Lexington, Manhattan, New York City
Rabu, 29 November 2017
--
Aku sedang menelan obat-obatanku ketika aku mendengar pesan suara yang masuk melalui ponselku. Rasanya aku telah mengenal suara itu dengan baik.
Sara, ini Kate. Aku minta maaf soal kemarin, tapi itu tidak mudah untukku. Aku terbiasa mendengar semua keluhan orang, tapi aku jarang sekali melakukan hal yang sama – bukan berarti aku tidak ingin. Aku sangat ingin, hanya saja itu terasa berat. Mungkin kau benar, untuk dapat menjadi ‘teman’ kita harus saling mengenal satu sama lain. Dan aku sudah memutuskan hal ini.. Aku akan menunggumu di stasiun. Pukul sepuluh, aku akan berdiri di seberang mesin telepon. Temui aku disana!
Tiba-tiba sekujur tubuhku bergetar. Aku mandi dengan cepat dan berpakaian. Aku mengabaikan wajahku yang tampak pucat dan lingkaran hitam di bawah mataku. Aku mengenakan mantel milik Nick yang tampak kebesaran di tubuhku, tapi itu tidak masalah. Aku lupa mencuci pakaianku sehingga aku akan menggunakan apapun yang tersisa di lemari. Kamera dan alat perekam suara sudah tersimpan di dalam tasku. Aku berjalan dengan cepat menyusuri lorong dan sengaja menghindari pertemuan dengan siapapun. Pintu kamar Nate tertutup rapat, aku tidak ingat kapan terakhir kali kami berbicara. Itu tidak masalah, aku memutuskan untuk memeriksanya nanti.
Keretaku tiba tepat waktu pagi ini, aku duduk di gerbong nomor satu sembari menggigiti kuku jariku. Seorang pria yang duduk di seberang kini menatapku. Aku rasa ini bukan pertemuan kami yang pertama. Dia terus mengawasiku hingga aku bergerak dengan gelisah di atas kursiku. Ketika keretaku akhirnya tiba di City Hall, aku kembali bernafas lega.
Langkah kakiku membawaku keluar dari pintu stasiun itu. Saat itu pukul sembilan empat puluh lima menit. Masih ada waktu lima belas menit yang tersisa. Aku menatap ke arah mesin telepon di seberang dan melihat seorang wanita berdiri di sana. Itu Kate. Dia telah menungguku dan kini dia berjalan ke arahku.
“Aku tahu kau akan datang,” katanya sembari menjulurkan satu tangannya ke atas bahuku. Kate meremasnya dengan lembut, nyaris terlalu lembut. Aku masih berdiri diam dan menatapnya.
“Sekarang aku ingin menunjukkan sesuatu padamu.”
Kate membawaku berjalan menyusuri deretan perumahan di seberang jembatan panjang. Kami menempuh perjalanan sepanjang satu kilo meter menyusuri jembatan panjang dan deretan pohon yang berjejer menutupi rawa di bahu jalan. Aku yakin tidak pernah menyusuri tempat itu sebelumnya. Kate membawaku menyusuri jalanan luas dimana ada sederet rumah-rumah bertingkat yang berjejer di sisi kanan jalan. Masing-masing dari rumah itu memiliki garasi dan bangunan yang luas. Kami berjalan lebih jauh dan berhenti di depan rumah paling ujung dengan cat dinding berwarna putih. Kate menunjuk ke arah bangunan dua lantai itu. Di halaman depan sebuah sedan hitam terparkir. Kebunnya tidak lebih luas dari rumahku di Virginia, dan kaca di bagian depan sedikit terbuka sehingga aku bisa melihat sebuah lubang perapian mengintip dari sana. Sebuah tangga besi melingkar menuju lantai dua dimana terdapat balkon seluas lima meter yang terhubung dengan pintu masuk. Atapnya terbuat dari genting tua dan tepat di pintu masuknya, aku melihat tulisan Mr. and Mrs. Whitman yang dicetak dengan huruf timbul.
Bagian kebunnya yang sempit ditumbuhi oleh tanaman hias yang mulai layu. Kolam dipinggir juga tampak mengering dan seekor kucing mengeong dari pekarangan. Kami berdiri dari kejauhan dan menatap bangunan yang nyaris kosong itu. Kami menunggu – aku tidak yakin apa yang kami tunggu, aku hanya melihat Kate menatap pintu masuknya. Beberapa menit kemudian, pintu itu terbuka, seorang pria dengan setelan kemeja hitam dan celana denim keluar dari sana. Aku melihat sosoknya yang bertubuh tinggi dan jangkung. Ia menggenggam sebuah tas di satu tangannya, membenahi dasinya dan bergerak cepat ke arah mobil. Kucing yang sedari tadi mengeong itu menghampirinya. Pria itu meraihnya kemudian menguncinya di dalam kandang. Ia masuk ke dalam sedan dan mengendarai mobilnya keluar dari sana. Sosoknya menghilang bersamaan dengan kepergian sedan itu.
Kate kemudian membawaku berjalan mendekati bangunan itu. Ketika kami sudah tiba di depan pagar, ia membukanya dengan mudah. Aku masih menatap Kate, sejenak merasa ragu dengan apa yang kami lakukan. Tapi aku terus mengikutinya, tidak berhenti untuk memercayainya.
Kate dan aku berjalan lebih dekat ke beranda. Aku melihatnya mendekati kurungan dan membuka kuncinya. Kate membiarkan kucing itu keluar dari dalam kandang. Si kucing berbulu lebat mendekatinya, menggosokkan tubuhnya di kaki Kate seolah sedang berterima kasih padanya. Hal yang masih sulit kupercaya, Kate tahu dimana kunci cadangan itu diletakkan. Ia membuka pintu masuk dengan mudah dan membawaku serta kucing itu ke dalam sana.
Tubuhku masih bergetar saat aku mengikutinya menyusuri tangga kayu dan naik ke lantai atas. Kate tampak mengenali bangunan itu dengan baik, ia mengenali setiap sudut tempat dan ruangannya. Bahkan, Kate tahu dimana letak kamar utama.
“Jangan khawatir!” katanya. “Aku tahu kau bingung. Jika kau mendengar pesan suaraku pagi tadi, maka kau tahu aku sudah berjanji untuk menjelaskan ini.”
Kate berjalan dengan percaya diri menyusuri lantai kayu dan karpet merah di bawah kakinya. Jari-jarinya menyapu meja rias kecil hingga tepi ranjang dan langkahnya berhenti di depan kaca jendela yang tertutup. Kate menyibak tirai putih itu dan membuka jendela sehingga matahari menembus masuk ke dalam ruangan. Aku melihat wajahnya yang cerah diterpa cahaya mentari yang lembut. Dia tersenyum saat memandangi kolam di bawahnya. Kucing berbulu lebat itu dengan anehnya terus bergerak mengikuti kemanapun Kate melangkah – mereka tampak akrab.
“Ini rumahku,” katanya dan aku sudah tidak terkejut. Tampak jelas dia telah mengenali bangunan ini dengan sangat baik. “Ini rumah pertama yang aku tempati saat aku dan Anthony menikah tiga tahun yang lalu. Kami membeli rumah ini dengan uang tabungan kami dan semua barang-barang yang ada di sini, aku membelinya sendiri.”
Saat kutatap wajahnya, Kate tampak malu. Ia akan mengatakan satu rahasia terbesarnya pada seseorang yang baru dikenalnya dalam beberapa hari. Aku tahu bagaimana sulitnya itu. Aku merasakannya sendiri. Tidak ada seseorang yang kuharapkan selain Kate untuk tahu tentang masalaluku bersama Tom.
“Saat itu musim panas ketika pernikahannya digelar. Aku menyukai Anthony sejak pertama kami bertemu dan.. aku tidak mengenalnya cukup baik. Aku hanya memercayai semua kata-kata manisnya. Ibuku tidak bisa menyetujui pernikahan kami, tapi Anthony mengatakan kalau semuanya akan baik-baik saja. Jadi, aku melakukan pelarian bersamanya ke Washington dan kami menyelenggarakan pernikahan di sana. Dalam satu tahun pertama semuanya berjalan dengan baik. Anthony menemukan pekerjaan yang tepat untuknya. Dia dipromosikan dan semuanya menjadi semakin baik ketika kami akhirnya bisa membeli rumah kami sendiri. Di tahun berikutnya, Anthony harus pindah ke Brooklyn dan kami terpaksa harus menjual rumah pertama kami. Kami membeli rumah ini dan menempati bangunan ini selama beberapa bulan. Hanya beberapa bulan sebelum semuanya berubah..”
Kate menelan liurnya, ia menatap lantai di bawah kakinya, menunduk untuk meraih anjing kecil itu ke pelukannya. Kuperhatikan ketika Kate menggerakan jari-jarinya membelai rambut anjing itu. Kedua matanya kini sudah berair dan dia aku masih menunggunya.
“Apa yang terjadi?”
Kate menatapku, itu hanya sebuah tatapan kosong yang tak berarti. Tapi di balik itu semua, ada rasa sakit yang sedang ia sembunyikan. Aku tahu. Entah bagaimana aku tahu. Aku sudah memikirkan kemungkinan ini, aku hanya tidak ingin menebaknya.
“Aku hamil,” kata Kate. “Itu sebuah kabar baik. Aku gugup, tapi Anthony senang. Ini adalah kehamilan pertamaku dan aku mengalami stress selama beberapa hari. Dokterku mengatakan itu gejala normal yang dialami oleh beberapa ibu hamil. Kehidupanku berubah total. Anthony tidak mengizinkan aku melakukan pekerjaan berat, dia mengurungku di rumah ini, hanya bersama kucing ini. Dia mengatakan kalau aku tidak boleh melakukan pekerjaan apapun hingga bayi itu lahir. Aku stress, aku ingin keluar, tapi dia tidak mengizinkannya.”
Hening. Aku bisa mendengar suara detak jantungku yang bergerak melambat. Tirai putih itu bergerak-gerak tertiup angin dan aku menyaksikan ketika Kate mengembuskan nafasnya dengan pelan dan teratur.
“Itu terjadi selama tujuh bulan. Aku tidak ingat berapa kali aku menangis setiap kali aku pergi tidur, atau ketika aku terbangun di pagi hari dan dunia menjadi semakin sempit. Aku berubah menjadi wanita emosional yang pemurung. Anthony tidak menyukainya dan kami mulai bertengkar setiap malam. Aku tidak bisa menjelaskan emosiku saat itu. Aku hanya ingin berteriak, aku ingin memprotes bertapa tidak adilnya dia memperlakukan aku. Aku menunggunya sepanjang hari dan tidak melakukan apapun, hanya menunggunya, hingga dia pulang dengan wajah berseri-seri, aku tidak tahu apa yang terjadi, aku mencium aroma parfum lain di tubuhnya, aku tidak bisa menjelaskannya.. aku pikir aku cemburu.”
Kate menangis. Benar-benar menangis dan aku bergerak mendekatinya. Satu tanganku yang terangkat meremas lengannya. Ia menunduk. Butuh beberapa detik baginya untuk melanjutkan penjelasan itu.
“Aku menuduhnya berselingkuh dan dia benar-benar marah. Aku tidak yakin dengan apa yang kukatakan, aku rasa itu hanya bentuk protesku saja. Malam itu adalah kali pertama kami tidur terpisah. Aku kesepian dan aku menghubungi ibuku. Kukatakan padanya kalau aku menyesal dan aku ingin kembali. Aku benar-benar merindukanya. Dia bertanya dimana aku tinggal, dan dia berencana untuk menjemputku, tapi aku menolak untuk menyebutkan tempat ini karena itu akan membuat Anthony marah. Aku tidak ingin menambah kekacauan. Aku hanya berpikir kalau itu emosi sesaatku saja. Sejak saat itu, aku menghubungi ibuku setiap malam. Aku melakukannya secara diam-diam. Hubunganku dengan Anthony perlahan kembali membaik, tapi segalanya tidak pernah sama. Kami jarang berbicara dan dia terlihat lebih murung dari biasanya.”
Kate membusungkan dadanya ketika menarik nafas panjang. Bulu matanya yang lentik mengerjap dan ia menyingkirkan sejumput rambut di depan wajahnya. Kini matanya menatap keluar jendela tepat dimana jalur setapak terbentang di sana. Hanya ada sebuah mobil yang melintas, sisanya adalah keheningan. Aku bisa melihat jalur yang kami lalui tadi, rumput-rumput pendek di sisi jalan juga deretan pohon tinggi. Semuanya masih sama.
“Aku ingat itu tanggal 1 di bulan November ketika aku melahirkan putri pertama kami. Usia kandunganku baru mencapai angka tujuh bulan dan aku terpeleset sehingga mengalami pendarahan hebat. Bayinya harus dikeluarkan. Aku melewati operasi selama tiga hari dan baru sadar di hari ketujuh. Selama dua minggu aku harus melewati masa pemulihan di rumah sakit. Aku melihat bayiku, dia bayi perempuan yang cantik. Dia begitu kecil dan aku ketakutan melihat selang di tubuhnya. Aku menangis, dia pasti sangat tersiksa. Itu bukan waktu baginya untuk lahir ke dunia, tapi aku mengacaukannya. Tapi semuanya membaik seiring berjalannya waktu. Dia dikeluarkan dari inkubator setelah dua bulan dan aku masih ingat saat pertama aku menggendongnya. Dia sangat kecil Sara.. dia sangat.. dia sangat lemah. Dokter mengatakan bayi itu mengalami catat pada kakinya dan dia tidak akan bisa berjalan seperti anak-anak sewajarnya,” bahu Kate berguncang keras. Aku mengusapkan jari-jariku di atas lengannya, tiba-tiba kurasakan udara di paru-paruku terkuras dan kedua mataku terasa menyengat. Aku bisa membayangkan betapa mengerikannya bagi Kate mengetahui kalau bayi perempuannya akan tumbuh catat. Tidak semua orangtua sanggup menerima hal itu.
“Aku menamainya Missy..” Kate menarik nafas dalam-dalam, mengisi paru-parunya dengan udara kemudian melanjutkan. “Aku tahu Anthony tidak menyukainya. Sikapnya berubah total. Dia menolak untuk melihat bayinya dan itu membuatku semakin terluka. Aku mengalami depresi selama beberapa hari dan hubungan pernikahan kami menjadi berantakan. Aku terus mengadu pada ibuku hingga pada suatu malam, Anthony melacak semua daftar panggilan di ponselku. Dia mengetahuinya dan dia marah besar. Dia membanting ponsel itu dan dia menamparku. Dia mengurungku di rumah ini dan semuanya menjadi semakin buruk. Itu berlangsung selama beberapa minggu. Missy terus menangis, aku tidak tahu bagaimana cara untuk menenangkannya, aku kacau.. aku ibu yang buruk, Sara. Setiap pagi ketika Anthony pergi, aku terus menangis dan aku mabuk. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Suatu hari.. ketika aku hanya duduk dan mabuk sendirian, putriku menangis kencang. Aku meraihnya dari kotak bayi dan aku menggendongnya..” bibir Kate bergetar dan wajahnya terlihat pucat. Ia menatap dengan kosong ke luar jendela. Pikirannya telah melanyang ke tempat yang jauh.
“Aku menggendongnya seperti ini..” Kate mengayunkan kedua tangannya, memeluk kucing itu di bahunya. Kedua matanya tampak memerah. “.. dan aku berjalan membawanya keluar dari kamar. Aku mabuk dan aku limbung. Aku menuruni tangga. Missy terus menangis di pelukanku, aku mendekapnya lebih erat dan aku kehilangan langkah. Aku terpeleset di tangga itu dan dia terlepas..” Kedua bahu Kate kembali berguncang, tangisnya semakin keras. “Dia jatuh dari anak tangga teratas dan aku menyaksikan hal itu terjadi. Dia berdarah. Ada banyak darah. Aku mencelakaannya Sara.. itu kesalahanku. Oh Tuhan, aku membunuh bayiku. Aku membunuhnya..”
“Sshh.. Kate..” Aku menarik tubuhnya dan membiarkan Kate meredam wajahnya di atas bahuku. Dia menangis sesunggukan. Tubuhnya bergetar di bawah tanganku dan aku merasakan sesuatu mengocok seisi perutku. Kate yang malang – Kate yang kupikir memiliki kehidupan yang sempurna, Kate sang psikater yang selalu membantu orang-orang mengatasi masalahnya, justru memiliki masa lalu yang mengerikan untuk dapat kubayangkan. Bahkan, mungkin lebih mengerikan dari yang kualami.
--
Ini hari ke-29 di bulan November. Aku dan Kate pergi ke rumah yang ia beli bersama mantan suaminya, Anthony – dan Kate menceritakan semuanya padaku. Itu kejadian paling mengerikan yang dapat kubayangkan. Aku bisa merasakan betapa takutnya dia. Sekarang aku mengerti mengapa begitu berat untuknya melupakan hal itu – aku juga mengalaminya, tapi aku tidak memiliki keberanian untuk jujur padanya. Aku tidak yakin tentang apa yang kupikirkan..
Kate kehilangan bayinya. Dia tidak sengaja menjatuhkan bayi itu di tangga. Aku tahu bagaimana perasaannya saat itu, sedih, takut, bigung.. dan kau mabuk. Tidak ada yang kau lakukan selain menangis. Kau sangat kacau. Ingatan itu akan membunuhmu, tapi tidak dengan Kate. Dia wanita yang kuat, dia berhasil melewatinya. Aku rasa dia berada satu langkah di depanku. Aku ingin memberitahunya. Aku ingin menceritakan kebenaran yang kutakuti padanya.. pada Kate. Aku ingin semua ini lepas dari diriku.
Aku tidur dengan tidak nyenyak malam itu. Aku terus memikirkan Kate. Sore ketika kami harus berpisah, aku tiba di tempat penginapanku lebih cepat. Aku muntah dan menumpahkan tangisan yang kutahan di sepanjang jalan. Aku menggila kemudian aku mabuk – segalanya menjadi semakin baik saat aku mabuk.
Aku menuliskan semua kisah yang kuingat dalam buku catatanku. Aku merekam suaraku. Rekaman itu berdurasi sekitar satu jam, aku tidak bisa ingat apa yang kukatakan, tapi aku akan memutar ulang besok.
Kini pikiran tentang Kate berputar dalam kepalaku. Nyaris tidak ada ruang kosong untuk memikirkan hal lain. Tiba-tiba aku lupa untuk berbicara dengan Tom, aku tidak bisa ingat percakapan terakhir kami. Aku lupa untuk memeriksa Nate, aku lupa untuk menghubungi Nick dan aku tidak yakin kapan aku harus menemui Dokter Lou.
Aku melupakan Jane, Annette dan putrinya, Randall, Danny, Bob, Bill dan Marie – mereka sudah tidak berarti sekarang. Hanya ada sedikit tempat untuk mereka di atas papan merah itu. Kini, aku hanya memiliki wajah Kate yang kupandang setiap pagi dan sebelum aku tidur. Aku memiliki wajah Kate dalam lukisan wanita di apartemen lantai sebelas. Aku masih memiliki catatan tentang apa yang terjadi di rumah Kate malam itu - ketika seorang pria memukulnya. Sekarang, aku memiliki jawaban atas ingatan yang kabur itu. Pria itu yang memukul Kate di rumahnya adalah Anthony Whitman - aku cukup yakin.
Kate belum menceritakan semuanya, tapi dia berjanji akan datang besok. Sebagai gantinya Kate mengosongkan jadwal praktek. Kate benar-benar melakukannya dan aku masih tidak percaya bahwa aku telah berbicara dengan psikiater muda itu – aku mengetahui semua rahasianya dan kami adalah teman.
--
Beritahu saya tanggapan kalian..