya Argan malam ini terlalu capek, karena perubahan kentara yang ditunjukkan Elvina tadi sampai sekarang tidak disadarinya.
***
Pintu kamar diketuk dan tidak lama Papa muncul, disertai senyum yang sangat menenangkan bagi Jihan. “Boleh Papa masuk, Nak?”
Jihan mengangguk pelan. Pada awalnya Jihan memang tidak berbaring, melainkan duduk di sisi ranjangnya. Jihan hanya bergeser sedikit tanda mempersilahkan Papa untuk bergabung bersama Jihan.
“Tidak bisa tidur, ya? Mamamu juga dulu seperti ini. Katanya banyak ketakutan-ketakutan muncul dan parahnya sampai berpikir untuk membatalkan pernikahan. Tapi, mama bilang saat mengingat wajah Papa, pikiran mamamu bisa tenang kembali.” Tangan Papa terulur membelai puncak kepala Jihan, yang masih tertutup hijab. Di rumah memang seperti ini, Jihan jarang keluar dari kamar tanpa penutup kepala. “Itu namanya sindrom pra-nikah. Semua calon pengantin mengalaminya. Mereka terlalu banyak berpikir dan terlalu banyak yang dikhawatirkan.”
Andai saja Papa tahu yang dikhawatirkan Jihan bukan hal itu, melainkan hal lain. Tapi, Jihan hanya tersenyum tipis dan mengangguk mengiyakan. Anggap saja Jihan sedang merasakan sindrom pra-nikah seperti yang Papa bilang.
“Tidak banyak yang ingin Papa katakan, Papa hanya berharap semoga Jihan bahagia. Semoga Argan bisa mengayomi dan membimbing Jihan. Mengajarkan Jihan apa yang baik dan meninggalkan apa yang buruk.”
Tanpa sadar, mata Jihan berkaca-kaca. Harapan yang sangat indah, diam-diam di dalam hati Jihan mengamini. Allah maha membolak-balikkan hati, Jihan berharap ketidaknyamanannya sekarang pasti akan berubah seiring berjalannya waktu.
***
Banyak yang bilang, ijab qobul adalah kata-kata yang paling indah didengar dibanding syair-syair lain. Benarkah begitu? Kenapa Jihan sekarang merasa biasa saja? Alih-alih tersentuh, Jihan malah khawatir. Ada-ada saja yang menjadi beban pikirannya, padahal semua itu belum tentu terjadi.
Ketika seruan sah serempak diucapkan, Jihan tersadar dari lamunan dan meneteskan air mata. Bukan karena lega, tapi karena membayangkan apa yang dihadapi ke depannya. Ketakutannya, ketidakpercayaan dirinya dan perasaannya. Semua itu stuck bertahun-tahun yang lalu dan tidak mudah jalan kembali hanya karena kehadiran orang baru, meskipun statusnya sekarang adalah seorang suami.
“Hei, apa begitu terharunya sampai tangan suami hanya ditatap saja? Tidak berniat untuk menyambut dan mengecupnya?”
Jihan mendengar tapi Jihan belum bergerak. Jihan mengambil jeda sejenak, mengepal kemudian membuka tangannya. Setelah ketakutan berkurang, perlahan Jihan menyambutnya meski sedikit gemetar. Ini sentuhan pertama yang dimulai oleh Jihan sendiri, rasanya begitu canggung sekaligus tidak nyaman.
Ketika dua kulit bersentuhan, Jihan menemukan tangannya begitu dingin dibanding tangan Argan. Jihan langsung menunduk untuk mencium punggung tangan seseorang yang kini resmi menyandang status sebagai suaminya. Bibir Jihan bergetar, matanya memanas. Perasaan Jihan ... tidak baik-baik saja.
“Akhirnya, aku memilikimu,” bisik Argan begitu mendekat. Sebelum membalas dengan mendaratkan kecupan di kening, Argan melanjutkan kata-katanya, “Jadilah istri yang berbakti untukku, Jihan Aisha.”
***