Bab 26

1493 Kata
Lexington, Manhattan, New York City Kamis, 30 November 2017   --  “Anthony marah.. aku tidak yakin apa dia terpukul atau marah. Dia hanya terus berteriak di depan wajahku." Kate dan aku duduk di depan perapian. Kami telah memiliki botol anggur di tangan kami masing-masing dan Kate tidak keberatan untuk meneguknya langsung dari sana. Sejak pagi tadi ketika Kate mengetuk pintu kamarku, aku tersentak bangun dan tiba-tiba kepalaku terasa berdenyut-denyut. Aku telah menantinya, aku ingat bahwa dia akan datang dan entah bagaimana dia telah menjadi bagian dari diriku sekarang. Aku membukakan pintu dengan lebar untuknya. Kate, masih sama seperti yang kuingat, cantik dan elegan, kecuali karena matanya tampak sembab dan lingkaran hitam terlihat jelas di bawah sana. Ia lebih pucat dari foto-fotonya, wajahnya lebih tirus dan Kate memilih mantel putih dengan jins pudar pagi ini. Ia menggelung rambutnya di atas bahu, syal berwarna merah melingkari lehernya dan ia tidak lagi mengenakan sepatu berhak tinggi warna merah melainkan bot hitam setinggi mata kaki. Kami duduk di perapian dan berbicara selama berjam-jam. Aku mengabaikan petugas kebersihan yang mengetuk pintuku dan aku berbohong pada Nate kalau aku sedang tidak enak badan sehingga memutuskan untuk tinggal di kamarku pagi ini. Aku tidak peduli. Aku hanya ingin bersama Kate. Melalui tepi botol anggur yang kuangkat ke bibirku, aku melihatnya menunduk. Kedua matanya basah oleh air mata, hidungnya memerah. Baru kusadari kalau Kate tidak mengenakan make-up pagi ini. Ia terlihat begitu pucat dan ada luka membiru di sisi kiri wajahnya yang selama ini tertutup rapat oleh riasan. Kini aku melihatnya, bekas pukulan itu. Aku ingin bertanya apa yang terjadi dan siapa yang memukulnya, tapi aku mengurung niatanku. Aku ingin mendengar kisahnya hingga tuntas. "Hari itu, dia pulang lebih malam dari biasanya. Aku menunggunya, aku ingin menghubunginya, aku ingin menghubungi ibuku, polisi, atau siapapun.. tapi aku ketakutan. Aku benar-benar ketakutan Sara. Tidak ada yang kulakukan, aku pergi ke kamarku dan aku mengurung diri disana sementara Missy kubiarkan tergeletak di lantai. Aku menangis, semuanya menjadi kacau. Kemudian Anthony pulang dan aku mendengar teriakannya dari lantai bawah. Dia memanggilku, aku tidak menanggapinya, dia memanggilku lagi dan kali ini aku mendengar suara langkahnya.." bibir Kate bergetar dan tatapannya menyapu karpet merah yang kami duduki. Tatapan itu kosong, ia sedang mengulang kejadian terburuknya. Aku menggenggamnya, bermaksud menguatkannya. ".. aku mendengar dia mengetuk pintuku dan berteriak memanggilku. Tidak ada yang kulakukan, aku duduk merapat di dinding dan ketakutan. Kemudian Anthony mendobrak masuk. Saat itu aku melihatnya Sara.. dia bukan pria yang aku nikahi sejak dua tahun yang lalu. Dia bukan pria yang sama. Wajahnya merah dan kedua matanya menatapku tajam. Dia berjalan ke arahku, dia meraih pundakku. Aku berteriak, aku menangis dan berteriak, kemudian dia menamparku. Dia bertanya apa yang telah kulakukan dan ketika aku terus menangis, dia menamparku lagi. Anthony menyeretku ke kamar mandi dan mengunciku di sana. Malam itu aku tidak tahu apa yang terjadi. Dia membereskan kekacauan itu. Keesokan paginya, semuanya berubah. Aku tidak melihatnya, aku tidak melihat putriku, dan aku sendirian. Aku tidak melihat Anthony selama satu minggu, aku tidak tahu kemana dia pergi. Aku berniat menghubunginya tapi aku takut. Aku benar-benar sendirian dan aku ketakutan Sara. Aku pikir aku akan gila. Aku menghubungi ibuku dan berbicara dengannya, hanya itu yang membuatku merasa lebih baik. Aku tidak mengatakan padanya tentang Missy dan Anthony. Itu selalu membuatku depresi saat mengingat malam itu." "Di Minggu kedua, pada bulan Februari, Anthony kembali. Dia menempati ruangan kosong di lantai bawah dan kami tidak pernah berbicara. Sesekali, dia berteriak padaku dan memukulku. Dia selalu mencari kesalahan kecil yang kulakukan untuk menghukummu dan aku merasa terkurung saat bersamanya. Dia menganggapku gila, dia mengatakan hal itu pada kerabatnya dan dia menceraikanku. Dia mengusirku dari rumah itu. Aku tidak membawa apa-apa saat itu dan aku masih terpukul. Aku menjual cincin pernikahan kami dan kugunakan uangnya untuk membayar biaya sewa penginapan. Aku bekerja pada seorang teman yang kukenal, kemudian aku harus memulai segalanya dari awal. Aku masih memiliki sertifikat dan izin untuk membuka praktek, aku meminjam modal yang besar untuk itu dan dari sana, aku kembali bangkit. Aku berusaha melupakan Anthony, aku berusaha melupakan Missy dan kejadian paling mengerikan malam itu. Aku terus bekerja – hanya itu satu-satunya cara untuk melupakan segalanya. Ketika aku akhirnya memiliki penghasilanku sendiri, aku membeli rumah yang kutempati saat ini dan itu sudah satu tahun berlalu. Saat pertama kita bertemu, itu adalah kali pertama aku melewati jalur taman. Aku baru pindah tempat praktek saat itu dan aku rasa aku sudah terbiasa dengan kehidupanku saat ini. Aku tidak ingin mengingat Anthony. Tapi setiap malam ketika aku pergi tidur, ingatan itu akan menghantuiku dan aku selalu terjaga di tengah malam dengan perasaan takut. Itu tidak hanya terjadi sekali. Itu terjadi hingga sekarang. Aku tidak bisa berbohong, aku takut membayangkan wajah Missy, aku takut setiap kali melihat Anthony. Aku tidak tahu apa yang terjadi padaku, aku rasa aku tenggelam dalam depresiku. Aku menjadi orang yang berbeda, aku bukan lagi Katherine yang dulu.” Kate mengangkat botol anggurnya ke atas bibir. Aku memerhatikan saat cairan anggur itu bergerak turun ke tenggorokannya. Selama sesaat aku tidak bisa amemikirkan sesuatu untuk dikatakan. Sementara wanita itu semakin hanyut dalam kekacauan, aku merasa bahwa ini adalah alasan mengapa kami dipertemukan. Aku merasakan hal yang dirasakan Kate. Tiba-tiba aku tidak lagi memikirkan Kate sebagai wanita yang sempurna. Aku menatap matanya dan kini yang kulihat hanyalah diriku. Kami adalah satu orang yang sama yang terkurung dalam raga yang berbeda. Yang tidak bisa kumengerti adalah bagaimana Kate dapat melalui semuanya dan kembali melanjutkan hidup layaknya wanita normal. “Aku kacau, Sara. Orang-orang tidak tahu betapa kacaunya aku. Aku berhasil menutupinya dengan baik. Aku selalu berhasil membohongi orang lain, tapi aku tidak pernah berhasil membohongi diriku..” Kate meletakkan botolnya yang sudah setengah kosong di atas karpet. Ia tertegun selama beberapa saat. Kuperhatikan dadanya yang bergerak naik turun dan nafasnya yang teratur. Ketika Kate berdiri, aku mengikutinya. Dia berjalan menuju kamarku dan aku mengekor di belakangnya. Kate baru berhenti di papan merah itu ketika aku mencapai pintu masuk. Matanya kini menatap belasan fotonya yang terpajang di papan merah itu dan berhenti pada lukisan wanita di apartemen lantai sebelas. Kate menatap wanita itu cukup lama hingga aku bertanya-tanya apa yang sedang dipikirkannya. Ia kemudian mengangkat jari-jarinya, menyentuh permukaan kertas itu dan menatapku. Ada rasa malu dan kengerian yang kulihat dari ekspresinya. “Aku berbohong padamu jika aku tidak pernah mengakui ini,” kata Kate. Aku merasakan tenggorokanku tercekat. Ini adalah apa yang kutakutkan dan aku sudah menduganya. Aku tahu. Entah bagaimana, tapi aku tahu. “Wanita dalam lukisan ini. Itu bukan sekadar ilusimu saja. Itu aku.” Aku telah mengetahuinya tapi aku bisa merasakan jantungku melompat. Seisi kepalaku berputar pada satu poros dan aku kehilangan kata-kata. “Aku kacau, Sara. Aku berusaha melupakan Anthony, aku berusaha melupakan Missy dan sebagai gantinya aku bersenang-senang dengan pria lain.” “Siapa pria itu?” aku tidak bisa menghentikan diriku, aku hanya mengatakan satu-satunya pertanyaan yang terlintas dalam benakku. “Itu Dean. Hubungan kami sudah berlangsung selama hamper satu bulan. Itu hanya kesenangan saja. Aku pikir aku bisa melalui semuanya dan kembali hidup normal. Aku malu untuk mengakui ini, tapi aku tidak pernah berhasil melupakan kejadian itu. Aku mengalami trauma berat selama beberapa bulan. Kami bertemu pertama kali di sebuah pesta perayaan temanku. Dean bersikap baik dan aku tidak menolak tawaran kencannya. Kami menjalin hubungan yang cukup dekat selama beberapa minggu, tapi aku tahu bahwa hubungan itu tidak akan mengarah kemanapun. Dean masih muda, satu tahun lebih muda dariku dan dia cukup sukses dengan kariernya. Dia pria yang baik, tapi hidup bersamanya bukanlah pilihan. Itu hanya emosiku saja, Dean hanyalah balas dendamku pada suamiku. Aku harap segalanya menjadi mudah, kemudian aku tahu bahwa itu kesalahan. Aku mengakhiri hubungan kami beberapa hari yang lalu. Dean tidak bisa menerimanya, dia masih sering menghubungiku, tapi aku menolaknya. Aku mengecewakan orang-orang di sekelilingku lagi. Aku rasa aku memang seorang pembuat kekacauan.” Kini aku melihatnya, Kate yang takut dan kebingungan. Dia berdiri di depan jendela kamarku dan menatap ke apartemen di seberang. Kutatap punggungnya, dapat kubayangkan kemana tatapannya tertuju. “Apartemen itu adalah tempat pertemuan favorit kami. Kami sering menginjunginya selama beberapa minggu terakhir. Aku tidak memikirkan apapun saat bersamanya. Aku tidak pernah menjadi diriku lagi. Kemudian aku melihatmu dan semuanya berubah. Ada yang berbeda tentangmu yang membuat aku tertarik. Bukan sebagai pasien, aku ingin mengenalmu sebagai teman dan aku tahu pada akhirnya aku akan mengatakan hal ini. Aku merasa lega bisa membaginya pada seseorang. Itu seperti melepaskan sesuatu yang berat di pundakmu.” Aku bergerak mendekat. Kate dapat merasakannya karena kini ia berbalik. Tepat ketika aku berdiri di depannya, Kate memelukku, aku bisa merasakan air matanya membasahi pakaianku. Aku meletakkan tanganku di atas bahunya yang berguncang. Aku harap aku bisa meredakan kesedihannya. Kate tidak tahu tapi aku senang saat dia membagi semuanya padaku, aku senang mengetahui bahwa aku memiliki seorang teman dan untuk pertama kalinya sejak bertahun-tahun yang lalu, aku merasa hidup. Momen ini sangat berarti, aku tidak akan melupakannya. -- Beritahu saya tanggapan kalian..
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN