Berbeda (2)

1293 Kata
Jihan baru keluar dari ruang Pak Yanto dan menuju kubikelnya, tapi Icy dan yang lain sudah menyambut dengan tatapan mengerling jahil. Jangan lupakan senyum di bibir Icy, yang membuat Jihan bertanya-tanya dalam hati. “Belum jam makan siang, lho. Tapi, udah dikirimin makanan dari calon suami. Sosweet banget, sih.” Tidak diindahkan Jihan apa yang Icy katakan. Segera Jihan duduk di kursinya kemudian melirik pada kotak makan dan juga setangkai mawar yang di atasnya. Jihan menarik napas kemudian mengembuskannya dengan pelan. Segera Jihan mengambil ponsel, membuka ruang obrolannya dengan Argan lalu mengetikkan sebuah pesan. Jihan A : [Terima kasih.] Baru Jihan ingin meletakkan ponsel, terdengar notif tanda pesan masuk kemudian pop-up chat muncul di layar. Sudah bisa ditebak kalau itu adalah balasan dari Argan. Jihan bisa membacanya langsung tanpa masuk ke ruang obrolan. Argan Akbar : [Sama-sama. Tapi, ini terima kasih untuk apa?] Argan Akbar : [Oh iya, ini pertama kalinya Jihan menghubungiku lebih dulu. Sebuah kemajuan yang bagus, bukan? Sebentar lagi istirahat, jangan lupa salat dan selamat menikmati makan siang. Aku tidak bisa mengajakmu keluar hari ini, pekerjaanku banyak.] Beberapa saat Jihan terdiam. Setelah menimbang-nimbang, Jihan putuskan untuk membalas sekali lagi, sebelum kembali tenggelam dalam pekerjaannya. Jihan A : [Tidak apa-apa. Terima kasih.] Setelah itu Jihan mengembalikan ponsel ke tempat asal lalu memindahkan kotak makan lebih ke samping agar tidak mengganggu pekerjaannya. Wangi dari sesuatu di dalam kotak itu tercium, Jihan sangat hapal sekali bau ini. Ayam bakar favorit Jihan, tapi darimana Argan tahu? Atau, mungkin Mama yang sudah mengatakan pada Argan soal makanan kesukaan Jihan. *** Dia baru saja menyimpan file proposal kerja sama dengan perusaan lain, saat pintu ruangannya diketuk dan tidak lama sekertarisnya muncul dari sana. Ini sudah pukul setengah tujuh malam dan seperti biasa, dia dan sekertarisnya selalu pulang telat. Ada-ada saja yang dia kerjakan atau ada-ada saja yang membuatnya terus-terusan ingin pulang larut. Apartemennya terlalu suram atau jika akhir pekan tiba, dia tidak ada keinginan sama sekali untuk berkunjung ke rumah keluarganya. Dia tidak nyaman melihat tatapan tidak bersahabat dari adiknya, walau pun itu masalah lama tapi tetap saja adiknya masih menyimpan sedikit kemarahan padanya. “Hari ini tidak jadi penguntit gila tapi kau mengiriminya makanan dan setangkai mawar? Sudah ada kemajuan rupanya.” Sekertarisnya terkekeh. “Tapi, itu tindakan yang salah, dude. Dia ingin menikah dan kau mulai melakukan pergerakan. Itu tindakan yang kurang tepat.” “Aku tidak memiliki niat lain. Hanya ingin mengiriminya makanan saja,” ucapnya santai. Dasi yang terasa mencekik segera dilonggarkan. “Kenapa kau belum pulang? Tolong abaikan kata-kata ibuku, aku bukan anak kecil lagi jadi tidak perlu diawasi. Kalau jam kerja, profesionallah sebagai sekertaris, kalau jam pulang pulang berlakulah selayaknya teman atau sepupu, jangan mencampuri urusan pribadiku kecuali aku yang memerintah.” “Tadi Tante menelponku.” Alih-alih menanggapi, sekertarisnya langsung memasang tampang serius. “Dia ingin kau besok menemui seseorang. Anak teman arisannya.” Sontak saja itu membuat dia terbahak. Bahkan kepalanya menggeleng berulang kali diiringi dengan pijatan halus di pelipis. “Aku tidak ada waktu untuk itu. Katakan pada ibuku, jangan berharap aku datang. Dan untuk perempuan yang katanya akan kutemui, sampaikan rasa bersalahku padanya. Dia bisa mencari laki-laki yang lain untuk teman kencan buta.” “Kau sudah gila! Usiamu 32 tahun dan sebentar lagi 33, apa kau sama sekali tidak ada keinginan untuk menikah? Semakin hari ibumu semakin cerewet dan aku selalu menjadi perantara kecerewetannya karena kau selalu menolak panggilan darinya.” “Itu nasib kau karena tidak bisa berkutik.” Dia membereskan beberapa berkas dan barang-barang lain, lalu memasukkan ke dalam tas kantor. Setelah semua beres dia bangkit. “Bilang pada ibuku, sekarang aku belum punya keinginan untuk menikah. Tidak sebelum aku melihat kebahagiaannya kembali.” “Walau bahagianya itu tidak dengan kau?” “Ya, walau pun itu tidak denganku,” ulangnya. “Tapi, s**t! Aku masih berharap dia bahagia bersamaku tapi bukankah itu hal yang mustahil?” Sekertarisnya mengendikkan bahu. “Siapa yang tahu?” Dia langsung melenggang pergi meninggalkan meja kerjanya. Saat melewati sekertarisnya, dia berucap sambil lalu, “Aku pulang. Kau juga harus pulang. Aku takut nanti istrimu cemburu karena aku mengambil hampir seperempat waktu suaminya.” Dengkusan sekretarisnya terdengar dan dia menanggapi dengan kekehan ringan. Semua orang pada akhirnya menikah dan membuat keluarga sendiri, lalu dia kapan? Entahlah, tidak ada yang tahu. Saat ini hatinya masih terpaut di satu orang. Cinta, penyesalan dan kesakitan bercampur jadi satu. Mungkin dia sedang menjalani karmanya sekarang. *** Keluarga besar mulai berdatangan. Baik itu yang satu daerah mau pun yang beda daerah. Rumah Jihan bisa dikatakan besar, saat ini sangat ramai. Kesibukan tentang pernikahan yang kurang dari lima hari lagi benar-benar menyita perhatian. Para sepupu-sepupu termasuk adik Jihan sendiri mulai heboh merecoki Jihan dengan beragam jenis perawatan. Mereka sangat antusias mengetahui anak tertua akan menikah dan mereka juga menggebu-gebu memberi masukan tentang setelah resepsi berakhir nanti. Tapi, alih-alih menjadi yang paling bahagia karena bintang dari acara itu, Jihan malah semakin tidak menemukan tanda-tanda kenyamanan di hatinya. Setiap malam mendapati pesan romantis yang dikirimi Argan sama sekali tidak membuat berdebar. Sama sekali tidak ada kemajuan dan sama sekali tidak baik-baik saja. Apa hanya Jihan sendiri menjadi pengantin paling tidak bahagia di dunia? Semua orang tidak ada yang salah, karena kesalahan itu terletak di diri Jihan sendiri. Sejauh ini keluarga Argan begitu baik, Argan pun sama walau ada bagian yang Jihan tidak sukai di diri Argan. “Mbak, hei, kok malah ngelamun?” Lila menepuk pelan lengan Jihan. “Mikirin apa, hayo? Bentaran lagi bakal ketemu sama Mas Argan, jadi tahan dulu rasa kangennya. Sampai murung gitu, lho, mukanya.” “Iya, nih. Kaget aja gitu Mbak Jihan bisa menampilkan raut kuyu gara-gara laki-laki. Lucu, ya, kan?” Adik dan sepupu-sepupu Jihan tertawa bersamaan, merasa senang karena bisa menggoda Jihan. Saat ini mereka berada di kamar Jihan, sepupu-sepupunya Jihan rata-rata sudah memiliki satu anak, bahkan ada yang sedang hamil. Bisa dikatakan, Jihan adalah yang tertua tapi yang paling akhir menikah. Beda cerita dengan adik atau sepupu laki-laki yang lain, mereka sama sekali tidak mendapat tuntutan kecuali sudah matang, baik dari segi usia mau pun keuangan. “Eh, ponsel Mbak bunyi, tuh,” celetuk Nisa, yang saat ini tengah hamil muda. Anehnya Nisa sangat aktif sekali. “Mungkin dari Mas Argan. Cieee ...” Posisi duduk yang paling dekat dengan nakas segera mengambilkan ponsel lalu menyerahkan pada Jihan. Pandangan mereka terpaku pada satu titik, yaitu Jihan. Terlihat kentara sekali raut penasaran dan raut menggodanya. “Buka gih, Mbak. Langsung balas juga, biar nggak nunggu lama-lama. Di saat-saat seperti ini kangennya berkali-kali lipat dari biasanya.” Jihan tersenyum tipis lalu menggeleng. Segera Jihan membuka ponsel dan menemukan satu pesan, bukan dari Argan melainkan dari ... Nabila. Teman saat SMA-nya sekaligus ... adik laki-laki itu. Nabila Pramesti A : [Hai, aku ganggu, ya? Terima kasih sudah kirim undangan. Aku pasti akan datang. Selamat, ya, Jihan.] Dari dulu sampai sekarang, tidak ada masalah dengan pertemanan Jihan dan Nabila. Hanya saja, keduanya canggung. Jihan merasa semenjak putus, Jihan tidak perlu lagi berhubungan dengan orang terdekat laki-laki itu dan Nabila sendiri merasa bersalah pada Jihan, sedikit banyaknya Nabila tahu hubungan keduanya tapi tidak untuk alasan putus. Yang Nabila tahu hanya, abangnya menyakiti sahabatnya. Itu saja. Jihan A : [Terima kasih, Bila.] Ini untuk kali pertamanya mereka kembali bertukar pesan. Jihan dan Nabila sama menyimpan nomor masing-masing tapi tidak pernah saling bersua. Mungkin lewat hal seperti ini mereka bisa saling sapa walau pun ragu hubungan akan kembali seperti dulu. “Gimana-gimana? Apa isi pesan Mas Argan? Kangen? Pengen cepat ketemu? Atau, pengen cepat sah?” “Bukan dari Argan,” jawab Jihan singkat. “Hm, nggak percaya. Mbak Jihan, nih, jadi malu-malu sekarang.” Jihan memilih beranjak dari kasur. Mereka sepertinya masih ngotot mengatakan pesan tadi dari Argan sedangkan kenyataannya bukan. Ya sudah, terserah dengan pemikiran mereka saja. Jihan ingin menenangkan diri sebentar. “Mbak ke luar, ya.” “Ngapain, nih? Pake bawa ponsel segala, mau telponan, ya?” Masi dengan godaan yang sama. “Mbak Jihan udah beda sekarang.” Kikikan geli terdengar. “Ya namanya juga mau nikah. Bahagia bisa bikin orang beda.” “Mbak ke luar,” pamit Jihan lalu benar-benar pergi. Baru saja menutup pintu kamar, Jihan berpapasan dengan Zidan. Pandangan keduanya bertemu dan Zidan nyengir lebar. “Mbak butuh cowok ganteng ini?” tunjuk Zidan ke dirinya sendiri. Jihan tertawa kecil tapi langsung mengangguk. Setidaknya, si bungsu yang paling peka ini membuat perasaan Jihan baik-baik saja sekarang. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN