"Ayra masih meringkuk di atas tempat tidur, sakit yang mendera perutnya tak kunjung berkurang, dan rasa sakit itu sampai menguras tenaganya, membuat tubuh Ayra terasa lemas dan tidak bertenaga.
Suara langkah kaki di luar kamar membuat Ayra perlahan membuka matanya, dia yakin jika yang datang adalah Bhara. Ia sangat berharap Bhara segera masuk ke kamar dan memberinya obat alergi.
Karena Bhara tak kunjung masuk ke dalam kamar, Ayra memilih untuk kembali memejamkan kedua matanya.
Tidak lama kemudian pintu pun terbuka dari luar, seseorang langsung melangkah masuk ke dalam kamar, dan seseorang tersebut ternyata adalah Celina.
Wanita itu lalu menghampiri Ayra yang meringkuk di bawah selimut. Celina berdiri di samping Ayra, dengan tatapan nyalang dan wajah murka.
Wanita itu lalu menarik selimut yang menutupi tubuh Ayra dengan kasar, lantas membuangnya ke sudut ruangan.
Ayra yang terkejut langsung membuka kedua matanya, wanita itu semakin bertambah terkejut saat melihat sosok Celina berdiri di sampingnya.
"Mengapa kau lancang sekali, masuk ke tempat orang tanpa permisi," ujar Ayra menatap tajam ke arah Celina.
"Dasar w************n! Wanita munafik! Asal kau tau, aku adalah nyonya rumah sebenarnya di sini! Berani-beraninya kau mengatakan aku lancang, hah!" teriak Celina serayak menarik paksa tangan Ayra, lalu menyeret tubuh wanita itu agar turun dari tempat tidur.
"Lepas!" seru Ayra, berusaha melepaskan cakalan tangan Celina dan berusaha menahan tubuhnya supaya tidak terjatuh ke lantai.
Namun karena kondisi tubuhnya yang lemah, tenaga Ayra tidak ada apa-apanya dibanding tenaga Celina.
Gedebugh!
Tubuh Ayra terjatuh ke lantai dengan sedemikian rupa. Wanita itu hanya bisa meringis menahan rasa sakit yang berbeda di tubuhnya.
"Kau pikir dirimu itu siapa! Hah! Kau itu tidak lebih dari seonggok sampah yang sedang dimanfaatkan oleh Bhara! Setelah Bhara berhasil mencapai tujuannya, kau akan kembali dibuang ke tempat asalmu yang menjijikkan!" ucap Celina dengan nada tinggi.
"Terserah kau saja mau bilang apa, aku tidak perduli. Lagipula aku tidak yakin jika kau lebih baik daripada aku," sahut Ayra sambil terus memegangi perutnya yang semakin terasa sakit.
Apa yang diucapkan oleh Ayra semakin membuat Celina murka. Dengan kasar ia menarik rambut Ayra ke belakang, membuat wanita itu menengadah ke atas.
Bersamaan dengan itu, Celina melihat banyak bercak merah di leher Ayra, dan ia yakin jika itu adalah perbuatan Bhara.
Kemarahan Celina semakin meluap, dia yakin jika Ayra telah menggoda Bhara dan membuat kekasihnya menjadi perhatian kepada wanita itu.
"Dasar j4l*ng murahan!"
Plak!
Celina mendaratkan sebuah tamparan keras ke wajah Ayra, sambil terus memaki wanita itu.
Ayra yang tidak berdaya hanya bisa mengusap pipinya yang terasa kebas dan panas. Tamparan Celina langsung meninggalkan bekas merah di pipinya yang putih dan mulus.
"Apa kau merasa senang karena sudah berhasil menggoda Bhara? Kau merasa besar kepala dan bangga, karena Bhara mau menidurimu! Iya!" bentak Celina semakin kuat menarik rambut Ayra.
Ia tidak peduli jika ada beberapa helai rambut Ayra yang tercabut dari kulit kepalanya.
"Sa--kit, tolong lepas--kan!" pinta Ayra berusaha melepaskan jambakan tangan Celina di kepalanya.
Celina menyeringai lebar, kemarahan dan rasa cemburu membuat wanita itu ingin menyiksa Ayra lebih lama. Ia ingin agar Ayra jera dan tidak berani lagi menggoda kekasihnya, Bhara.
"Sakit? Wanita rendahan sepertimu memang layak untuk merasakan rasa sakit!"
Plak!
Celina kembali mendaratkan sebuah tamparan, hingga membuat sudut bibir Ayra mengeluarkan darah.
"Wanita tidak punya hati! Seharusnya kau malu, siapa lelaki yang kau perebutkan! Dia suamiku! Apa kau lupa!" Ayra berteriak dengan sisa kekuatannya.
Sungguh, apa yang dilakukan Celina benar-benar menyakiti hati dan tubuhnya. Sakit yang mendera perutnya belum juga hilang, dan kini ia harus merasakan rasa sakit yang luar biasa di wajahnya, karena tamparan Celina.
"Tutup mulutmu j4la*g! Wanita rendahan sepertimu, tidak pantas berkata seperti itu di hadapanku!" sentak Celina semakin murka.
Dengan kasar, wanita itu menarik tubuh Ayra ke arah dinding tanpa melepaskan jambakan di kepala wanita itu.
Lalu tanpa berperasaan Celina membenturkan kepala Ayra ke tembok.
Darah segar langsung mengalir dari kening Ayra, bersamaan dengan tubuhnya yang luruh ke lantai.
Ayra memejamkan kedua matanya, menahan beribu rasa sakit di tubuhnya. Kepalanya terasa berdenyut, benturan itu benar-benar membuat Ayra tidak mampu lagi untuk bangkit.
"Aku belum puas bermain-main denganmu, j4l4*g! Tunggulah, aku akan mempersiapkan permainan baru untukmu," ujar Celina tersenyum sinis, lalu melangkah ke kamar mandi.
Dengan sisa kekuatannya Ayra merangkak ke arah tempat tidur, ia lalu meraih ponselnya yang tergeletak di bawah bantal.
Dengan tangan gemetar, ia segera mencari nomor Bhara, lalu menghubungi pria tersebut.
Beruntungnya Bhara langsung mengangkat panggilan telepon darinya.
[Mas Bhara! To--long!]
Tut tut tut
Panggilan telepon langsung terputus, ponsel Ayra mendadak mati karena kahabisan bateri.
Benda pipih itu meluncur ke bawah, bersamaan dengan tubuh Ayra yang kembali terkulai lemas di lantai.
"Apa kau mencoba melarikan diri wanita j*l4ng!" Tiba-tiba saja Celina sudah berdiri di hadapan Ayra.
Dengan wajah beringas, Celina menyeret tubuh Ayra ke kamar mandi. Ia lalu membenamkan tubuh wanita itu ke dalam bathtup yang penuh dengan air.
Celina tertawa terbahak-bahak melihat Ayra yang terus memberontak di dalam air. Bahkan ia tidak perduli jika wanita itu mulai kehabisan nafas.
***
Bhara memarkirkan mobilnya dengan asal. Perasaannya sudah tidak menentu, ia merasa jika ada sesuatu yang buruk yang menimpa Ayra.
Saat Bhara hendak keluar dari mobil, ia tidak sengaja melihat sosok Celina yang baru saja keluar dari tempat parkir.
Sebuah praduga langsung melintas di benak Bhara, ia yakin jika ini ada hubungannya dengan wanita itu.
Setelah mobil Celina menghilang di ujung jalan, Bhara bergegas turun dari dalam mobil lalu berlari menuju lift.
"Ay!" Bhara langsung berteriak memanggil Ayra, saat ia masuk ke dalam apartementnya.
Pria itu memeriksa seluruh bagian sudut apartemennya, dan ia tidak menemukan apa-apa, kondisi ruangan pun tetap sama, tidak ada yang berubah.
Bhara lantas berlari menuju ke kamarnya, dan betapa terkejutnya ia saat tidak mendapati Ayra di tempat tidurnya, bahkan kondisi tempat tidur terlihat berantakan dengan selimut dan beberapa bantal yang berserak di lantai.
"Ayra! Di mana kau! Jangan membuatku kuatir!" Bhara kembali berteriak memanggil Ayra, sambil berlari kesana kemari mencari keberadaan istrinya.
Tapi nihil, ia tidak menemukan keberadaan Ayra di manapun.
Sampai akhirnya, langkah kakinya membawa pria itu ke dalam kamar mandi.
"Ayra!" teriak Bhara dengan wajah panik, saat melihat tubuh Ayra mengapung di dalam bathtub.
Dengan wajah cemas, Bhara segera mengeluarkan tubuh Ayra dari dalam bathtub.
Pria itu lalu membaringkan tubuh Ayra di lantai kamar mandi, melepas seluruh pakaian istrinya, kemudian menyelimutinya dengan handuk kering.
Bhara sedikit mengangkat kepala Ayra, lalu sedikit membuka rahangnya, ia kemudian mendekatkan telinganya ke arah hidung dan mulut wanita itu.
Pria itu merasa sedikit lega, saat ia masih bisa merasakan hembusan nafas Ayra. Ia juga melihat dad4 Ayra yang turun naik, meskipun terlihat lemah.
Bhara kemudian penjepit hidung Ayra, ia lalu merunduk, memberikan nafas buatan kepada wanita itu.
"Ayo, Ay! Sadarlah!"
Pria itu kembali memberi nafas buatan kepada Ayra untuk yang kelima kalinya, setelah empat kali nafas buatannya tidak juga berhasil membuat wanita itu tersadar.
Di tengah rasa putus asanya, tiba-tiba saja Ayra tersadar dari pingsannya.
"Alhamdulillah," ucap Bhara spontan.
Pria itu segera memiringkan kepala istrinya, membantu wanita itu agar bisa memuntahkan seluruh air yang masuk ke dalam perutnya.
Setelah melihat Ayra bisa bernafas dengan teratur, Bhara bergegas keluar dari kamar mandi untuk mengambil selimut.
Tanpa berpikir panjang, Bhara membungkus tubuh Ayra menggunakan selimut.
Ayra yang sudah tidak berdaya, hanya bisa pasrah melihat apa yang dilakukan Bhara kepadanya.
Wanita itu memilih memejamkan kedua matanya, saat Bhara membopong tubuhnya keluar dari apartemen.
***
"Apa kau yang melakukannya? Kau melakukan kekerasan kepada istrimu sendiri? Ingat Bhara, meskipun kita teman tapi aku tidak akan segan melaporkanmu kepada pihak yang berwajib, jika sampai kau terbukti melakukan kekerasan kepada istrimu!"
Bhara membuang nafas kasar, pria itu mengacak rambutnya frustasi mendengar tuduhan Amera kepadanya.
"Bukan aku yang melakukannya," sanggah Bhara mencoba meyakinkan.
"Jika bukan kau pelakunya, lalu siapa? Istrimu mendapat tamparan di kedua pipinya, bibirnya luka, keningnya robek, dan kulit kepalanya ada yang mengelupas karena rambutnya dicabut secara paksa," tukas Amera kesal. Amera adalah dokter yang menangani Ayra dan juga pemilik klinik.
Mendengar keterangan Amera, darah Bhara langsung berdesir seketika. Ia bisa merasakan bagaimana kesakitan yang dirasakan Ayra, akibat penyiksaan itu.
Meskipun ia tidak menginginkan Ayra, bahkan tidak berharap wanita itu menjadi istrinya, namun ia tetap tidak terima jika ada orang yang menyakiti wanita itu, meskipun orang tersebut adalah kekasihnya.
"Ada urusan yang harus aku selesaikan, apakah aku bisa menitipkan Ayra kepadamu sebentar?" tanya Bhara pada Amera.
"Pergilah! Beri pelajaran kepada orang yang telah menyakiti istrimu! Di mana harga dirimu sebagai suami, jika kau hanya diam melihat istrimu disakiti orang lain!" sahut Amera dengan nada ketus.
Tidak ingin berdebat dengan teman sekolahnya dulu, Bhara memilih segera meninggalkan tempat tersebut.
Pertama-tama, Bhara kembali ke apartemennya untuk memeriksa rekaman CCTV. Setelah mendapatkannya dan yakin jika pelakunya adalah Celina, pria itu segera melajukan mobilnya ke apartemen kekasihnya itu.
***
Pasangan kekasih itu terus berpacu, tidak peduli dengan peluh yang membasahi tubuh. Suara desahan dan erangan terdengar bersahutan, membuat suasana kamar semakin terasa panas.
"Lebih cepat lagi baby! Aku sudah tidak tahan!" pinta Celina di sela-sela desahan nafasnya.
Tubuh Bhara membeku di ambang pintu. Pemandangan di depan matanya, benar-benar membuat pria itu seperti ingin muntah.
Niat hati mendatangi Celina untuk membuat perhitungan dengan wanita itu, tapi ternyata Bhara justru disuguhi pemandangan yang membuat dadanya terasa sesak.
Sakit. Hati Bhara terasa begitu sakit melihat pengkhianatan kekasihnya, padahal selama ini ia selalu membanggakan Celina di depan Eyang dan keluarga besarnya.
Bahkan baginya Celina adalah wanita terbaik diantara ketiga istrinya.
Setelah melihat kenyataan di depan matanya, Bhara baru sadar, jika apa yang dikatakan oleh Eyang Candrawati selama ini adalah benar.
"Kau selamat kali ini, tapi aku tetap tidak akan melepaskanmu," gumam Bhara dengan kedua tangan mengepal kuat.
Pria itu perlahan mundur, lalu membalikkan tubuhnya dan pergi dari kediaman Celina.
"Mengapa sudah kembali? Apa kau tidak berhasil menemukan pelakunya? Apa seorang Bharata Yhuda mulai kehilangan kekuasaannya?" berondong Amera, saat melihat Bhara muncul di hadapannya dengan wajah kusut.
"Diamlah!" sahut Bhara datar, lalu melewati Amera menuju kamar perawatan Ayra.
Tanpa berkata apa-apa, Bhara langsung naik ke atas tempat tidur istrinya, yang semestinya hanya untuk satu orang.
Pria itu lantas berbaring di samping Ayra lalu ikut memejamkan kedua matanya, sambil memeluk tubuh istrinya yang tertidur pulas.